Minggu, 28 September 2014

Cerpen : Origami Sepasang Merpati


Origami Sepasang Merpati
Oleh : Nuril Islam

“Yeee, punyaku sudah jadi!” Ian berseru senang. Mengangkat tinggi-tinggi origami bentuk senjata ninja miliknya. Aku manyun. Memandanginya dengan perasaan iri.
“Aku menyerah,” ucapku kesal. Membuang sembarangan kertas origami warna merah jambu. Melipat kedua tangan.
“Ah, kamu Re. Begitu saja sudah menyerah. Payah!” Kata Ian. Kembali duduk di sampingku. Mengambil kertas origami yang kubuang.
Ya, aku memang payah. Berkali-kali Ian mengajari membuat origami tapi tetap saja aku tidak bisa. Padahal kelihatannya origami itu mudah, tapi setelah aku mencoba membuatnya ternyata sulit. Aku semakin kesal karena Ian tertawa melihat hasil origamiku yang tidak berbentuk.
“Kalau manyun begitu kamu semakin mirip dengan si Duck, hahaha.” Ian tertawa. Si Duck adalah bebek peliharaan Kang Asep, penjaga kantin sekolah.
Aku diam. Tidak mengindahkan ejekan Ian itu. Aku kesal tapi malu juga. Ah, entahlah. Aku beranjak dan meninggalkan Ian yang masih tertawa bahkan tawanya semakin kencang.
Hai, namaku Rere dan dia adalah sahabatku, Ian. Kami berdua adalah penghuni panti Cahaya Kasih. Meski kami tidak memiliki orang tua, tapi kami memiliki Bu Hana. Beliau adalah pengurus panti sekaligus orang tua bagi kami. Beliaulah yang mengajarkan kami untuk selalu tersenyum dan bersyukur meski kehidupan kami tidak sama seperti anak-anak yang lain. Bu Hana adalah malaikat bagiku.
Aku dan Ian bersekolah di SMP Nusa Bangsa. Tidak jauh dari panti. Tingkat akhir. Di sekolah kami termasuk siswa yang pintar lho. Aku rangking kedua dan Ian selalu rangking pertama (huh!). Aku dan Ian bersahabat baik tapi untuk urusan pendidikan kami saling bersaing menjadi yang terbaik. Tapi kami selalu bersaing dengan sportif kok.
Aku paling suka bernyanyi dan Avril Lavigne adalah penyanyi favoritku. Aku bahkan mengoleksi banyak kaset Avril Lavigne. Kaset-kaset itu kudapatkan dengan susah payah. Menyisihkan uang jajan berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan agar bisa membeli kaset itu.
Sedangkan Ian paling suka membuat origami. Jika kau ingin melihat koleksi origami milik Ian, tengoklah kamarnya. Berbagai origami dengan macam bentuk dan ukuran bertebaran di setiap sudut kamarnya. Ikan, bunga, katak, burung, dan entah apalagi.
Yang paling menarik adalah origami sepasang burung merpati. Origami itu berbeda dan terlihat istimewa. Jika origami yang lain di digantung di langit-langit kamar atau disusun menjadi tirai, origami sepasang burung merpati itu di letakkan di dalam toples kaca yang tertutup. Kenapa coba? Kan tidak mungkin merpati kertas itu terbang. Aneh betul Ian itu.
Terdengar seseorang mengetuk pintu kamarku. Satu kepala mengintip dari baliknya.
“Kamu masih marah?” Ian. Aku memandangnya sepintas. Pura-pura membaca buku.
“Jangan marah gitu dong, Re. Aku kan cuma bercanda.”
Aku masih diam. Siapa juga yang tidak kesal. Ditertawakan seperti itu hanya karena aku tidak bisa membuat origami. OMG, hellouw!
“Sebagai permintaan maaf, aku buatkan origami buat kamu deh. Ya?” bujuk Ian. Melompat ke atas ranjangku. Membuatku bergoyang. Huh, dasar Ian.
Ah, basi. Terlalu sering Ian membuatkan aku origami.
“Atau kamu mau origami yang ada di kamarku. Pilih aja, Re. Tapi kamu maafin aku ya? Please?” kata Ian bersungguh-sungguh. Menatapku penuh harap.
Aku mendesah. Menutup buku yang sama sekali tidak kubaca.
“Aku mau origami yang di toples itu.” Kataku tenang.
Tanpa kuduga, Ian menggelengkan kepalanya. Menolak permintaanku. Padahal tidak
pernah sekalipun Ian menolak permintaanku. Kenapa? Apakah origami itu sangat berarti
untuknya?
“Maaf, Re. Aku tidak bisa. Aku tidak bisa memberikan origami itu.” Ian berlari keluar dari kamarku. Aku mencegah tapi Ian terus berlari ke kamarnya. Mengunci pintu.
“Ian? Ian?” Aku mengetok pintu. Tapi aku tidak mendengar suara dari dalam. Apa Ian marah? Atau mungkin membenciku? Tiba-tiba aku merasa menyesal. Mengutuki diri sendiri.
“Ada apa, Re?” Bu Hana menggenggam pundakku. Aku tersenyum getir. Bola mataku berkaca. Sepertinya aku akan menangis. Dan benar, air mataku pecah saat kuceritakan semua pada Bu Hana. Aku benar-benar takut Ian akan membenciku.
“Kita biarkan saja Ian sendiri dulu. Nah, sekarang lebih baik kamu bantu kakak-kakak di dapur. Nanti malam ada tamu istimewa.”
Tamu istimewa? Dahiku terlipat. Siapa?
Kulangkahkan kaki menuju dapur. Sekali kumenoleh ke arah kamar Ian. Berharap Ian keluar dan mau menemuiku. Tapi pintu kamar Ian masih tetap tertutup. Aku menghela napas pelan. Melanjutkan langkah menuju dapur.
Siang segera berganti malam. Rumah panti kami malam ini terlihat sangat berbeda. Lampu-lampu dan pita-pita menghiasi setiap ruangan. Malam ini kami akan kedatangan tamu istimewa. Siapa? Aku juga tidak tahu.
Aku merapikan dress warna merah muda yang kukenakan. Tersenyum memandangi wajahku di depan cermin. Sekejap menuju ruang tamu bergabung dengan yang lain. Menanti tamu istimewa itu.
Ian? Dia sudah keluar dari kamarnya. Memandangku sepintas kemudian berbaris bersama teman laki-lakinya. Aku tersenyum kecut melihatnya. Berjalan dengan wajah tertunduk ke arah baris anak perempuan.
Tiga puluh menit kemudian.
Terdengar deru suara mobil memasuki halaman panti. Anak-anak panti berlarian
keluar. Ingin segera melihat tamu istimewa itu. Tapi aku terdiam di tempatku. Memandang Ian. Iapun memandang ke arahku. Ragu-ragu aku melangkah mendekatinya. Berdiri tepat di depannya. Menjulurkan tangan.
“Maafkan aku.” Wajahku tertunduk.
Ian menyambut uluran tanganku. Aku tersenyum cerah. Mengangkat wajah.
“Kita baikan?” tanyaku. Ian tersenyum.
“Tapi, mulai malam ini semua akan berubah. Semua tidak akan sama lagi, Re.”
Aku melipat dahi. Tidak mengerti dengan kalimat Ian. Belum sempat kutanyakan maksud kalimat Ian itu, Bu Hana meminta kami untuk berbaris kembali.
Sepasang suami isteri memasuki ruang tamu. Bergantian bersalaman dengan kami. Si laki-laki mengenakan jas warna hitam, rambutnya tersisir rapi. Sedang si perempuan mengenakan gaun warna merah marun. Rambutnya yang panjang tergerai dibelai kipas angin ruangan. Cantik sekali. Siapakah mereka? tanyaku dalam hati. Jawaban itu baru kudapatkan setengah jam kemudian. Kami akan makan malam bersama dulu dengan tamu istimewa itu.
Mbok Inah, Kak Mira dan yang lain hilir mudir menyajikan hidangan di atas meja. Meja panjang itupun segera penuh dengan makanan yang menggugah selera. Kulihat Bu Hana mempersilakan tamu istimewa itu untuk mencicipi makanan yang disediakan.
Satu jam kemudian.
Mereka adalah Bapak Andi dan Ibu Hena. Mereka adalah orang tua kandung Ian. Tujuan mereka datang ke panti tak lain untuk menjemput Ian pulang bersama mereka.
“Setelah sekian lama mencari, akhirnya kami menemukan putra kami yang hilang. Ian.” Suara Pak Andi menghentak kesadaranku. Melemparku ke dalam jurang yang dalam dan gelap.
“Dan terima kasih untuk Bu Hana yang telah merawat anak kami dengan baik.” Bu Hena memeluk Ian dengan penuh sayang.
Air mataku berjatuhan. Membasahi dress merah mudaku. Aku masih tidak percaya dengan apa yang telah kudengar.
“Kami berencana untuk membawa Ian ke Ausie. Melanjutkan pendidikannya di sana.”
Air mataku semakin deras berjatuhan. Ausie? Itu berarti aku tidak akan bertemu dengan Ian lagi? Bertahun-tahun kami selalu bersama. Pergi berdua, belajar bersama, bercanda, tertawa. Dan sekarang aku harus melihat kenyataan bahwa Ian akan pergi. Meninggalkanku sendiri.
Aku berlari menjauh dari keramaian. Mencari tempat untuk menyendiri. Aku berhenti di tempat remang di halaman belakang. Tempat ini pun akhirnya hanya akan menjadi kenangan.
Aku menangis. Tersedu. Menatap tanah berpasir yang membuat sepatuku kotor. Aku tidak peduli.
Bulan di atas sana sedang purnama. Bulatnya yang elok menatapku nanar. Seharusnya malam ini indah. Lihatlah, bintang gemintang membentuk gugusan yang sangat memesona. Namun di mataku semua terlihat sangat menyakitkan. Apa artinya semua ini jika Ian pergi.
“Aku tahu, kamu pasti di sini.” Aku menoleh. Ian berdiri di bawah daun pintu. Melangkah mendekat.
“Maafkan aku, Re,” kata Ian memecah sepi yang tercipta.
“Untuk apa?”
“Untuk semuanya. Aku akan pergi. Bukan sehari atau sebulan. Mungkin bertahun-tahun.”
Aku diam. Menggigit bibir. Jangan pergi, Ian. Jangan tinggalkan aku.
“Aku janji akan rajin menghubungimu.” Ian menolehkan wajahnya. Menatapku.
Tapi semua tidak akan menyenangkan lagi. Jawabku lewat tatapan mata.
“Ya, setelah aku pergi kamu pasti tidak akan menemukan teman seganteng, sepintar
dan sekeren aku. Iya kan?” Ian nyengir. Menyenggol pundakku. Aku tersenyum getir. Ya, itu benar. Kamu memang sahabatku yang paling ganteng, pintar dan keren. Aku mengakuinya
sekarang.
 “Nah, ini untukmu.” Ian menyerahkan bungkusan kotak padaku.
Apa ini? Tanyaku. Mengerutkan dahi. Ian mengisyaratkan untuk membukanya. Ternyata isi kotak itu adalah origami burung merpati yang aku minta. Ah, bukankah Ian bilang tidak akan memberikannya?
“Aku memberikan satu origami burung merpati itu padamu dan pasangannya aku simpan di toples yang baru. Seperti hakikatnya, burung merpati akan selalu tahu ke mana ia harus pulang. Sejauh apapun ia terbang ia tidak pernah tersesat untuk pulang. Dan aku akan segera kembali karena di sinilah rumahku. Bersama Bu Hana, adik-adik panti dan tentu saja kamu, Re.” Ian tersenyum. Senyum Ian laksana setitik embun yang menyejukkan. Menghalau segala resah dan sedihku.
“Promise?” ucapku. Mengacungkan jari kelingking ke arahnya.
“Promise!” Balas Ian. Menyatukan jari kelingkingnya dengan jariku.
Aku pun bisa mengiringi kepergiaan Ian dengan hati lapang. Aku yakin suatu hari nanti Ian akan kembali membawa warna baru dalam hidupku. Sama seperti yang selama ini ia lakukan. Mewarnai duniaku dengan origami miliknya.
Beberapa tahun kemudian.
Usiaku sekarang 22 tahun. Aku menjadi tenaga pengajar di salah satu taman kanak-kanak di dekat panti. Bersama Bu Hana, aku memajukan panti asuhan. Bukan hanya tempat untuk menampung anak-anak terlantar. Aku membangun sekolah gratis dan rumah membaca untuk anak-anak. Alhamdulillah, semua berjalan baik dan lancar. Aku merasa senang bisa membantu mereka. Rasanya itu … amazing. Melihat senyum lepas yang terkembang dari bibir-bibir mungil itu lelahku serasa hilang.
Satu hal lagi yang menarik. Aku sudah bisa membuat origami. Ya, sejak Ian pergi entah kenapa aku bertekat untuk membuat kerajinan tangan itu. Siang dan malam aku memelototi buku tata cara membuat origami. Aku ingin bisa membuat origami. Kenapa? Karena dengan
membuat origami aku merasa Ian berada di dekatku. Bersamaku.
Hari semakin sore. Senja semakin matang. Terlihat satu dua burung terbang menuju arah
terbenamnya matahari. Aku menikmati pemandangan itu dari teras panti. Ditemani secangkir
teh hangat dan buku tebal di pangkuanku. Lagu best years of our lives yang dinyanyikan Avril berdentum merdu. Setiap liriknya mengingatkanku pada Ian. Ah, lagi-lagi dia. Bertahun-tahun lamanya aku tidak bisa sempurna melupakan Ian. Meski tengil dan sering menertawakanku, Ian adalah sahabat yang baik dan spesial one for me.
Seseorang menggedor gerbang pagar panti. Aku berdiri. Menemui orang itu. Membukakan gerbang. Seorang laki-laki berkaca mata tersenyum ke arahku. Aku membalas tersenyum.
“Kamu masih ingat denganku, Rere?” tanya laki-laki itu. Aku menggeleng. Aku berusaha mengingat tapi sungguh aku tidak ingat siapa dia. Temanku yang mana? SDkah? SMPkah? SMAkah? Ah, aku benar-benar tidak ingat. Laki-laki berkaca mata itu tersenyum misterius. Mengeluarkan sesuatu dari dalam tas punggungnya.
“Mungkin kamu ingat ini.” Dia menyodorkan toples bening berisikan burung kertas padaku.
Aku ternganga. Jelas aku ingat benda itu. Aku bahkan masih menyimpan pasangan burung kertas itu. Laki-laki ini … Apakah dia Ian? Orang yang selama ini aku rindukan?
“Apa kabar, Re? Aku pulang.”
Aku tidak bisa menahan air mataku untuk jatuh. Aku menangis. Origami burung merpati itu telah kembali dengan pasangannya. Bersama kepulangan Ian.
“Aku ingin mengatakan sesuatu yang seharusnya aku katakan sejak dulu. Aku … Aku mencintaimu, Re. Maukah kamu menikah denganku?” ucap Ian. Mengeluarkan sepasang cincin emas. Ada ukiran burung merpati di tengahnya.
Aku mendekap mulut. Tak sanggup berucap.
Tuhan, apakah ini nyata?
Pelan aku mengangguk. Tanda kumenerima lamarannya. Ian tersenyum dan memelukku.

Burung merpati akan selalu kembali pulang, sekalipun itu hanyalah burung kertas.
[*]

Kudus, 28 September 2014

Rabu, 17 September 2014

Cerita Anak : Kiki, Ulat Yang Sabar

Kiki, Ulat Yang Sabar
Oleh : Nuril Islam

Pada zaman dahulu, hiduplah seekor ulat kecil. Namanya Kiki. Kiki hidup sebatang kara. Ayah dan Ibunya meninggal saat dia masih kecil. Kiki sering merasa sedih saat melihat teman-teman binatangnya berkumpul dan tertawa bersama keluarganya. Dalam hati Kiki berharap bisa seperti mereka. Memiliki sebuah keluarga yang sayang padanya.
Setiap hari, Kiki selalu bangun pagi agar dia bisa menyapa matahari, sahabatnya. Kiki tidak memiiki sahabat selain matahari. Semua binatang menjauhinya. Mereka tidak suka dengan Kiki. Kata mereka, Kiki adalah ulat yang menjijikan.
“Selamat pagi, matahari,” sapa Kiki ramah. Senyum terkembang lebar di bibirnya.
“Selamat pagi, Kiki,” jawab matahari tidak kalah ramah. Menampakkan wajahnya dari balik pepohonan.
Kiki tengah asyik menyantap daun sawi segar, menu sarapannya pagi ini. Lahap Kiki menghabiskan daun sawi yang berwarna hijau cerah itu. Hm, lezaaat.
Tidak jauh dari tempat Kiki, segerombol serangga tengah asyik bercengkrama. Sesekali mereka melirik ke arah Kiki sambil berbisik. Kiki mencoba menyapa dan tersenyum, namun para serangga itu membuang muka dan berlalu. Kiki mendesah sedih.
“Matahari, aku sedih sekali.”
Matahari mengerutkan keningnya yang berkilau.
“Sedih kenapa, sahabatku? Katakanlah apa yang mengganggu pikiranmu?”
“Aku sedih, kenapa semua binatang tidak mau berteman denganku? Mereka bilang aku binatang yang menjijikkan. Apakah itu benar? Apakah aku binatang yang menjijikkan?” tanya Kiki dengan wajah murung.
Matahari tidak langsung menjawab pertanyaan Kiki. Matahari bingung harus menjawab apa. Salah-salah Kiki malah akan marah padanya. Aduuuuh…
“Jawab, matahari! Apakah aku binatang yang menjijikkan?” seru Kiki dengan wajah yang berkaca-kaca. Menahan tangis.
“Eh … eh … itu …” kata matahari terbata.
“Diam berarti benar. Berarti aku memang binatang yang menjijikkan. Hiks hiks hiks.” Kiki menangis sesenggukan. Membuat daun sawi yang disantapnya basah.
“Bukan begitu, Ki. Kamu bukan binatang yang menjijikkan. Kamu binatang yang istimewa. Kamu baik. Kamu adalah sahabatku, Kiki,” jawab matahari.
“Tapi … tapi binatang lain tidak mau berteman denganku matahari. Aku sedih. Aku juga ingin bermain dengan mereka. Hiks hiks hiks.”
Saat Kiki tengah menangis tersedu, lewatlah seekor kura-kura. Kura-kura itu mencuri dengar percakapan Kiki dan matahari. Dia pun melangkah mendekati Kiki.
“Hai, ulat. Kenapa kamu bersedih?” tanya sang kura-kura.
Kiki terkejut melihat seekor kura-kura yang tiba-tiba datang. Disekanya air mata yang terus mengalir.
“Aku sedih karena tidak ada binatang yang mau bermain denganku. Mereka mengataiku binatang yang menjijikkan.”
Sang kura-kura mengangguk-angguk takzim. Mendengarkan setiap detail cerita Kiki.
“Aku bisa membantu.” Kata sang kura-kura kemudian.
Wajah Kiki seketika berubah ceria. Kiki mendekati sang kura-kura. Meminta penjelasan.
“Benarkah kau akan membantuku, kura-kura?” tanya Kiki antusias.
Sang kura-kura mengangguk. “Tapi ada syaratnya?”
Syarat? Syarat apakah yang akan diajukan sang kura-kura? Apakah Kiki bisa melaksanakan syarat itu?
Lama Kiki terdiam. Mempertimbangkan banyak hal.
Bagaimana sebaiknya? Apakah aku harus menerima syarat dari kura-kura? Tapi, aku takut. Aku tidak yakin aku bisa melaksanakan syarat dari sang kura-kura.
“Kiki, terima saja syarat dari sang kura-kura. Aku yakin kamu pasti bisa. Aku akan mendukungmu,” kata matahari menyemangati.
Kiki menatap Matahari. Kiki merasa beruntung memiliki sahabat seperti matahari yang selalu menemaninya, menyemangati dan mendukungnya.
“Aku menerima syarat apapun yang kau ajukan, Kura-kura,” kata Kiki mantap.
“Temui aku besok pagi di dekat danau. Jangan sampai terlambat,” ucap sang kura-kura sebelum berlalu.
Keesokan harinya, Kiki datang ke tepi danau. Danau masih sepi. Belum nampak kedatangan sang kura-kura. Dikejauhan Kiki melihat sepasang burung bangau terbang rendah di atas danau. Sayapnya yang putih berkilau ditimpa cahaya matahari.
“Ah, andai aku bisa terbang seperti bangau-bangau itu,” ucap Kiki lirih. Menghela napas pelan. Membayangkan bangau itu adalah dirinya. Menari di atas danau yang berwarna keemasan. Menyapa segerombolan ikan di dalam danau. Alangkah indahnya …
“Kau pasti bisa seperti mereka.”
Kura-kura. Tanpa Kiki tahu ternyata Sang kura-kura mengawasinya sejak tadi. Kura-kura melangkah, berdiri di samping Kiki.
“Kura-kura?”
“Aku senang dengan orang yang tepat waktu. Itu membuktikan kalau kau orang yang menghargai waktu. Bagus.”
Kiki tersenyum.
“Nah, tentang syarat yang aku ajukan. Apakah kau benar-benar siap?”
Kiki mengangguk.
“Siap menerima tugas apapun dariku?”
Kiki mengangguk.
“Tidak menyesal?”
Kiki menggeleng.
“Baiklah. Tugas pertama, aku ingin mulai besok kau harus puasa selama dua puluh hari.”
Kiki terdiam. Puasa? selama dua puluh hari?
“Bagaimana? Kau siap?” tanya sang kura-kura.
Kiki meyakinkan diri. Mengusir jauh-jauh rasa takut di hatinya. Aku pasti bisa.
Kiki mengangguk menerima tugas pertama dari sang kura-kura.
Selama dua puluh hari Kiki menjalankan tugas dari sang kura-kura itu. Bukan hal yang mudah untuk Kiki. Setiap kali melihat daun-daun segar, Kiki sempat tergoda. Tidak bisa menahan diri untuk menyantap daun-daun segar itu. Untunglah ada matahari yang selalu mengingatkan. Matahari seperti pengawal Kiki. Menemani
Kiki ke manapun dan di manapun.
Dua puluh hari berlalu tanpa terasa. Kiki merasakan hal yang aneh. Tubuhnya yang hijau memanjang berubah bentuk menjadi kepompong. Bulat kecil yang menggantung di pucuk ranting.
“Kiki, apakah kau baik-baik saja? Kenapa tubuhmu berubah seperti itu?” tanya matahari saat melihat perubahan dari Kiki.
“Aku tidak tahu, matahari. Tapi aku baik-baik saja. Terima kasih karena kamu selalu setia menemaniku,” jawab Kiki.
“Itulah gunanya seorang sahabat. Menemani sahabatnya dikala senang dan susah.” Matahari tersenyum.
Sang kura-kura berjalan tenang ke arah pucuk ranting tempat tubuh Kiki tergantung. Sang kura-kura mengangguk-angguk. Tersenyum melihat Kiki.
“Kau sudah menjalankan tugas pertama dengan baik. Sekarang kau harus menuntaskan tugas yang kedua. Kau siap?” tanya sang kura-kura.
Kiki dan Matahari menyimak dengan seksama.
“Aku siap, Kura-kura.”
Sang kura-kura memandang bergantian Kiki dan Matahari. Menghela napas pelan sebelum berbicara.
“Tugas kedua adalah … puasa selama 21 hari.”
“Apa? puasa lagi? 21 hari?” seru matahari tidak percaya. Menatap protes ke arah sang kura-kura.
“Bagaimana? Apakah kau siap dengan tugas kedua?” kata sang kura-kura mengabaikan kalimat protes matahari.
Belum sempat Kiki menjawab matahari sudah memprotes lagi.
“Tidak, jangan Ki. Apa-apaan ini. Kamu sudah berlelah-lelah puasa selama dua puluh hari. Tapi apa?
Lihatlah, apa yang terjadi pada dirimu, Ki? Lebih baik kita cari cara lain saja. Tidak perlu mendengarkan ocehan kura-kura yang tidak jelas ini.”
“Tidak, matahari. Aku percaya dengan sang kura-kura. Aku yakin suatu hari nanti aku akan berubah menjadi binatang yang indah seperti binatang yang lain.”
“Tapi, Ki …”
“Sudahlah matahari. Aku tidak ingin berdebat panjang denganmu. Bukankah kamu sendiri yang bilang bahwa aku akan bisa menjalani semuanya?”
Matahari terdiam. Menatap lamat-lamat Kiki, sahabatnya.
“Aku akan mendukung apapun keputusanmu.” Matahari tersenyum tipis.
“Terima kasih, matahari.”
Akhirnya, Kiki menjalankan tugas kedua dari sang kura-kura. Puasa selama 21 hari. Melewati masa yang lebih sulit dari sebelumnya.
Langit berselimut awan kelabu. Sekejap hujan turun mengguyur bumi. Membuat basah semuanya. Kiki yang masih menggantung di pucuk ranting mendekap tubuhnya. Berusaha mengusir dingin yang menyerbu.
Matahari tidak menampakkan wajahnya. Cahayanya terhalang awan. Matahari cemas dan khawatir dengan Kiki. Tentulah sahabatnya itu kehujanan dan kedinginan. Namun Matahari tidak bisa berbuat apa-apa. Awan kelabu itu sangat sulit untuk diterjang. Matahari hanya bisa berdoa agar Kiki baik-baik saja.
Hujan baru reda ketika subuh menjelang. Suara kokok ayam membangunkan para penghuni hutan yang
terlelap. Kiki membuka matanya. Kiki melihat secercah cahaya. Cahaya kecil itu menariknya keluar. Kiki mengikuti cahaya itu dan …
Hamparan rumput yang menghijau. Bunga-bunga yang bermekaran. Binatang-binatang yang terbang di sekelilingnya. Kiki tersenyum. Pemandangan yang sebulan lebih Kiki rindukan. Segera Kiki berlari mencari sang kura-kura. Ke kiri, ke kanan. Kiki tidak melihat keberadaan Kura-kura. Kiki melewati taman bunga, danau. Tidak juga menemukan Kura-kura. Kura-kura hilang seperti ditelan bumi.
Eh, tunggu? Sepasang mata Kiki menangkap sesosok bayangan di air danau. Dahinya terlipat. Penasaran dengan seekor kupu-kupu cantik dengan sayap indah yang tersenyum ke arahnya. Siapa dia?
Kiki mendekati sosok bayangan itu. Semakin penasaran. Kiki terkejut saat menyadari bahwa sosok bayangan cantik itu adalah dirinya. Kupu-kupu cantik itu adalah Kiki.
“Aku berubah menjadi kupu-kupu cantik. Aku punya sayap. Aku bisa terbang,” seru Kiki riang. Menyentuh sayap barunya.
Kiki terbang melayang di atas langit biru. Mengedarkan pandangannya.
“Kini aku bisa melihat semuanya. Rumput, bunga-bunga. Aku terbang!”
Segera Kiki mencari matahari. Mengabarkan berita gembira ini pada sahabatnya.
“Matahari! Matahari!” Seru Kiki bersemangat.
Matahari menatap acuh. “Siapa kau?”
“Aku Kiki, sahabatmu.”
“Kiki? Kau bercanda?! Kiki, sahabatku sedang menjalankan tugas dari kura-kura.”
“Iya, matahari. Aku sudah menyelesaikan tugas kedua dari kura-kura. Sekarang aku punya sayap. Lihatlah matahari.” Kiki memamerkan sepasang sayapnya yang indah.
“Tidak! kau pasti berbohong. Sahabatku itu …” kalimat Matahari menggantung.
“Sahabatmu itu binatang yang menjijikkan? Iya?” tanya Kiki sebal.
“Tidak. Kiki adalah sahabat baikku. Dan kau jangan mengaku sebagai Kiki.”
“Tapi aku memang Kiki, sahabatmu.”
Kiki menceritakan tentang perjuangannya menyelesaikan tugas kedua dari sang kura-kura. Semua rintangan dan masalah yang dihadapi Kiki dengan kuat dan sabar.
“Cahaya itu menarikku keluar dan lihatlah diriku sekarang. Aku tidak lagi binatang yang menjijikkan, matahari. Lihatlah sayapku. Aku sekarang bisa terbang.” Kiki tersenyum lebar.
“Syukurlah, aku senang akhirnya kau bisa mendapatkan apa yang kau inginkan, Kiki. Aku senang dengan dirimu yang dulu dan sekarang. Aku harap kau tidak berubah dan … tetap mau berteman denganku.”
“Jangan berkata begitu matahari. Sampai kapanpun kamu adalah sahabat terbaikku.”
Matahari dan Kiki tersenyum bersama.
Sejak saat itu Kiki memiliki banyak teman. Meski telah berubah menjadi kupu-kupu yang cantik, Kiki tetap baik hati dan suka menolong. Semua binatang senang bermain dan berteman dengan Kiki. Kiki merasa menemukan keluarga barunya. Matahari, serangga, bunga-bunga, mereka adalah keluarga bagi Kiki. Kiki tidak lagi merasa kesepian dan sedih.

Tuhan tidak akan mengubah nasib dari makhluk-Nya hingga makhluk-Nya merubah keadaan dirinya sendiri. Kiki, yang dulu dianggap sebagai binatang yang menjijikkan berubah menjadi kupu-kupu yang cantik. Itulah buah dari kesabaran Kiki selama ini.  
(SELESAI)

Cerpen : Handphone Baru Rina


Handphone Baru Rina
Oleh : Nuril Islam

Malam itu, selepas salat magrib berjama'ah Rina menemui Mamanya yang sedang menidurkan Qilla, adiknya di kamar.
"Ma, ini rapor Rina semester ini," ucap Rina. Sepasang tangannya menyerahkan buku bersampul warna biru pada sang mama.
Mama menerima buku itu. Membuka dan membacanya dengan seksama.
"Nilai Kakak bagus." Mama mengangguk. Mengamati deretan nilai sembilan hampir disemua mata pelajaran.
"Em, Ma …" panggil Rina.
Mama menoleh. Bertanya lewat tatapan mata, ada apa?
"Mama kan udah janji, kalau nilai Rina semester ini bagus Mama akan membelikan Rina hadiah."
Rina tersenyum malu-malu. Memandang Mamanya penuh harap.
"Iya, Mama masih ingat. Memangnya kakak mau hadiah apa?" tanya Mama.
"Em … Rina … Mau handphone. Bolehkan Ma?"
Handphone? Dahi Mama terlipat. Terkejut mendengar permintaan putrinya.
Bukan Mama tidak mau dan tidak mampu untuk membelikannya handphone namun di mata Mama, Rina masih kecil, usianya baru genap dua belas tahun dan belum saatnya untuk menggunakan barang elektronik itu. Mama takut Rina menjadi malas belajar dan melupakan kewajibannya.
Sudah banyak terjadi, anak-anak menjadi malas belajar, malas mengerjakan pekerjaan rumah karena asyik bermain handphone. Mama khawatir Rina akan seperti itu.
Rina bisa melihat raut kekhawatiran Mama padanya. Rina berusaha membujuk dan meyakinkan Mamanya.
"Rina janji akan tetap rajin belajar," jawab Rina. Jari telunjuk dan jari tengah sebelah kanannya mengacung ke udara. Janji!
Mama menghela napas. Bingung. Ingin Mama menolak permintaan putrinya itu namun Mama sudah berjanji akan membelikan apapun yang Rina inginkan jika nilai rapornya bagus.
Lama Mama terdiam.
"Ya, Ma ya? Rina nggak akan pake untuk macem-macem kok. Ya Ma?" rayu Rina. Menggenggam lengan Mamanya.
Janji tetaplah janji dan harus ditepati. Akhirnya Mama menyetujui keinginan Rina itu.
"Yeee!" Rina berseru senang. Mencium pipi mamanya berkali-kali.
"Terima kasih Mama yang cantik." Bisik Rina dan berlalu. Masuk ke kamarnya.
Keesokan harinya, Rina ditemani Mama dan Dek Qilla pergi ke sebuah toko elektronik yang tidak jauh dari rumah. Tujuannya hanya satu. Apalagi kalau bukan untuk membeli handphone impian Rina.
Sepanjang jalan Rina senyam-senyum sendiri. Hatinya berbunga. Akhirnya Rina bisa punya handphone seperti teman-temannya.
Nanti akan kutunjukan handphone baruku pada Sinta, bisik Rina.
Setelah lama memilih akhirnya Rina membeli sebuah handphone yang bentuknya lucu. Handphone itu seperti ketupat.
Ada ya handphone yang bentuknya seperti ketupat, hehehe, pikir Rina geli sendiri.
Handphone yang dipilih Rina itu dilengkapi fitur-fitur yang canggih. Bisa untuk foto, bisa untuk searching google, dan facebook. Rina semakin senang saat menerima kotak handphone miliknya dari kasir. Memeluknya erat.
***
Setiap hari, setiap saat, Rina tidak pernah melepaskan handphone barunya. Saat makan, nonton TV, belajar bahkan saat mandi pun Rina selalu membawa serta handphonenya. Berulang kali Mama mengingatkan agar Rina tidak terlalu sering bermain handphone. Tapi berulang kali pula Rina mengabaikan nasihat mamanya.
"Kakak, jam segini kok nggak belajar. Malah maen HP terus. Nah ketahuan ya…"
Mama membuka pintu kamar Rina. Menemukan putrinya sedang ber-sms ria. Rina gelagapan. Menyembunyikan handphone-nya di bawah buku. Pura-pura belajar.
"Enggak Ma. Rina belajar kok. Tadi itu Rina cuma … cuma tanya tugas sekolah aja Ma," jawab Rina asal. Tersenyum tanggung.
"Ya sudah. Belajarnya dilanjut tapi ingat jangan maen HP terus ya kak. Belajar!" seru Mama dengan wajah serius.
Rina mengangguk.
Ucapan Mama barusan adalah perintah yang harus dipatuhi dan dilaksanakan. Maka dengan wajah sedikit ditekuk Rina menyimpan handphone-nya ke dalam tas sekolah. Menyelesaikan tugas sekolah yang menumpuk.
***
Hari demi hari pun berganti. Rina semakin lengket dengan handphone barunya. Sudah seperti amplop dan perangko. Pagi, siang, malam kerjaannya main handphone. Entah itu sms-an, update status di facebook atau foto-foto. Bahkan karena saking serunya main handphone, Rina sekarang jadi malas makan, salat selalu ditunda-tunda, tidak lagi membantu Mamanya dan suka menyendiri.
"Kak, makan malam dulu. Udah ditunggu Dek Qilla tuuuh," seru Mama dari dapur.
Rina tidak beranjak dari duduknya. Seolah tidak mendengar ucapan mamanya. Mata dan jemarinya sibuk berselantar di dunia maya. Tertawa sendiri.
"Kak? makan dulu yuk. Maen Hpnya dilanjut nanti."
Mama.
Rina mendongakkan kepala. Menatap mamanya.
"Rina belum lapar, Ma."
Tersenyum. Kembali menatap layar handphone-nya.
"Ya udah. Tapi kakak jangan lupa makan ya," pesan Mama. Berlalu.
Rina mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya.
 Hingga jarum jam di ruang tamu menunjuk angka sembilan malam Rina masih asyik dengan handphone-nya. Melewatkan makan malam. Mengabaikan perutnya yang protes minta diisi. Mengabaikan dengungan nyamuk yang menyerbunya.
Setengah jam kemudian Rina mulai menguap. Matanya terasa berat. Ngantuk. Rina akhirnya pergi tidur
dengan tangannya masih menggenggam handphone.
Keesokan harinya.
Saat bangun tidur Rina merasa mual, nyeri dan perih di perutnya. Rina bingung. Ada apa dengan dirinya? kenapa dengan perutnya?
Rina berteriak memanggil mamanya. Sambil terus menggenggam perutnya yang semakin terasa perih.
"Ma … Mama," panggil Rina lagi.
Pintu kamar Rina terbuka.
"Rina? Kamu kenapa?" tanya Mama. Cemas melihat wajah Rina yang pucat dan terus menerus memegang perutnya.
"Perut Rina sakit Ma."
Segera Mama menghubungi Dokter Erwin. Meminta untuk datang ke rumah.
"Baik Dok, saya tunggu. Terima kasih. Assalamu'alaikum."
Sepuluh menit kemudian Dokter Erwin datang. Mama mempersilakan Dokter Erwin masuk ke dalam kamar Rina. Sigap Dokter Erwin memeriksa Rina. Mama memandangi Rina dengan hati cemas dan was-was.
"Bagaimana kondisi putri saya Dok?" tanya Mama usai Dokter Erwin memeriksa Rina.
Dokter Erwin tersenyum. Meminta untuk bicara di luar kamar.
"Rina mengalami radang lambung. Tapi Ibu tenang saja. Ini obat untuk Rina. Obat ini akan mengurangi rasa nyeri."
Dokter Erwin menyodorkan bungkusan obat yang banyak jumlahnya pada Mama Rina.
"Semoga lekas sembuh ya Bu. Saya permisi."
Dokter Erwin pamit pulang. Mama Rina membalas dengan tersenyum tipis. Mengantarkan Dokter Erwin sampai pintu.
"Kak, jujur sama Mama. Kakak semalam tidak makan? malam kemarin juga kan?" tanya Mama serius.
Sepasang matanya tidak lepas menatap Rina. Takut-takut Rina mengangguk. Membenarkan pertanyaan mamanya. Memang semalam dan malam-malam sebelumnya ia tidak pernah makan.
"Kenapa Kakak tidak makan?" tanya Mama lagi.
"Keasyikan main handphone Ma. Maaf," jawab Rina. Wajahnya tertunduk. Takut.
"Mama kan sudah bilang. Kakak boleh main handphone tapi harus tetap makan dan belajar." Suara Mama meninggi.
"Ma … Maaf Ma. Rina janji tidak akan melakukannya lagi."
Ah, sudah berapa kali Rina berjanji pada Mamanya. Namun nyatanya janji itu tidak pernah ditepati.
"Kak, Mama sayang sama Kakak juga sama Dek Qilla. Mama hanya ingin Kakak menjadi anak yang penurut, rajin dan pintar seperti pesan Papa. Kakak masih ingat pesan Papa dulu kan?"
Rina mengangguk. Pikirannya berlari ke masa yang membuat Rina semakin sedih. Masa di mana ia kehilangan orang yang ia cintai. Papa.
Setahun yang lalu, sebelum pergi untuk selamanya Papa berpesan pada Rina.

Kamu harus nurut sama Mama ya, Rin. Jadi anak yang pintar. Jangan ninggalin ibadah dan jadi kebanggaan Mama dan Papa.

Rina ingat kata-kata itu.
Tanpa disadari, mata Rina telah basah oleh air mata. Sesenggukan Rina meminta maaf pada Mamanya.
"Maafkan Rina Ma. Rina menyesal."
Mama memeluk putri pertamanya itu. Mengangguk. Mama maafkan.
"Tapi mulai sekarang, handphone Mama yang bawa. Kakak hanya boleh pakai kalau memang mendesak dan satu lagi. Kakak harus rajin minum obat biar cepat sembuh. Deal?" tambah Mama.
"Deal."
Mama dan Rina tersenyum. Saling berpelukan.

[ * ]

Kudus, 17 September 2014