Dialah Bapak
Oleh : Nuril Islam
Bapakku sedang duduk sendiri di ruang
tamu. Secangkir teh pahit dan sepiring ketela rebus menemani kesendiriannya.
Aku berjalan mendekat. Duduk di samping Bapak. Bapak menoleh sejenak namun
kemudian kembali pada dunianya yang tidak pernah aku tahu. Bapak memang
orangnya tertutup.
“Sedang mikir apa to Pak?” tanyaku
lembut. Sambil tanganku memijat lengan Bapak. Bapak hanya tersenyum, tidak
menjawab. Menatap lurus menembus jendela rumah kecil kami. Aku ikut-ikutan
menatap jendela yang semakin buram. Hujan di luar sepertinya masih deras. Aku
bisa mendengar gemericik air hujan yang menghantam genting rumah. Aku menatap
wajah orangtua paruh baya di sampingku.
Bapak. Seorang pekerja keras, sayang
keluarga dan juga rajin beribadah. Setiap hari Bapak bekerja sebagai tukang
kayu. Pontang panting mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan anak dan
isterinya.
Di kalangan tetangga, Bapak sosok yang
cukup terkenal. Hampir semua orang di desa mengenal Bapak. Meski banyak juga
yang mencibir Bapak, mencibir keluarga kami. Mereka mengatakan bahwa aku dan
adik-adikku hanya akan menjadi buruh seperti Bapak karena di mata mereka Bapak
tidak mungkin bisa menyekolahkan keenam anaknya hingga pendidikan yang tinggi.
Aku pun pernah mendengar pembicaraan yang cukup mengganggu telinga itu. Jujur
hatiku terasa panas. Emosiku tersulut. Untuk apa mereka mengurusi kehidupanku,
kehidupan kami? Ingin rasanya aku meluapkan emosiku itu tapi Bapak mencegah.
“Tidak usah Nur. Untuk apa? itu tidak
akan menyelesaikan masalah justru malah menambah masalah. Biarkan saja mereka
berkata sesuka hati mereka.”
Aku mendengus sebal. Menggerutu dalam
hati.
“Bapak akan bekerja keras agar kalian
bisa sekolah sampai tinggi.”
Aku hanya mengangguk. Kemudian pergi ke
kamar.
Di lain hari Bapak mendekatiku. Waktu
itu aku sedang merapikan buku pelajaran. Tidak biasanya Bapak masuk ke kamarku.
Biasanya sepulang kerja, Bapak pasti tiduran di ruang tengah atau bermain
bersama adikku.
“Nduk, Nur, Kamu harus belajar yang
benar. Sekolah yang rajin. Jadi anak yang pintar. Berpendidikan supaya masa
depan kamu cerah jangan seperti Bapakmu ini. SD saja tidak lulus. Kamu janji
sama Bapak ya Nduk,” ucap Bapak sambil sebelah tangannya mengelus pundakku.
Aku sedikit terkejut.
Kenapa Bapak tiba-tiba berkata seperti
ini?
Lama aku terdiam.
Aku mengangguk, “Iya pak. Nur janji akan
belajar yang rajin. Nur akan menjadi kebanggaan Bapak dan Ibu.”
Bapak mempunyai impian sederhana yaitu
beliau ingin anak-anaknya menjadi orang yang sukses. Sejak malam itu, aku
berjanji pada diriku sendiri bahwa aku harus sekolah dengan baik, belajar yang
rajin dan menjadi kebanggaan untuk Bapak karena impian Bapak adalah impianku.
******
Hari mulai gelap. Hujan di luar mulai
mereda.
“Tolong ambilkan kopi Bapak, Nur.”
Kalimat Bapak membuyarkan lamunanku.
Kusodorkan gelas Bapak yang tidak lagi panas. Kucomot ketela rebus yang ada di
atas meja. Ini makanan kesukaanku. Ketela rebus, kalau istilah Bapak keju jawa.
Usiaku sekarang dua puluh dua tahun.
Bekerja di kantor notaris di kotaku. Adikku yang pertama telah menyelesaikan
pendidikan SMAnya dan sudah di terima bekerja di sebuah pabrik, sedang dua
adikku masih mengenyam bangku sekolah. Yang satu SMA kelas dua dan yang satunya
lagi SD kelas tiga. Dua adikku yang terakhir masih kecil.
Dialah Bapak, dengan segala keterbatasan
ekonomi berusaha sekuat tenaga dan kemampuannya untuk menyekolahkan anak-anaknya
walau hanya sampai SMA. Dialah Bapak, dengan segala keterbatasannya berusaha
sabar dan ikhlas dengan cobaan hidup. Aku bangga memiliki orangtua seperti
Bapak. Bapak yang sederhana, pekerja keras, dan sayang pada kami anak-anaknya.
Kau yang menunjukkan padaku betapa
indahnya dunia, namun kau juga yang menunjukkan padaku bahwa hidup ini begitu
kejam. Tapi kau selalu berpesan padaku, anakmu, agar aku tidak membencinya
karena inilah kenyataan, kenyataan yang memang sudah menjadi jalan hidup. Aku
terus berjalan walau rintangan datang menghadang langkahku. Tidak perlu aku merasa
takut, karena kau bilang Tuhan selalu bersama orang-orang yang gigih berusaha.
Dan aku percaya itu. Bahwa Tuhan selalu bersama kita.
[*]
Kudus,
18 Agustus 2014
( masuk antologi event "Sosok Terhebat", Penerbit Inspimedia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar