Minggu, 17 Agustus 2014

Cerita Anak : Kaktus Istimewa


Kaktus Istimewa
Oleh : Nuril Islam

Matahari bersinar sangat terang sekali pagi ini. Bunga-bunga, kumbang, kupu-kupu terlihat bahagia namun tidak dengan kaktus. Wajahnya terlihat murung. Melihat itu bunga mawar mendekati kaktus.
“Kaktus, kenapa kamu murung sekali pagi ini?” tanya bunga mawar penasaran.
“Mawar, aku sedih. Kenapa aku tidak seperti tanaman yang lain. Tidak seperti kamu yang mempunyai kelopak bunga yang indah dan semua binatang mau dekat denganmu sedangkan aku…tidak ada yang mau mendekat padaku, mawar. Mereka takut tertancap duri-duri yang menutupi tubuhku,” ucap kaktus.
“Jangan berkata begitu kaktus. Aku juga punya duri. Lihatlah, batang tubuhku penuh dengan duri-duri tajam.” kata mawar menyemangati.
“Tapi mawar, aku tetap berbeda. Aku tidak istimewa sepertimu,” kilah kaktus. Wajahnya semakin sedih.
“Kamu tahu kaktus kenapa tubuhku penuh dengan duri-duri ini?” tanya mawar. Membuyarkan lamunan kaktus.
Kaktus menggeleng, “aku tidak tahu mawar.”
“Duri-duri ini melindungiku dari binatang yang ingin merusak kelopak bungaku,” jawab mawar.
Kaktus mengangguk mengerti. Namun kaktus masih merasa ada yang mengganjal di hatinya.
“Setiap tanaman pasti memiliki keistimewaan masing-masing begitu pun denganmu kaktus. Suatu hari nanti kamu pasti akan mengerti apa yang menjadikanmu istimewa,” jawab mawar lagi.
Mawar pun meninggalkan kaktus sendiri. Kaktus terus memikirkan perkataan mawar.
“Apa yang istimewa dariku?” pertanyaan itu yang selalu ada di dalam benaknya.
Hari demi hari pun berganti. Taman bunga itu semakin ramai. Serangga, bunga-bunga, kupu-kupu saling tertawa bersama. Bernyanyi di bawah langit biru yang cerah. Hanya kaktus yang tidak ikut menikmatinya. Ia masih murung dan merasa dirinya itu tidak istimewa.
“Hah, andai aku seperti mereka. Seperti bunga-bunga yang indah itu. Pasti aku bahagia,” ucap kaktus pada dirinya sendiri. Kaktus menatap kosong kawan-kawannya dari kejauhan.
Musim panas pun tiba. Udara berubah menjadi panas. Sungai-sungai mulai kering. Banyak binatang yang kesulitan mendapatkan air. Tanaman dan bunga-bunga satu persatu mati.
“Mawar, apa yang terjadi padamu? kenapa tubuhmu layu?” tanya kaktus cemas.
“Kaktus, aku layu karena beberapa hari ini tidak ada air yang menyiram batang tubuhku,” jawab mawar dengan suara lemah.
“Tapi kenapa aku tidak layu sepertimu mawar? Ah, aku memang tanaman yang aneh,” jawab kaktus. Merendahkan dirinya sendiri.
“Kamu bukan tanaman yang aneh kaktus. Lapisan lilin pada tubuhmu yang berfungi untuk menghambat pengeluaran air secara berlebihan membuatmu bisa hidup lebih lama tanpa air,” jawab mawar.
Kaktus tertegun. Benarkah apa yang dikatakan mawar?
“Aku ingin menolongmu mawar. Tapi aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.”
“Kamu pasti tahu kaktus. Pikirkanlah.”
Lama kaktus berpikir. Yang dia butuhkan adalah air untuk mawar agar mawar kembali segar. Dari mana kaktus akan mendapatkan air itu? batin kaktus. Kaktus ingat. Dia memiliki akar yang panjang untuk mencari air. Ya benar. Tanpa pikir panjang kaktus menancapkan akar-akarnya ke dalam tanah. Mencari sumber air untuk mawar, kawannya.
Hingga dua jam kaktus belum menemukan sumber air. Kaktus tidak menyerah, dia terus mencari. Menancapkan akar-akarnya lebih dalam.
“Ah ketemu,” jawab kaktus riang. Sigap kaktus menghisap air-air itu dan mengumpulkannya hingga banyak. Kaktus tidak hanya memberikan air itu untuk mawar tapi juga untuk bunga dan tanaman lain yang hampir mati. Mereka sangat senang dengan air pemberian kaktus.
“Terima kasih kaktus. Kamu baik sekali,” ucap bunga aster.
Kaktus tersenyum bahagia karena dia bisa menolong mawar dan bunga-bunga yang
lain. Kini kaktus sadar bahwa berbeda itu menyenangkan. Dia tidak perlu menjadi bunga atau tanaman lain untuk menjadi istimewa. Kaktus bersyukur terlahir sebagai tanaman yang berbeda karena dengan perbedaan itulah kaktus menjadi istimewa.
[*]
Kudus, 17 Agustus 2014
Pesan : Bersyukur dengan apa yang telah dianugerahkan Tuhan. Setiap makhluk ciptaan-Nya pasti memiliki kelebihan dan keistimewaan masing-masing dan untuk menjadi istimewa cukup dengan menjadi diri sendiri.

Goresan Tak Berjejak



TUJUH BELAS AGUSTUS

Jam berapa sih nih, gumamku. Aku meraih handphone-ku yang tergeletak di atas meja. Pukul 06.00. Sudah pagi ternyata. Segera kulangkahkan kaki keluar kamar. Mataku menyibak seluruh ruangan. Sepi.
Pada ke mana? Dahiku berlipat saling merapat. Aku melangkah menuju dapur. Kudapati di sana Ibuku sedang sibuk memasak. Lalu aku melangkah lagi menuju kamar adik-adikku. Si Mia, adik ketigaku sedang merapikan seragam merah putihnya.
“Mau ke mana? ini hari minggu kan? masih masuk sekolah?” tanyaku heran. Dahiku masih merapat.
“Upacara kak. Kan hari ini tujuh belas Agustus.” jawab Mia datar.
Eh, hari ini tujuh belas Agustus ya? Tepat enam puluh sembilan tahun yang lalu, Indonesia, tanah airku menikmati kemerdekaannya. Bagaimana bisa aku lupa. Empat tahun nggak sekolah aku jadi nggak lagi peka dengan perayaan di negaraku. Aku menepuk jidatku yang cukup lebar. Penyakit lupaku semakin hari semakin parah saja. Waduuuh.
Upacara tujuh belasan. Empat tahun yang lalu aku terakhir mengikuti upacara bendera. Aku kangen deh. Berdiri di atas rumput yang menghijau, siswa-siswi yang berbaris rapi, guru-guru, petugas upacara, pengibaran bendera, paduan suara. Pengen lagi. Ups! ya sih, berdiri di lapangan itu bikin pegel, capeknya itu di sini (nunjuk kaki) tapi suasana upacara itu salah satu momen yang tidak bisa aku lupakan. Unforgettable experiense to me.
Tujuh belasan itu identik dengan lomba-lomba. Waktu aku masih kecil, aku sering mengikuti perlombaan tujuh belasan. Mulai dari masukin pensil ke dalam botol, lomba masukin benang ke dalam jarum, lomba makan kerupuk, lomba kelereng. Seru banget. Deg-degan dan juga seneng kalau bisa menang. Meski aku selalu saja kalah. Nasib, nasib. Hemmm.
Setiap lomba itu seperti perjuangan para pejuang kemerdekaan dalam mewujudkan Indonesia Merdeka dan menang saat lomba itu seperti rasa puas para pejuang saat mendapatkan kemerdekaan untuk Tanah Air Indonesia. Benar begitu?
Kalau pejuang zaman dulu menggunakan rambu runcing, senapan untuk membela tanah air kalau sekarang masihkah seperti itu? sebentar aku bayangin dulu ye. Misalkan saja aku membawa senapan di tengah jalan dengan wajah dicorat-coret dan mengenakan pakaian seperti tentara, gimana ya? aku malah lebih mirip orang setengah waras yang biasa berkeliaran di pinggir jalan dibanding sebagai seorang pejuang. Ya iyalah. Sudah tidak zamannya membela negara dengan mengangkat senjata. Lalu dengan apa? bingung sendiri mau nanya sapa siapa. Soalnya aku lagi sendiri. Nggak ada seorangpun di sampingku, di depanku, apalagi di belakangku. Angin aja nggak lewat apa lagi manusia. Salah-salah makhluk dari alam lain yang menjawab. Hiiii, sey(r)em. Kabuuuur…

Sabtu, 16 Agustus 2014

Cerpen : Cantik Dari Hati


Cantik Dari Hati
Oleh : Nuril Islam

“Aaaaaaaa!” Rina berteriak keras dari dalam kamarnya, membuat heboh seisi rumah.
Mama Rina berlari menuju kamar Rina. Kemudian mengetok pintu kamar Rina.
“Rina? Ini Mama. Kamu kenapa?”
“Aaaaaaa!” Rina terus berteriak tidak jelas.
“Rin? kamu kenapa? buka pintunya Rin? Rina. Keluar sayang.”
Terdengar seseorang membuka pintu kamar.
Kreeek
Rina keluar dengan wajah bersimpah air mata. Kedua tangannya mengatup menutup hidungnya.
“Kamu kenapa? Lha, ini kenapa hidungnya di tutup? kamu sakit?” tanya Mama Rina bertubi-tubi.
Rina menggelengkan kepalanya. Sesenggukan ia menjawab.
“Rina nggak sakit Ma tapi…ini.”
Rina menurunkan kedua tangannya. Menunjuk benjolan kecil di atas hidung mungilnya.
“Rina jerawatan Ma. Rina nggak mau sekolah,” ucap Rina lagi.
“Rina, kamu bikin Mama panik saja. Jerawatan di usia kamu itu biasa Rin dan kamu harus tetap sekolah. Sekarang kamu mandi, ganti baju, setelah itu sarapan. Mama tunggu di meja makan.” Mama Rina membalik badan kembali ke meja makan.
Dengan muka dongkol bin mangkel, Rina kembali ke kamarnya. Melaksanakan apa yang disuruh Mamanya.
“Tapi Rina malu Ma. Nanti kalau teman-teman Rina lihat gimana? Rina nggak masuk aja ya Ma?” Rina merajuk.
“Nggak. Itu hanya jerawat Rina tidak perlu diperbesar.”
“Dasar anak manja. Emang udah dasarnya jelek jadi mau gimana juga tetep jelek, hahaha,” Aldo, kakak Rina ikut angkat bicara.
“Kakak!”
Atas saran Mamanya, Rina membawa sapu tangan untuk menutupi jerawat yang bertengger tanpa dosa di muka cantiknya.
“Rin, kamu udah tahu belum kabar tentang Sinta?” Dewi, teman sebangkunya mendekati Rina.
“Belum, dia menang lomba modelling lagi?” jawab Rina asal.
“Bukan Rin. Ini lebih heboh dari itu. Kemarin mobil Sinta kecelakaan di jalan tol dan kabarnya sebelah wajahnya itu terbakar. Kasihan ya.”
Sinta kecelakaan? dan sebelah wajahnya terbakar?
Dibandingkan dengan luka yang dialami Sinta, jerawat di wajah Rina tentu tidak ada apa-apanya. Jerawat akan segera hilang namun luka bakar tentu sulit untuk disembuhkan. Rina teringat kata-kata Mamanya tadi pagi.
“Rina, kecantikan yang hakiki itu kecantikan yang terpancar dari dalam hati bukan apa yang terlihat oleh mata. Kamu tidak perlu malu dengan jerawat kamu. Itu hanya satu jerawat Rina. Nanti juga akan hilang. Tengoklah di luar sana. Banyak orang yang memiliki fisik yang tidak lengkap tapi tetap semangat menjalani harinya dan  kita yang memiliki fisik yang lengkap dan sehat seharusnya bisa semangat seperti mereka. Tidak menjadikan kekurangan sebagai beban.”
“Begitu banyak nikmat Tuhan yang hingga detik ini masih kita nikmati. Nikmat hidup, nikmat sehat. Untuk itu syukuri apapun yang telah Tuhan berikan pada kita.”
Lama Rina terdiam. Merenungkan kata-kata Mamanya.
“Wi, sepulang sekolah nanti kita menjenguk Sinta yuk,” ucap Rina kemudian.
Dewi mengangguk setuju.
[*]
Kudus, 16 Agustus 2014

Kamis, 14 Agustus 2014

Hijab Stories






#HijabStories “Maafkan Aku”

 
“Banyak orang di luar Islam yang kagum dan tertarik kepada Islam karena kemurnian ajaran ketuhanannya, keautentikan dan rasionalitas Al Quran, sifat nabi Muhammad, menjauhi alkohol, memakan makanan halal, memakai pakaian yang menutup aurat, zakat, sholat dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu tidak berhenti hanya pada tataran pengetahuan saja namun yang terlebih penting adalah pelaksanaannya.” ― Nailal Fahmi

Di sebuah  perjalanan menuju sudut kota itu, berjajaran bangunan emporium klasik yang indah menghipnotis pandangan. Sebut saja, Jhon, Karin, Samuel berdiri bergelantungan di atas tram berwarna kuning. Tidak terlalu berdesakan, namun bangku sudah terisi penuh, sehingga mereka bertiga berdiri. Karin agak sedikit menjauh, dan Samuel dan Jhon berdekatan dan saling berdiskusi.
Jhon adalah seseorang yang telah lama bergelut dalam jurnalistik maupun dunia start up media, mungkin karena kejenuhannya hingga ia akhirnya memilih jalan lain dalam balutan spiritual. Ia dapatkan ketentraman itu dalam islam, perubahan hidupnya membuat orang-orang di sekitarnya acapkali mengerutkan dahi, mungkin berkata “Kenapa jadi seperti itu”.
Sedang Samuel adalah seorang profesional muda yang bergerak di bidang bisnis multimedia. Pemuda katolik itu telah lama menjadi sahabat Jhon, namun ia sangat tahu apa yang telah di jalani Jhon. Dan tentu Samuel juga paham kenapa dua temannya itu yang dulu bersama-sama belajar di bawah naungan yayasan katolik berubah hidupnya. Hingga Tak hanya Jhon, Karin juga jatuh cinta dengan islam.
Karin, seorang wanita cantik berdarah eurosia adalah seorang model cantik yang luar biasa kecantikannya. Dengan postur tubuh yang aduhai, kulit yang putih, mata yang indah serta rambut hitam pekat yang membuat nyanar mata, dan tinggi semampainya wanita itu, sempurna. Bahkan ia akan terlihat cantik tanpa make up, menjadi biasa-biasa saja pun itu terlihat cantik, dan balutan kostum model yang sering ia kenakan, serta glamornya style yang menjadi ciri kasnya, membuatnya tepat disebut wanita metropolis.
“Masha Allah, bagaimana ini bisa terjadi? Harusnya aku kenakan juga gloves panjang itu dan terusan lengan – bukan yang pendek!” Terdengar suara wanita yang heboh. Para penumpang tram juga menolehkan pandangan, mengarahkan matanya pada sosok wanita yang terlihat heboh itu.
Samuel dan Jhon juga menolehkan pandangannya. Dan ternyata, suara itu adalah suara Karin. Ia terlihat sibuk dengan rapalannya. Terlihat ada masalah pada sahabatnya itu. Samuel dan Jhon lantas mendekati Karin yang tengah sibuk dan terlihat berceracau terhadap lengannya sendiri.
“Hei, nona ada apa? Manyun – manyun dan buat heboh sendiri” sahut Samuel.
“Iya, kenapa kamu …” sahut Jhon juga.
“Entah bagaimana aku menebus kesalahan ini kepada Allah. Saat aku bergelantungan di tram ini, lengan kananku tersingkap, dan aku merasa berdosa. Aku takut Allah murka padaku, saat lengan ini harusnya tak tersingkap dan terlihat oleh orang di sekelilingku. Aku kira penutup wajahku (niqab) ini sudah cukup membuatku aman, namun aku lalai saat aku lupa memaka gloves panjang terusan di lengan, aku hanya kenakan yang pendek.
Ya, Allah. Bagaimana aku Engkau maafkan? Aku tidak ingin berkhianat akan janjiku untuk menyudahi kejahiliyahanku, Ya Rabb.” karin berceracau seperti itu, matanya terlihat basah. Dari balik hijab dan niqabnya matanya berbicara penyesalan lewat tetesan air matanya.
“Hei, Jhon! Kau tahu? Dia dulu adalah seorang super model, kan?” Sahut Samuel, dan Jhon terdiam sambil menganggukkan kepala.
Jhon berucap pelan saja, “Ya Rabb, Engkaulah alasan semua kehidupan ini. Engkaulah penjelasan atas semua kehidupan ini. Perasaan itu datang dariMu. Semua perasaan itu juga akan kembali kepadaMu. Kami hanya menerima titipan. Dan semua itu ada sungguh karenaMu… Katakanlah wahai semua pencinta di dunia. Katakanlah ikrar cinta itu hanya karenaNya. Katakanlah semua kehidupan itu hanya karena Allah. Katakanlah semua getar-rasa itu hanya karena Allah.”
…………………………
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.” (HR. Imam Muslim)

Saya nggak mau jilbaban! Jilbaban itu kuno | “Lha, itu zaman flinstones, lebih kuno lagi, nggak pake jilbab” Tapi kan itu hal kecil,
kenapa jilbaban harus dipermasalahin?! | “Yang besar2 itu semua awalnya dari perkara kecil yang diremehkan”
Yang penting kan hatinya baik, bukan lihat dari jilbabnya, fisiknya! | “trus ngapain salonan tiap minggu? make-upan? itu kan fisik? Dan Islam meyakini bahwa iman itu bukan hanya perkara hati, namun juga ditunjukkan dalam fisik atau amalan lahiriyah. Hati pun cerminan dari lahiriyah. Jika lahiriyah rusak, maka demikianlah hatinya”
Jilbaban belum tentu baik | “Betul, yang jilbaban aja belum tentu baik, apalagi yang … (isi sendiri)”
Saya kemarin lihat ada yang jilbaban mencuri! | “So what? yang nggak jilbaban juga banyak yang mencuri, gak korelasi kali”
Artinya lebih baik jilbabin hati dulu, buat hati baik! | “Yup, ciri hati yang baik adalah jilbabin kepala dan tutup aurat”
Kalo jilbaban masih maksiat gimana? dosa kan? | “Kalo nggak jilbaban dan maksiat dosanya malah dua . Malah nggak jilbaban itu dosa besar. ″
Jilbaban itu buat aku nggak bebas! | “Oh, berarti lipstick, sanggul, dan ke salon itu membebaskan ya?”
Aku nggak mau dibilang fanatik dan ekstrimis! | “Nah, sekarang kau sudah fanatik pada sekuler dan ekstrim tidak mau taat”
Kalo aku pake jilbab, nggak ada yang mau sama aku!? | “Banyak yang jilbaban dan mereka nikah kok”
Kalo calon suamiku gak suka gimana? | “Berarti dia tak layak, bila didepanmu dia tak taat Allah, siapa menjamin dibelakangmu dia jujur? Dan ingatlah al khobitsaatu lil khobitsiin, perempuan rusak ditakdirkan dengan lelaki yang sama. Demikian sebaliknya.”
Susah cari kerja kalo pake jilbab! | “Lalu enggan taat pada perintah Allah demi kerja? emang yang kasih rizki siapa sih? Bos atau Allah? Dan asalnya wanita itu berdiam di rumah: wa qorna fii buyutikunna (menetaplah kalian di rumah-rumah kalian)”
Ngapa sih agama cuma diliat dari jilbab dan jilbab? | “Sama aja kayak sekulerisme melihat wanita hanya dari paras dan lekuk tubuh”
Aku nggak mau diperbudak pakaian arab! | “Ini simbol ketaatan pada Allah, justru orang arab dulu (di zaman jahiliyah) gak pake jilbab. Syari’at jilbab ini untuk seluruh wanita, bukan hanya Arab sebagaimana ditegaskan dalam surat Al Ahzab ayat 59: “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”.”
Jilbab cuma akal-akalan lelaki menindas wanita | “Perasaan yang ngadain miss universe laki2 deh, yang larang jilbab di prancis juga alaki-laki″
Aku nggak mau dikendalikan orang tentang apa yang harus aku pake! | “Sayangnya sudah begitu, tv, majalah, sinetron, kendalikan fashionmu”
Jilbab kan bikin panas, pusing, ketombean | “Jutaan orang pake jilbab, nggak ada keluhan begitu, mitos aja”
Apa nanti kata orang kalo aku pake jilbab?! | “Katanya tadi jadi diri sendiri, nggak peduli kata orang laen…”
Jilbab kan nggak gaul?! | “Lha mbak ini mau gaul atau mau menaati Allah?”
Aku belum pengalaman pake jilbab! | “Pake jilbab itu kayak nikah, pengalaman tidak diperlukan, keyakinan akan nyusul”
Aku belum siap pake jilbab | “Kematian juga nggak akan tanya kamu siap atau belum dear”
Mamaku bilang jangan terlalu fanatik! | “Bilang ke mama dengan lembut dan santun, bahwa cintamu padanya dengan menaati Allah penciptanya”
Aku kan gak bebas ke mana-mana, gak bisa nongkrong, clubbing, gosip, kan malu sama baju! | “Bukankah itu perubahan baik?”
Itu kan nggak wajib dalam Islam!? | “Kalo nggak wajib, ngapain Rasul perintahin semua wanita Muslim nutup aurat?”
Kasi aku waktu supaya aku yakin jilbaban dulu | “Yakin itu akan diberikan Allah kalo kita sudah mau mendekat, yakin deh”.

(DAILYNOMOUS.ME)

Selasa, 12 Agustus 2014

Cerpen, Maafkan Aku



Maafkan Aku
Oleh : Nuril Islam
Kukayuh sepeda dengan tenaga yang masih tersisa. Peluh tiada henti membasahi tubuhku yang mulai terasa lengket. Siang ini terasa sangat panjang dan matahari tampak enggan bergeser walau satu senti. Terik matahari yang panas seperti harimau yang mencari mangsa. Jalan-jalan pun tampak lengang. Mungkin hanya aku yang berada di jalan ini melewati panasnya siang. Orang-orang mungkin lebih senang berada di dalam rumah daripada harus menerjang teriknya hari.
Kutambah tenaga agar aku dapat segera sampai di rumah. Telah terbayang segelas es sirup dan sepiring nasi putih yang masih panas, sayur bening, dan ikan goreng. Mereka seakan memanggilku. Cacing dalam perutku pun ikut memprotes. Semakin cepat aku mengayuh, lelah justru semakin menyergapku. Jalan menuju rumah terasa panjang, tiada ujungnya. Akhirnya, setelah hampir tiga puluh menit aku bertarung melawan terik matahari, aku sampai di rumah.
“Alhamdulillah,” seruku dalam hati.
Rumahku kecil saja. Temboknya berwarna biru yang sudah kusam. Ada dua jendela di samping kanan pintu. Di pojok rumah, tertata rapi tanaman dan bunga-bunga yang sedang bermekaran. Kulihat, seekor ayam sedang asyik mencari makan. Ia gali tanah dengan cakarnya yang tajam dan mencari makanan yang mungkin dapat ia temukan. Rumah sederhanaku, tepatnya rumah kedua orangtuaku. Tempatku dan keluargaku berlindung dari panas dan hujan. Tempat dimana aku dilahirkan dan dibesarkan. Kugiring sepedaku ke dalam parkiran yang berada di samping rumah.
“Assalamu’alaikum,” kuucapkan salam saat memasuki rumah.
Hening. Tak ada jawaban.
“Ah mungkin ibu sedang di dapur,” pikirku.
Kulangkahkan kaki menuju kamarku yang sempit. Terdapat banyak almari di sana. Di ujung terdapat sebuah tempat tidur yang alakadarnya. Bagaimana tidak, tempat tidur itu hanya berlapis kain lusuh yang sudah sobek di sana-sini. Tidak ada kasur karena memang tidak diberi kasur. Di situlah aku biasa berbaring melepas lelah dan merangkai mimpi masa depan. Meski sederhana, aku tetap bersyukur masih memilikinya karena mungkin di luar sana banyak orang yang tidur beralaskan koran atau bahkan tidur tanpa alas. Kuletakkan tas sekolahku di atas kasur. Kuambil pakaian ganti dan segera aku ganti seragam sekolahku. Belum selesai berganti baju, ibu memanggilku.
“Fira, ke sini nduk,” panggilnya.
Dengan langkah gontai, aku menuju dapur.
“Ada apa bu?”
“Ini antar ke rumah bulikmu,” Ibu menyerahkan kantong plastik hitam padaku.
“Rizal sajalah bu. Aku baru pulang sekolah, aku capek bu. Aku juga belum makan.”
Aku melirik ikan di atas meja yang baru selesai digoreng. Baunya sangat menggoda. Menggelitik hidungku. Hmmm…
“Oalah Nduk. Kamu pikir ibumu ini tidak capek, tiap hari harus bangun pagi, masak, bersih-bersih dan ngurus adikmu, Ima. Kamu itu anak perempuan dan anak pertama ibu. Seharusnya kamu bisa jadi contoh untuk adik-adikmu.” Ibu berkata panjang lebar.
“Iya, Afira tahu bu. Tapi kan ada Rizal. Dia juga sudah tahu jalan ke rumah bulik Tuti.”
Aku tetap ngeyel.
“Adikmu itu pergi main, Fir. Kamu itu dimintai tolong kok ya ndak mau. Apa kamu saja yang masak, biar ibu yang pergi?” ucap ibu mulai marah.
Waduh, aku kan nggak bisa masak. kalau aku yang masak nanti aku sendiri yang pusing. Nggak ngerti bumbu-bumbu dapur. Ungkapku dalam hati.
“Gimana? Kamu yang masak?” Ibu mengulang pertanyaannya.
Dengan berat hati, aku menuruti ucapan ibu. Kuraih kantong plastik itu dan segera pergi. Tak kupedulikan cacing-cacing dalam perutku yang sejak tadi minta diisi.
“O iya Fir. Setelah dari rumah bulik Tuti kamu temani Ima dulu. Dia lagi tidur di kamar. Takutnya kalau dia bangun, ya nduk?” pinta ibu saat aku mengambil sepeda.
Aku menghela nafas, “Ya bu.”
***
Kubuka pintu kamar dengan perlahan. Aku tidak ingin adikku bangun karena kedatanganku dan mengganggu mimpinya. Tubuh mungil itu tidur dengan sangat pulas. Kedua tangan dan kakinya memeluk guling yang entah sudah berapa kali terkena ompol. Bibirnya bergerak-bergerak seperti mengucapkan sesuatu, bukan berbicara tapi seperti sedang minum. Ya, mungkin botol minumnya lepas dari mulutnya. Dan kutemukan botol minum Ima berada di atas bantal tidurnya. Kuraih dan kuisi botol itu sampai penuh. Kuletakkan kembali di samping Ima, siapa tahu ia terbangun dan merasa haus. Kurebahkan badanku di samping Ima. Mataku menatap langit-langit kamar namun pikiranku mengembara menembus atap rumah. Masih terngiang ucapan Ibu padaku.
“Kamu itu anak perempuan dan anak pertama ibu. . .”
Hufffh. Kuhembuskan nafas berat.
Anak pertama. Kenapa ibu selalu berkata seperti itu jika aku tidak menurut? pikirku.
Aku memang anak pertama dan aku punya dua orang adik. Adikku yang pertama, Rizal. Dia duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 3. Anaknya bandel, nakal dan selalu membuatku marah. Pernah suatu hari ibu marah padaku karena kamar yang berantakan. Saat itu aku sedang tidur di kamar dan aku mendengar Rizal tertawa keras. Aku memarahinya dan memintanya berhenti tertawa. Tapi ia justru melempariku dengan bantal dan guling. Aku yang saat itu kesal membalas dan melempar bantal dan guling ke arahnya. Dan tiba-tiba ibu datang.
“Masyaallah, Fira. Apa-apaan ini. Kamar berantakan seperti ini. Kamu sudah besar jangan seperti anak kecil. Sudah dibersihkan dan jangan main di kamar.”
Itu yang Ibu katakan padaku. Aku kesal sekali saat itu. Rizal yang menjadi penyebabnya malah pergi sambil tertawa.
“Ibu tidak adil.” pekikku pelan.
Adikku yang kedua namanya Ima. Usianya baru dua tahun. Hubunganku dengannya jauh lebih baik dibanding dengan Rizal. Mungkin karena kami sama-sama perempuan.
Mataku terasa berat. Semakin lama semakin berat. Akhirnya aku tertidur di samping Ima.
Aku mencium sesuatu yang aneh. Seperti. . . bunga melati. Benar, aku mencium bunga melati. Baunya sangat tajam dihidung. Perlahan, aku membuka mata. Betapa terkejutnya aku. Aku sudah tidak berada di dalam kamar. Ima yang tadi tidur di sampingku menghilang. Tempat tidur, almari pakaian, semuanya hilang. Kuedarkan pandang. Sebuah ruangan besar yang berwarna putih. Ragu-ragu aku melangkahkan kaki. Semakin jauh kau melangkah, aku semakin bingung. Aku seperti sedang berputar. Sekelilingku tetap tembok putih. Tiba-tiba seorang laki-laki tua berjenggot dan mengenakan baju putih panjang datang mendekatiku. Entah dari arah mana pak tua itu datang.
“Assalamu’alaikum.”
Pak tua itu menyapaku ramah.
“Wa’alaikum salam.”
Aku membalas tersenyum.
“Kamu Afira?”
“Iya, saya Afira. Bapak siapa?” tanyaku dengan gugup.
“Ikuti aku Nak.”
Tanpa menunggu jawabanku, Pak tua itu berjalan melewatiku. Aku diam di tempatku berdiri. Aku bingung, tak tahu apa yang harus aku lakukan. Mengikuti Pak tua itu atau tetap tinggal di sini. Aku tidak mengenal Pak tua itu dan aku juga tidak tahu di mana aku sekarang. Bagaimana kalau Pak tua itu mencelakaiku? ah, tidak mungkin. Aku memandangi Pak tua yang berjalan menjauh dariku. Sepertinya Pak tua itu baik. Sebelah hatiku membela.
“Ikuti aku Nak.”
Pak tua itu seakan memahami keraguanku dan mengulang sekali lagi perkataannya yang membuatku tersadar. Bismillah. Aku melangkah mengikuti Pak tua itu. Ku buang jauh-jauh pikiran buruk yang terus menerus muncul di benakku.
“Pak, maaf. Saya mau bertanya. Ini di mana? dan Bapak mau mengajak saya kemana?”
Aku bertanya dengan hati-hati. Pak tua itu hanya diam dan terus melangkah. Jangankan menjawab pertanyaanku, menoleh padaku saja tidak.
Pak tua itu berjalan ke arah yang tidak ada bedanya. Sekelilingku tetap tembok yang berwarna putih. Namun tiba-tiba di depan sana ada tiga buah pintu. Tiga pintu yang berbeda-beda.
Aku mengedar pandang, tidak ada pintu seperti itu. Pintu yang pertama bentuknya aneh. Terdapat goresan dan bekas terbakar. Dari dalam pintu terdengar suara orang menjerit, merintih dan mengerang kesakitan. Sangat menakutkan.
“Seperti di Neraka saja.” ucapku lirih.
Hah, neraka? aku ngeri sendiri dengan ucapanku. Pak tua itu masih terus berjalan, melewati pintu pertama. Seolah Pak tua itu tidak mendengar suara-suara menakutkan itu. Satu pintu lagi di depan. Pintu itu biasa saja bentuknya. Tidak ada goresan ataupun bekas terbakar. Pintu ini seperti pintu yang ada di rumah. Rumah? aku tertegur. Menyadari bahwa aku tidak berada di rumah. Wajah ibu, Ima dan Rizal berkelebatan di depan mataku. Tiba-tiba aku merindukan mereka. Apakah ibu khawatir padaku?
“Masuklah.”
Pak tua itu berkata tiba-tiba. Aku terkejut. Aku memandang pintu yang di tunjuk Pak tua. Pintu itu berbeda dengan pintu pertama dan kedua. Pintu itu penuh dengan ukiran-ukiran yang sangat indah, seperti ukiran ayat dalam Al-Qur’an. Subhanallah. Aku terpesona. Pak tua menyuruhku membuka pintu itu. Sekali lagi aku memuji kebesaran Allah SWT. Perlahan aku memasuki ruangan itu. Pak tua telah berlalu meninggalkanku.
Sekarang, aku berada di sebuah taman yang sangat luas dan indah. Bunga-bunga yang terlihat cantik, sungai yang jernih, air mancur dan burung-burung yang terbang di langit biru. Pemandangan yang menyejukkan hati.
“Assalamu’alaikum.”
Terdengar suara seseorang dari samping kananku.
“Wa’alaikum salam.”
Aku menoleh. Wajah itu tersenyum padaku. Sebuah senyum yang telah lama tidak aku lihat.
“Nenek.”
Aku mendekati nenek. Kucium punggung tangannya dan memeluknya erat.
“Bagaimana kabarmu, Fir?”
Nenek mengelus lembut rambutku yang tergerai di tiup semilir angin.
“Alhamdulillah, Afira baik nek. Nenek juga sepertinya sehat.”
Nenek memandangku lembut.
“Oh ya Nek. Ini tempat apa? indah sekali.”
Nenek hanya tersenyum.
Krucuk krucuk krucuk.
Aduh, cacing dalam perutku protes. Aku lapar. Aku baru ingat kalau aku belum makan sejak tadi.
“Afira kamu lapar?”
“ Iya nek. Tadi belum makan ” nyengir.
“Ayo ikut Nenek.”
Kami berjalan menyusuri hamparan taman bunga yang indah. Nenek berhenti di sebuah bangku panjang yang berada di pinggir danau. Di atas bangku itu ada rantang makanan.
“Nah, makanlah.” Nenek menyodorkan rantang makanan itu padaku. Ragu aku menerima dan membukanya. Di dalam rantang makanan itu ada nasi yang masih hangat, sayur, dan ikan lele goreng yang terlihat sangat menggoda dan tak lupa sambal bawang. Menu yang mantap.
“Wah, sepertinya enak.” ungkapku gembira.
“Makanlah, Fir.”
Segera kulahap semua makanan itu tanpa ada yang tersisa. Tak lupa sebelum makanan aku membaca do’a.
“Alhamdulillah, makanannya enak, Nek. Nenek sendiri yang membuatnya?”
Aku mengusap peluh dengan punggung tangan.
“Tentu saja. Nenek tahu kalau kamu suka sekali masakan nenek. Apalagi sambal bawang.”
Aku hanya bisa tersenyum, membenarkan pernyataan nenek.
“Kalau begitu nenek pergi. Jaga dirimu baik-baik. Jadilah anak yang rajin dan jangan lupa salat ya, Fir.”
“Nenek mau kemana? Fira ikut Nek. Aku ingin bersama nenek. Aku tidak mau pulang. Setiap hari ibu selalu marah padaku. Dimata ibu aku selalu saja salah, tidak pernah benar. Ya nek?”
Aku memohon.
“Nenek tidak bisa mengajakmu, Fir. Belum saatnya. Aku kenal betul siapa ibumu itu. Dia tidak akan marah kalau kamu tidak berbuat salah. Ibumu marah karena ia sayang padamu, Fir. Tidak ada seorang ibu yang tidak menyayangi anaknya begitupun ibumu, Fir. Apakah kamu lebih suka jika ibumu tidak memperhatikanmu? tidak peduli padamu?”
Aku hanya diam tertunduk.
“Kamu sudah besar Fir. Kamu juga punya dua orang adik. Kamu harus bisa memberi contoh yang baik pada mereka. Ibumu sangat menyayangimu Fir, percaya pada Nenek.” Nenek melanjutkan.
“Nenek pergi dulu. Assalamu’alaikum.”
Nenek melangkah menjauhiku. Semakin lama semakin jauh hingga tidak terlihat lagi. Tiba-tiba semuanya menjadi gelap.
“Fira, bangun Nak. Makan dulu. Tadi kamu belum makan kan?”
Suara ibu membangunkanku.
Kupandangi sekelilingku. Tak ada danau, bangku panjang, taman bunga, dan  Nenek. Semuanya hilang. Aku berada di rumah sekarang. Ima masih tertidur di sampingku. Dan ibu duduk di depanku.
“Afira, makan dulu. Kamu belum makan kan? Kamu sudah salat zuhur? ” Ibu bertanya dengan lembut.
Kuintip jam di dinding kamar. Pukul 13.30.
Syukurlah. Masih ada waktu. Yang tadi itu. . . mimpi.
“Fira, kamu kenapa? kok malah bengong.”
Aku menatap ibu. Ada sebutir airmata di sudut mataku. Segera aku memeluk ibu dengan erat seakan aku takut kehilangannya. Ibu yang awalnya terkejut, kemudian tersenyum dan mengelus rambutku.
“Maafkan aku ibu. Afira sudah sering membantah dan tidak menurut. Maafkan aku.” ucapku lirih. Perlahan butiran airmata membasahi pipiku. Di dalam hati kulantunkan sebuah doa untuk ibu.
Ya, Tuhanku. Ampunilah dosaku dan dosa ibu ayahku serta sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi dan mendidikku sewaktu aku masih kecil. Aamiin.
                                                         ~ 0 ~