Rabu, 18 Juni 2014

Cerpen, Hati yang Telah Pergi




Hati yang Telah Pergi
Oleh : Nuril Islam
Liyana masih terisak di sampingku.
Aku terdiam. Menghela napas pelan. Sebenarnya mudah saja untukku menghiburnya seperti yang selama ini biasa aku lakukan. Melucu atau bertingkah aneh yang membuatnya tertawa. Tapi aku tidak bisa, seolah tubuhku membeku tak mampu bergerak.
“Liyana tidak mau menikah dengan Mas Doni. Aku tidak mencintai Mas Doni. Laki-laki yang aku cinta hanya Mas seorang.” ucap Liyana, menoleh menatapku. Mata bening itu telah penuh dengan air mata kepedihan.
“Aku juga mencintaimu, Liyana. Tapi apa yang bisa aku lakukan? Ayahmu sudah menolak lamaranku.” jawabku sama paniknya.
Ya, esok adalah hari pernikahan Liyana. Semestinya dia bahagia. Mempersiapkan diri di rumah. Tapi gadis itu justru terlihat terluka dan duka mendalam melanda hatinya. Gadisku itu akan menikah dengan laki-laki yang telah dipilihkan oleh Ayahnya. Doni, seorang pemuda kaya anak dari kawan lama Ayahnya.
Tangisan liyana semakin keras. Tubuh itu gemetar di sampingku. Aku mendekap bahunya mencoba menenangkan hatinya meski hatiku sendiri pun sama terlukanya.
Aku menengok sekeliling.
Taman kota sangat ramai sore ini. Yah wajar saja karena hari ini hari minggu. Waktu yang tepat untuk berkumpul bersama keluarga. Suara tawa anak-anak terdengar jelas. Saling berkejaran satu sama lain. Aku kembali menatap Liyana.
“Sudahlah Liyana. Mungkin ini yang terbaik untuk kita berdua. Aku ikhlas dan aku mendoakan semoga kau bahagia bersama Doni.” ucapku lagi.
Kalimatku itu berubah menjadi pisau yang menancap ke dalam hatiku. Perih dan sakit. Mataku terasa panas. Aku mendongakkan kepala. Berusaha menahan tangis setidaknya selama aku bersama Liyana. Aku harus menunjukkan pada Liyana kalau aku benar-benar telah mengikhlaskan dirinya bahagia bersama orang lain. Bukankah cinta tidak harus memiliki, bukankah dengan melihat orang yang kita cintai bahagia maka kita pun akan ikut merasa bahagia.
Pertemuan di taman kota ini menjadi pertemuanku yang terakhir dengannya. Karena setelah hari ini Liyana akan menjadi milik orang lain, menjadi isteri orang dan tidak sepatutnya aku menggangu kehidupan barunya itu.
Matahari di atas sana perlahan tenggelam di kaki langit. Menyisakan warna jingganya yang indah. Dan kami pun memutuskan untuk pulang.
***
Dua tahun yang lalu.
Di tempat ini dan di bangku ini juga, untuk pertama kalinya aku berbicara dengan Liyana. Pertemuan indah yang tidak disengaja.
Waktu itu aku sedang olah raga pagi sebelum berangkat kerja. Yah, mencari sedikit penyegaran sebelum berkutat dengan pekerjaan kantor yang akan menguras tenaga dan pikiranku. Entah kebetulan atau bagaimana Liyana juga sedang olahraga di taman kota. Aku melihatnya selintas.
Sebenarnya sudah jauh-jauh hari aku berniat untuk menyapanya, mengajaknya berkenalan namun niatan itu belum pernah berubah menjadi tindakan nyata, hanya ada dalam angan-angan. Aku hanya bisa memandanginya dari kejauhan namun pagi itu entah kekuatan apa yang membuatku berani untuk mendekatinya.
Liyana menerima kehadiranku dengan sangat baik. Sebulan berkenalan aku memutuskan untuk mengatakan perasaanku padanya. Yah aku paham mungkin terlalu cepat untukku mengatakan perasaan yang baru saja muncul tapi aku tidak bisa memungkiri bahwa aku benar-benar jatuh cinta padanya.
Liyana gadis yang sederhana. Wajah cantiknya selalu terlihat memesona meski tanpa polesan make up. Cantik yang natural dan aku menyukainya.
 Sebulan yang lalu aku berniat untuk melamar Liyana. Menjadikan Liyana sebagai pendamping hidupku. Bersama kedua orangtuaku aku pergi ke rumah Liyana. Jarak rumahku dengan Liyana sebenarnya tidak terlalu jauh namun entah kenapa malam itu jalan terasa sangat panjang. Membuatku semakin tegang. Aku menghela napas. Mencoba menenangkan hati. Sepuluh menit kemudian aku telah sampai di rumah Liyana. Ibu Liyana menyambut kedatangan kami dengan baik. Ayah Liyana sedang keluar rumah saat aku datang.
“Maksud kedatangan kami sekeluarga kemari selain untuk bersilaturahmi juga untuk melamar putri Ibu yang bernama Liyana untuk putra kami Prasetyo.” ucap Bapakku kepada Ibu Liyana. Liyana duduk tertunduk di samping Ibunya. Menyembunyikan senyum simpulnya yang manis. Aku tersenyum menatapnya.
“Kalau Ibu menyerahkan semua keputusan kepada Liyana. Karena Liyana yang akan menjalani. Apapun keputusan Liyana semoga itu yang terbaik.” jawab Ibu Liyana, melirik putrinya yang masih tertunduk.
Liyana mendongakkan kepala. Menatap bergantian Ibunya, orangtuaku dan aku. Sedetik mata kami bertemu. Aku tersenyum.
“Liy…Liyana…Liyana men…”
Belum selesai Liyana dengan kalimatnya, seseorang mengetuk pintu rumah.
“Assalamu’alaikum.” Suara langkah kaki mendekati kami.
Itu Ayah Liyana. Beliau menatapku tajam. Menatap heran kedatanganku dan orangtuaku.
“Ada apa ini Bu?” tanya Ayah Liyana kepada isterinya.
“Ini Pak, Nak Pras datang bersama keluarganya hendak melamar Liyana Pak.” jawab Ibu Liyana.
“Maaf sekali Nak Pras kami tidak bisa menerima lamaran Nak Pras karena Bapak sudah menjodohkan Liyana dengan laki-laki lain. Lusa keluarga mereka akan datang untuk melamar Liyana.” jawab Ayah Liyana.
Jawaban Ayah Liyana sempurna menghancurkan semua mimpi indahku untuk hidup bersama Liyana. Datang seperti petir yang menyambar langit hatiku. Mengubah semua mimpiku menjadi abu.
Liyana yang duduk di sebelah Ibunya terbelalak. Menatap Ayahnya, menuntut penjelasan. Namun bibir mungil itu hanya menggumam, tidak ada kalimat yang terucap. Mata Liyana sekejap telah basah oleh air mata.
Tuhan, apakah ini termasuk dari rencana-Mu?
Ruang tamu sekejap berubah sepi. Aku masih terdiam di tempatku. Menatap Liyana yang berlalu menahan tangisnya.
Aku dan kedua orangtuaku memutuskan untuk pamit pulang. Tidak ada yang perlu kami dibicarakan lagi. Semua rencana pernikahan yang telah aku rancang hanya akan jadi angan-angan. Aku tidak akan pernah bisa memiliki Liyana.
***
Sebelas November 2011.
Dua jam lagi ijab kabul itu akan terjadi dan Liyana akan menjadi isteri sah Doni. Aku menghela napas. Mengusap wajah kebasku. Aku harus mengikhlaskannya. Bukankah itu yang aku katakan pada Liyana di pertemuan terakhir kami? Tidak pantas aku mengharapkannya lagi. Tapi... benarkah aku telah sepenuhnya ikhlas? Setelah kebersamaan yang kami rajut selama dua tahun, apakah aku bisa mengikhlaskan hatiku pergi?
Handphoneku tiba-tiba berdering. Malas aku meraihnya. Nama Liyana tertulis di layar. Dahiku terlipat. Liyana? Untuk apa Liyana menelponku? Dengan hati penuh rasa penasaran aku mengangkat telpon Liyana.
“Hallo, Mas Pras. Tolong bawa Liyana pergi Mas. Liyana tidak mau menikah dengan Mas Doni. Tolong Mas.” Suara Liyana terdengar serak.
Lama aku terdiam. Menyelami rasa sakit Liyana yang juga melanda hatiku. Apakah ini akhir dari perasaanku?
“Jika memang Mas Pras mencintai Liyana, Liyana akan menunggu Mas di dekat jendela kamar Liyana. Liyana lebih baik pergi daripada harus menikah dengan laki-laki yang tidak Liyana cintai. Katakan Mas kalau Mas Pras akan menjemput Liyana.” ucap Liyana. Kemudian menangis lagi.
Tuhan, apa yang harus aku lakukan?
Apakah aku harus menuruti keinginan Liyana?
Membawa pergi Liyana di hari pernikahannya?
Apakah ini jalan yang Kau buka untukku agar kami bisa bersama kembali?
Aku mengusap wajah kebasku. Lagi.
Aku teringat kalimat seorang sahabat, cintamu pada sesuatu membuatmu buta dan tuli.
Apakah aku telah buta?
Apakah aku telah terbutakan dengan cinta yang terlalu besar untuk Liyana?
Aaaarrrggghh…
Lama aku terdiam.
“Tidak Liyana. Aku tidak bisa menuruti keinginanmu. Maafkan aku Liyana.” jawabku. Segera aku menutup telpon. Memutus kepedihan yang sempat singgah di hatiku.
Benar aku mencintaimu Liyana, tapi membawamu pergi… ah tidak. Hanya laki-laki pengecut yang mau melakukan itu dan aku bukan seorang pengecut Liyana. Maafkan aku.
Pukul 09.00
Aku masih mematung di kamar. Tepekur diam dengan pikiranku sendiri. Saat ini acara akad nikah itu pasti telah selesai dan Liyana, gadisku telah menjadi milik orang lain. Telah terbayang senyum bahagia yang menghiasi wajah-wajah di sana dan ucapan selamat yang terus mengalir bagai mata air. Apakah kau bahagia seperti mereka, Liyana?
Aaaarrrggghh…
Seharusnya aku menuruti saja keinginan Liyana. Menuruti keinginannya untuk membawanya pergi. Persetan dengan anggapan orang bahwa aku seorang pengecut. Liyana tidak menghendaki pernikahan itu. Pernikahan itu jelas salah. Seharusnya aku membawanya pergi.
Tidak!
Pernikahan itu mungkin memang seharusnya terjadi dan pada kenyataannya telah terjadi. Pernikahan itu mungkin yang terbaik untuk kami. Pernikahan itu adalah yang terbaik…
***
Juni 2014.
 Matahari bersinar terang di langit sore. Semilir angin menggoyangkan kelopak bunga yang bermekaran. Membelai wajah dan hatiku.
Setelah tiga tahun lamanya, kini aku kembali ke sini. Aku rindu dengan tempat ini dan segala yang tertinggal di sini.
Taman kota masih sama ramainya seperti tiga tahun yang lalu. Suara tawa anak-anak dan raut bahagia yang menghiasi wajah mereka.
Aku memilih duduk di bangku di tepi kolam. Menilik ikan koi yang berenang riang di dalamnya sambil mendengarkan lagu “Ruang Rindu” milik Letto.
Di daun yang ikut mengalir lembut
Terbawa sungai ke ujung mata
Dan aku mulai takut terbawa cinta
Menghirup rindu yang sesakkan dada
Jalanku hampa dan kusentuh dia
Terasa hangat oh didalam hati
Kupegang erat dan kuhalangi waktu
Tak urung jua kulihatnya pergi
Kau datang dan pergi oh begitu saja
Semua kutrima apa adanya
Mata terpejam dan hati menggumam
Di ruang rindu kita bertemu
Liyana, aku merindumu. Bisikku pada hatiku sendiri.
Sejak hari pernikahan Liyana tiga tahun lalu aku memutuskan untuk pergi. Menjauh dari semua hal yang bisa membuatku ingat padanya. Membuat jarak yang panjang dengannya. Meski tetap saja aku masih bisa mengukir wajah cantiknya di langit-langit kamarku, memandangi senyum simpulnya ketika pelangi datang dan mendengar rintihan tangisnya saat hujan turun.
Liyana, kau adalah hadiah terindah yang telah diberikan Tuhan dalam kehidupanku. Aku tetap bersyukur sempat mengenal pribadimu meski Tuhan tidak menghendaki kita untuk bersama. Terima kasih untuk semua kenangan indah yang kau ukir bersamaku. Terima kasih Liyana.
Liyana, kau adalah hatiku yang telah pergi namun percayalah bahwa cinta ini akan tetap utuh untukmu.
[*]
Kudus, 18 Juni 2014

Minggu, 01 Juni 2014

Cerpen, Janji




Janji
Oleh : Nuril Islam

Aku fikir cinta pada pandangan pertama itu hanya ada di film dan sinetron. Tapi ternyata kisah itupun ada di kehidupan nyata dan aku adalah salah satu orang yang menyimpan kisah itu.
“Pagi Nay.” Sapaan hangat dari seorang yang kucintai. Namanya Tristan. Pemuda berpostur tubuh tinggi, berkulit sawo matang, wajah berkharismatik dan senyum yang selalu menawan. Dialah cinta pertamaku dan semoga akan menjadi cinta terakhir dalam hidupku.
Kami pertama kali bertemu setahun yang lalu. Tanpa sengaja di sebuah pesta pernikahan seorang teman. Tristan orangnya menyenangkan membuatku nyaman berada di dekatnya meski waktu itu kami baru pertama kali berkenalan. Pertemuan itu berlanjut di hari-hari berikutnya. Setiap sabtu malam, Tristan sering mampir ke rumah. Ngobrol berdua di teras depan. Membicarakan banyak hal. Tristan tidak pernah kehabisan topik untuk bahan pembicaraan. Masalah kucing adiknya yang baru melahirkan 4 anak bisa menjadi topik pembicaraan yang seru.
Tepat seminggu kedekatan kami, Tristan menyatakan perasaannya padaku. Di bawah langit malam yang bertabur bintang dan disinari cahaya bulan purnama.
“Nay, mungkin…aku terlalu cepat mengatakan ini. Tapi aku tidak sanggup lagi untuk memendamnya. Aku...aku mencintaimu Nay.” Tristan meraih jemari tanganku. Menggenggamnya erat.
Aku tersipu mendengarkan kalimat cintanya padaku. Aku mengangguk pelan saat dia memintaku untuk menjadi kekasihnya. Aku juga mencintaimu Tristan, bisikku pelan.
Semakin tinggi pohon semakin kencang angin yang berhembus. Dua bulan kami menjalin hubungan, satu masalah datang menghadang. Hubunganku dengan Tristan tidak mendapatkan restu dari Mamanya.
Keluarga Tristan tidak menerimaku lantaran latar belakang keluargaku. Ayahku yang hanya seorang buruh pabrik dan Ibuku seorang pedagang kecil. Sedangkan orang tua Tristan adalah pengusaha kaya raya. Mereka merasa Tristan tidak pantas mendapatkan jodoh sepertiku. Tidak pantas. Oh Tuhan, kuatkan aku menerima semua hinaan ini.
“Aku akan terus membujuk Mama agar Mama mau menerimamu, Nay. Aku janji.” Tangan Tristan erat menggenggam jemariku. Aku mengangguk. Menyembunyikan sakit hatiku. Tidak. Aku harus kuat. Demi cinta kami.
Satu masalah belum selesai datang lagi masalah baru. Tristan akan pergi ke Singapura. Membantu Papanya mengurus perusahaan mereka yang ada di sana. Aku menangis saat Tristan berpamitan padaku. Entah bagaimana aku menjalani hari tanpa dia di sampingku. Semua akan terasa hambar tanpa kehadiran Tristan.
“Nayla, aku janji aku akan segera pulang. Setelah semuanya lancar aku akan kembali padamu. Percayalah padaku, Nay.” Tristan memelukku. Aku semakin terisak dalam pelukannya. Aku tidak mau berpisah dengannya. Tristan menatapku. Tatapan mata yang melenyapkan kekhawatiran yang detik lalu menyergapku.
“Semua akan baik-baik saja. Ok!” Aku mengangguk. Berusaha tersenyum. Menghapus sisa airmata di pipi. Aku tidak boleh bersedih. Tristan akan kembali. Pasti akan kembali.
Selama kurang lebih empat tahun Tristan akan berada di Singapura. Menyelesaikan permasalahan perusahaan keluarga mereka. Itu berarti selama itu pula kami akan menjalani hubungan Long Distance.
“Aku akan rajin mengabarimu Nay. Kamu jangan khawatir. Aku tidak akan berpaling sekalipun ada seratus gadis cantik di sini. Kamu tetap yang tercantik Nay.” Ucap Tristan padaku. Komunikasi pertama kami sesampainya ia di Singapura.
“Gombal.” Timpalku. Tristan tertawa di ujung telpon.
“Naylaku sayang. Aku harus buktikan apa lagi agar kamu percaya kalau hanya kamu yang aku cinta? Hm?”
“Mmm, apa ya?” Pura-pura berfikir.
“Apapun akan aku lakukan untuk membuktikan kesetiaanku.”
“Iya aku percaya.” Hening sejenak.
“Mmm, Tristan...” Aku menggigit bibir. Bingung antara melanjutkan kalimatku atau tidak.
“Ya Nay?” Sunyi.
“Aku mencintaimu.” Kataku lirih.
“Aku juga. Aku sangat mencintaimu Nayla. Aku tidak akan mengkhianati cinta kita. Semua hanya masalah waktu. Kita pasti akan bersama lagi.”
Aku melirik jam di dinding kamar. Pukul sembilan malam. Malam semakin larut. Bintang-bintang tetap bersinar indah di langit. Ditemani bulan yang bulat sempurna.
“Sudah malam Nay. Lebih baik kamu tidur.” Kata Tristan memecah kesunyian.
Aku mengangguk. “Selamat tidur Tristan.”
“Selamat tidur.”
***
Tristan memenuhi janjinya. Setiap petang menghubungiku. Berbagi cerita tentang kegiatan masing-masing. Tristan dengan kesibukannya di kantor dan aku dengan kesibukanku sebagai pegawai toko bunga.
Hingga tahun kedua hubungan kami berjalan lancar. Teknologi yang semakin canggih memudahkan kami untuk selalu berkomunikasi. Menjadi penawar rasa rindu yang menggunung di dada.
Bulan Desember di tahun ketiga aku memutuskan untuk keluar dari toko bunga. Memulai bisnis kecil-kecilan bersama Ibu. Membuka toko sembako di depan rumah. Menggunakan semua tabungan yang kumiliki sebagai modal awalnya. Aku sendiri yang membeli stok barang sedang ibu yang menjaga warung. Memesan beras, telur, minyak goreng, semua kebutuhan harian. Kesibukan itu membuatku jarang menghubungi Tristan. Meski sekedar mengirim pesan singkat. Aku semakin tenggelam dalam dunia baruku.
Bulan Februari tahun keempat. Bisnis toko sembako yang aku rintis mulai membuahkan hasil. Semakin hari semakin ramai pembeli. Ibu terlihat bahagia. Setia melayani pembeli. Sesekali bergurau. Tertawa bersama. Aku tahu Ibu pasti lelah karena dari tadi pagi tidak berhenti melayani pembeli. Ibu selalu menolak saat aku menawarkan diri untuk menggantikan.
“Tidak apa-apa Nay. Ibu senang melakukannya. Kamu kerjakan saja yang lain.” Menghela nafas. Mengalah. Kalau sudah begitu aku bisa apa. Aku melangkah meninggalkan Ibu. Mengecek stok barang dagangan.
“Mau tidak mau besok aku harus ke Toko Koh Acong. Stok beras tinggal segini. Tidak akan cukup.” Aku mengusap keringat dengan punggung tangan. Menulis barang-barang lain yang juga mulai habis. Menghela nafas. Meraih handphone. Mencari nomor Koh Acong. Gerak jemariku terhenti. Tristan. Aku tertegun di sana. Apa kabar Tristan? Sudah lama aku tidak menghubunginya.
Matahari bersinar sangat terik. Siang yang melelahkan. Meletakkan buku catatan di atas meja. Menjauh dari keramaian. Mencoba menghubungi Tristan. Jantungku berdegup kencang. Entah kapan terakhir kali kami bertegur sapa. Setahun yang lalu? atau mungkin dua tahun yang lalu? Aku menggigit bibir. Grogi. Menarik nafas panjang. Tidak ada yang mengangkat telponku. Aku mengeluh kecewa. Menghela nafas lagi. Mungkin Tristan sedang sibuk, pikirku.
Keesokan harinya. Aku telah bersiap ke toko Koh Acong. Buku catatan lekat di tangan. Aku menyalami Bapak dan Ibu yang masih sarapan.
“Nayla berangkat sekarang ya Bu.”
“Hati-hati Nay. Bawa motornya nggak usah ngebut-ngebut.”
“Iya Bu.” Tersenyum.
“Oh ya Nay. Obat Bapak sudah mau habis. Nanti mampir ke apotek ya Nduk.” Ibu menyerahkan selembar kertas padaku. Resep obat Bapak.
“Iya. Nayla berangkat sekarang.” Aku meraih kunci motor. Mengenakan helm.
Bapak sudah tidak bekerja sejak dua bulan yang lalu. Asma Bapak semakin parah. Dokter meminta Bapak untuk istirahat di rumah. Aku menggantikan posisi Bapak mencari nafkah. Bekerja lebih keras untuk keluarga kecil kami.
Sebuah mobil hitam mengkilap memasuki halaman rumah. Seorang Ibu keluar dari dalam mobil. Wajahnya acuh. Melangkah mendekatiku. Dahiku terlipat. Berusaha mengingat wajah itu.
“Selamat pagi. Cari siapa Bu?” Tanyaku ramah.
“Tidak ada yang berubah. Masih sama seperti dulu.” Ibu itu berbicara pada dirinya sendiri. Mengabaikan pertanyaanku. Memandang sekilas padaku. Siapa sebenarnya Ibu ini.
Oh Tuhan. Ibu ini…Bu Rina. Mama Tristan. Spontan aku melirik ke arah mobil hitam yang terparkir di halaman rumah. Mencari sosok Tristan. Tidak ada. Tristan tidak ada di dalam mobil. Aku menghela nafas. Kecewa.
“Bu Rina? Benar Bu Rina kan. Apa kabar Bu? Lama tidak bertemu. Ehh, mari masuk Bu.” Aku mengulurkan tangan. Bu Rina mengibaskan tangannya.
“Saya tidak lama. Saya hanya mau menyerahkan ini. Titipan dari Tristan.” Bu Rina menyerahkan amplop coklat padaku. Titipan Tristan?
Bu Rina melangkah meninggalkanku yang terpaku. Anggun melangkah masuk ke dalam mobil.
“Jalan Pak.” Kata Bu Rina pada sopirnya. Aku tersenyum pada Bu Rina sebelum pintu mobil tertutup. “Terima kasih Bu.”
Aku melangkah kembali ke ruang tamu. Menunda jadwalku ke toko Koh Acong. Rasa penasaran di dadaku butuh jawaban. Apa isi ampop ini? Perlahan aku membukanya. Kumpulan foto. Foto pernikahan. Aku mengamati foto itu satu persatu. Ini…lidahku kelu. Benarkah apa yang aku lihat ini? Ini foto pernikahan Tristan. Mataku terasa panas dan sekejap air mata telah membuncah membasahi pipiku. Benarkah ini? Tristan? Dadaku terasa sesak. Inikah jawaban atas telponku kemarin? Karena ini Tristan tidak menjawab telponku? Air mataku semakin deras mengalir. Sakit. Hatiku terasa ditusuk pisau berkarat. Perih.
Aku berlari ke kamar. Mengabaikan Ibu yang bertanya ada apa. Aku tidak percaya ini. Begitu tega Tristan melakukan ini? Kami bahkan belum putus. Kenapa Tristan tidak mengatakannya langsung padaku? Kenapa justru Mamanya yang datang menyerahkan foto-foto itu? Hatiku berontak. Menolak semua kenyataan ini. Aku membenamkan wajah di dalam bantal. Tersedu. Mengunci diri di kamar hingga sore hari.
Ibu mengetok pintu kamarku. Aku bangkit. Menghapus sisa air mataku. Melihat sekilas wajahku di cermin. Mengenaskan.
“Nay, ada apa? Cerita sama Ibu.” Ibu menggenggam tanganku. Aku menatap mata Ibu. Ibu, lihatlah anakmu ini terluka hatinya karena cinta. Apa yang harus aku lakukan Ibu? Aku menghambur memeluk Ibu. Menangis.
“Tristan sudah menjadi milik orang lain. Tidak pantas untukmu memikirkannya. Ikhlaskan Nay.” Ibu membelai rambutku lembut.
Aku menggeleng. “Tapi hati kecil Nay mengatakan lain. Tristan sudah berjanji menjaga cinta kami Bu. Berjanji untuk setia pada Nay.”
“Jika memang Tuhan menakdirkan kalian berjodoh maka itulah yang akan terjadi anakku. Ya sudah lebih baik kamu mandi dulu. Biar segar.” Ibu meninggalkanku sendiri.
Foto-foto itu tersebar di atas kasur. Aku meraihnya dengan hati terluka. Memasukkan kembali ke dalam amplop.
***
“Mau ke mana Nay?” Ibu bertanya.
“Membeli obat Bapak Bu. Kan tadi Ibu bilang sudah hampir habis. Untuk stok di toko, tadi Nayla sudah telpon Koh Acong. Besok diantar ke rumah.”
“Kamu sudah tidak apa-apa. Apa tidak besok saja beli obatnya? Ibu khawatir.”
Aku tersenyum, “Nayla akan baik-baik saja Bu. Nayla akan langsung pulang kok. Nayla berangkat sekarang ya.” Aku mencium punggung tangan Ibu. Meraih kunci motor. Mengenakan helm.
Kotaku selalu ramai meski malam hari. Pedagang kaki lima menggelar lapak di tepi jalan. Tersenyum riang melayani pembeli. Suara deru kendaraan saling beradu. Menyemarakkan malam. Bintang-bintang tetap setia menemani rembulan. Berbagi  pelita di tengah gulita langit malam. Dari alun-alun kota aku berbelok ke kiri. Melewati pedagang roti bakar. Kemudian berbelok ke kanan. Berhenti di depan apotek 24 Jam.
“Cari apa Mbak?” Seorang penjaga mendekatiku. Aku tersenyum. Menyerahkan kertas resep obat kepadanya.
“Tunggu sebentar ya Mbak.” Aku tersenyum lagi. Penjaga itu menghilang ke dalam ruangan lain. Lima menit kemudian kembali dengan membawa obat pesananku. Aku menyerahkan uang padanya.
“Terima kasih Mbak.” Ucapku.
  Aku memasukkan obat Bapak ke dalam tas. Berjalan tergesa-gesa keluar hingga menabrak orang di depanku. Aku terjatuh.
“Mbak tidak apa-apa. Mari saya bantu.” Sepasang tangan terjulur ke arahku.
“Tidak apa-apa. Terima kasih.” Aku melihat orang itu. Oh Tuhan. Tristan. Aku menoleh. Perempuan itu? Perempuan yang berdiri di samping Tristan tersenyum tipis padaku. Tangannya mengelus perutnya yang semakin besar. Perempuan itu hamil?
“Nayla? Kamu tidak apa-apa Nay? Sedang apa kamu di sini?” Tristan menggengam lenganku. Mata itu tetap sama. Aku tidak sanggup. Aku melepaskan genggaman Tristan. Berlari menghindarinya. Aku tidak sanggup melihatnya. Tristan…dia sebentar lagi akan menjadi ayah dari anak yang dikandung perempuan itu. Mataku telah berurai air mata. Cepat aku mengenakan helm. Mengabaikan Tristan yang berteriak memanggil namaku.
Maaf Tristan, semua ini terlalu menyakitkan untukku. Melihatmu bersamanya akan menambah luka di hatiku. Lebih baik aku pergi.
Bulir-bulir air mata terus beranak sungai di mataku. Merembes hingga ke dalam hati. Inikah akhir dari penantianku? Inikah jawaban atas semua kesetiaanku? Oh Tuhan, Tubuhku terasa lemas. Tak sanggup lagi berdiri menapak tanah. Luka itu semakin dalam dan begitu menyakitkan.
Aku menghapus air mataku. Takut Ibu akan melihatnya.
“Sudah pulang Nay.” Ibu menyambutku di depan pintu.
Aku mencium punggung tangan Ibu. “Nayla ke kamar ya Bu.” Ibu mengangguk.
Handphoneku berdering. Tristan menelponku. Untuk apa Tristan menelponku? Dia sudah punya istri dan sebentar lagi akan menjadi seorang ayah tidak pantas ia menghubungiku lagi. Aku mengabaikan handphoneku yang terus berdering.
Aku membenamkan wajah di dalam bantal. Memaksa diri untuk tidur. Berharap semua yang terjadi hari ini adalah mimpi dan ketika aku terbangun Tristan akan menyapaku dengan senyum merekah di bibirnya.
Sia-sia. Aku tidak bisa memejamkan mata walau hanya satu menit. Aku menghela nafas. Menatap langit-langit kamar. Mengenang kembali masa-masa itu. Pertemuan pertama kami, obrolan di teras rumah, kata cinta itu, keberangkatan Tristan ke Singapura, dan foto-foto itu.
Apakah aku harus melupakan Tristan? Mengubur dalam-dalam semua rasa ini? Aku masih mencintainya. Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan.
Matahari kembali menyapa kotaku pagi ini. Mengintip dari balik pepohonan. Menebar hangat dari celahnya. Suara ayam berkokok terdengar merdu. Bersahutan dengan suara cicit burung.
Satu minggu yang melelahkan. Lelah menata kembali puing-puing mimpi yang sempat hancur. Merangkainya dengan bersimpah air mata. Satu minggu aku menenangkan diri. Mencoba berdamai dengan kenyataan pahit itu.
Aku tengah menemani Ibu memasak ketika suara itu datang. Tersenyum hangat menyapaku. Menatapku dengan tatapan sama seperti dulu. Untuk apa Tristan kemari. Aku melirik ke punggungnya. Mungkin saja ia membawa serta perempuan itu. Isterinya. Tidak. Tristan datang sendiri. Aku menghela nafas. Menguatkan diri. Hatiku jauh lebih baik sekarang meski luka itu tetap saja terasa.
“Selamat ya Tristan atas pernikahanmu. Maaf aku tidak hadir di hari bahagiamu.” Kataku memecah kesunyian. Tersenyum canggung.
“Aku datang ke sini ingin menjelaskan semuanya padamu Nay. Tentang foto-foto itu dan perempuan yang kamu lihat bersamaku tempo hari di apotek.” Tristan menatapku. Mata itu tetap sama meski sekarang terlihat redup.
“Foto-foto itu hanyalah rekayasa Mamaku Nay.” Lanjut Tristan.
Rekayasa? Untuk apa? Aku mengernyitkan dahi, tidak mengerti.
“Mama tahu kalau aku masih menjalin hubungan denganmu. Mama sengaja memberikan foto itu dan berharap kau akan membenciku dan melupakanku. Foto itu adalah foto pernikahan Tio, kakakku. Dan perempuan yang kau lihat bersamaku adalah Tia, isteri kakakku. Ini semua hanya salah paham Nay. Malam itu aku menemani Tia membeli obat dan tanpa sengaja bertemu denganmu di sana. Aku ingin menjelaskannya padamu tapi kamu buru-buru pergi.”
“Aku ke sini mewakili Mama untuk meminta maaf padamu. Mama merasa sangat berdosa padamu. Apakah kamu masih membuka pintu maafmu untuk Mama Nay?” Kalimat Tristan berhenti. Mata itu berkaca-kaca.
Aku mengangguk. Aku sudah melupakan hal itu. Aku tahu Bu Rina sangat menyayangi Tristan. Beliau hanya ingin anaknya bahagia meski caranya keliru.
“Nay, boleh aku memegang tanganmu?” Pinta Tristan. Aku mengangguk pelan. Sepasang tangannya menggapai jemariku. Menggenggamnya erat.
“Maafkan aku karena dua tahun ini mengabaikanmu. Tidak menelponmu. Tidak menanyakan kabarmu. Maafkan aku Nay.”
Aku menggeleng, tidak apa-apa.
“Aku mencintaimu Nay. Sama seperti empat tahun yang lalu. Perasaan di hatiku tidak berubah sedikitpun.” Tristan mencium punggung tanganku. Aku tersipu. Menyunggingkan senyum padanya.
“Aku juga mencintaimu.” Jawabku lirih.
“Nay, Mama mengundangmu untuk makan malam bersama. Kamu bisa datang kan?”
Aku mengangguk.
“Nanti aku akan menjemputmu. Kalau begitu aku pamit pulang dulu.” Tristan beranjak dari tempat duduknya. Berpamitan pada kedua orang tuaku.
Pukul 19.00 tepat Tristan tiba di rumah. Ia mengenakan kemeja lengan panjang warna putih yang dilipat hingga siku. Tersenyum hangat saat melihatku. Sebelah lengannya terjulur ke arahku.
“Mari tuan putri.” Berdiri gagah seperti seorang pangeran. Aku menepuk bahunya pelan. Tersenyum kecil melihat kelakuan konyolnya itu.
Mobil Tristan melaju pelan di tengah kepadatan lalu lintas kota di malam hari. Aku diam. Memperhatikan lalu lalang kendaraan. Tidak menyadari bahwa sejak tadi Tristan memperhatikanku.
“Kamu cantik sekali malam ini Nay.” Suara Tristan membuyarkan lamunanku.
Tersenyum. “Terima kasih. Kamu juga terlihat tampan.” Aku balik memujinya. Tertawa.
Malam ini aku kembali memandang wajahmu. Melihat senyummu. Mendengarkan suara lembutmu. Kamu telah menunaikan janjimu. Janji untuk kembali kepadaku.
***
Kudus, 01 Juni 2014