Rabu, 03 September 2014

Cerpen Dialah Bapak




Dialah Bapak
Oleh : Nuril Islam

Bapakku sedang duduk sendiri di ruang tamu. Secangkir teh pahit dan sepiring ketela rebus menemani kesendiriannya. Aku berjalan mendekat. Duduk di samping Bapak. Bapak menoleh sejenak namun kemudian kembali pada dunianya yang tidak pernah aku tahu. Bapak memang orangnya tertutup.
“Sedang mikir apa to Pak?” tanyaku lembut. Sambil tanganku memijat lengan Bapak. Bapak hanya tersenyum, tidak menjawab. Menatap lurus menembus jendela rumah kecil kami. Aku ikut-ikutan menatap jendela yang semakin buram. Hujan di luar sepertinya masih deras. Aku bisa mendengar gemericik air hujan yang menghantam genting rumah. Aku menatap wajah orangtua paruh baya di sampingku.
Bapak. Seorang pekerja keras, sayang keluarga dan juga rajin beribadah. Setiap hari Bapak bekerja sebagai tukang kayu. Pontang panting mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan anak dan isterinya.
Di kalangan tetangga, Bapak sosok yang cukup terkenal. Hampir semua orang di desa mengenal Bapak. Meski banyak juga yang mencibir Bapak, mencibir keluarga kami. Mereka mengatakan bahwa aku dan adik-adikku hanya akan menjadi buruh seperti Bapak karena di mata mereka Bapak tidak mungkin bisa menyekolahkan keenam anaknya hingga pendidikan yang tinggi. Aku pun pernah mendengar pembicaraan yang cukup mengganggu telinga itu. Jujur hatiku terasa panas. Emosiku tersulut. Untuk apa mereka mengurusi kehidupanku, kehidupan kami? Ingin rasanya aku meluapkan emosiku itu tapi Bapak mencegah.
“Tidak usah Nur. Untuk apa? itu tidak akan menyelesaikan masalah justru malah menambah masalah. Biarkan saja mereka berkata sesuka hati mereka.”
Aku mendengus sebal. Menggerutu dalam hati.
“Bapak akan bekerja keras agar kalian bisa sekolah sampai tinggi.”
Aku hanya mengangguk. Kemudian pergi ke kamar.
Di lain hari Bapak mendekatiku. Waktu itu aku sedang merapikan buku pelajaran. Tidak biasanya Bapak masuk ke kamarku. Biasanya sepulang kerja, Bapak pasti tiduran di ruang tengah atau bermain bersama adikku.
“Nduk, Nur, Kamu harus belajar yang benar. Sekolah yang rajin. Jadi anak yang pintar. Berpendidikan supaya masa depan kamu cerah jangan seperti Bapakmu ini. SD saja tidak lulus. Kamu janji sama Bapak ya Nduk,” ucap Bapak sambil sebelah tangannya mengelus pundakku.
Aku sedikit terkejut.
Kenapa Bapak tiba-tiba berkata seperti ini?
Lama aku terdiam.
Aku mengangguk, “Iya pak. Nur janji akan belajar yang rajin. Nur akan menjadi kebanggaan Bapak dan Ibu.”
Bapak mempunyai impian sederhana yaitu beliau ingin anak-anaknya menjadi orang yang sukses. Sejak malam itu, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku harus sekolah dengan baik, belajar yang rajin dan menjadi kebanggaan untuk Bapak karena impian Bapak adalah impianku.
******
Hari mulai gelap. Hujan di luar mulai mereda.
“Tolong ambilkan kopi Bapak, Nur.”
Kalimat Bapak membuyarkan lamunanku. Kusodorkan gelas Bapak yang tidak lagi panas. Kucomot ketela rebus yang ada di atas meja. Ini makanan kesukaanku. Ketela rebus, kalau istilah Bapak keju jawa.
Usiaku sekarang dua puluh dua tahun. Bekerja di kantor notaris di kotaku. Adikku yang pertama telah menyelesaikan pendidikan SMAnya dan sudah di terima bekerja di sebuah pabrik, sedang dua adikku masih mengenyam bangku sekolah. Yang satu SMA kelas dua dan yang satunya lagi SD kelas tiga. Dua adikku yang terakhir masih kecil.
Dialah Bapak, dengan segala keterbatasan ekonomi berusaha sekuat tenaga dan kemampuannya untuk menyekolahkan anak-anaknya walau hanya sampai SMA. Dialah Bapak, dengan segala keterbatasannya berusaha sabar dan ikhlas dengan cobaan hidup. Aku bangga memiliki orangtua seperti Bapak. Bapak yang sederhana, pekerja keras, dan sayang pada kami anak-anaknya.
Kau yang menunjukkan padaku betapa indahnya dunia, namun kau juga yang menunjukkan padaku bahwa hidup ini begitu kejam. Tapi kau selalu berpesan padaku, anakmu, agar aku tidak membencinya karena inilah kenyataan, kenyataan yang memang sudah menjadi jalan hidup. Aku terus berjalan walau rintangan datang menghadang langkahku. Tidak perlu aku merasa takut, karena kau bilang Tuhan selalu bersama orang-orang yang gigih berusaha. Dan aku percaya itu. Bahwa Tuhan selalu bersama kita.
[*]
Kudus, 18 Agustus 2014
( masuk antologi event "Sosok Terhebat", Penerbit Inspimedia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar