Minggu, 28 September 2014

Cerpen : Origami Sepasang Merpati


Origami Sepasang Merpati
Oleh : Nuril Islam

“Yeee, punyaku sudah jadi!” Ian berseru senang. Mengangkat tinggi-tinggi origami bentuk senjata ninja miliknya. Aku manyun. Memandanginya dengan perasaan iri.
“Aku menyerah,” ucapku kesal. Membuang sembarangan kertas origami warna merah jambu. Melipat kedua tangan.
“Ah, kamu Re. Begitu saja sudah menyerah. Payah!” Kata Ian. Kembali duduk di sampingku. Mengambil kertas origami yang kubuang.
Ya, aku memang payah. Berkali-kali Ian mengajari membuat origami tapi tetap saja aku tidak bisa. Padahal kelihatannya origami itu mudah, tapi setelah aku mencoba membuatnya ternyata sulit. Aku semakin kesal karena Ian tertawa melihat hasil origamiku yang tidak berbentuk.
“Kalau manyun begitu kamu semakin mirip dengan si Duck, hahaha.” Ian tertawa. Si Duck adalah bebek peliharaan Kang Asep, penjaga kantin sekolah.
Aku diam. Tidak mengindahkan ejekan Ian itu. Aku kesal tapi malu juga. Ah, entahlah. Aku beranjak dan meninggalkan Ian yang masih tertawa bahkan tawanya semakin kencang.
Hai, namaku Rere dan dia adalah sahabatku, Ian. Kami berdua adalah penghuni panti Cahaya Kasih. Meski kami tidak memiliki orang tua, tapi kami memiliki Bu Hana. Beliau adalah pengurus panti sekaligus orang tua bagi kami. Beliaulah yang mengajarkan kami untuk selalu tersenyum dan bersyukur meski kehidupan kami tidak sama seperti anak-anak yang lain. Bu Hana adalah malaikat bagiku.
Aku dan Ian bersekolah di SMP Nusa Bangsa. Tidak jauh dari panti. Tingkat akhir. Di sekolah kami termasuk siswa yang pintar lho. Aku rangking kedua dan Ian selalu rangking pertama (huh!). Aku dan Ian bersahabat baik tapi untuk urusan pendidikan kami saling bersaing menjadi yang terbaik. Tapi kami selalu bersaing dengan sportif kok.
Aku paling suka bernyanyi dan Avril Lavigne adalah penyanyi favoritku. Aku bahkan mengoleksi banyak kaset Avril Lavigne. Kaset-kaset itu kudapatkan dengan susah payah. Menyisihkan uang jajan berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan agar bisa membeli kaset itu.
Sedangkan Ian paling suka membuat origami. Jika kau ingin melihat koleksi origami milik Ian, tengoklah kamarnya. Berbagai origami dengan macam bentuk dan ukuran bertebaran di setiap sudut kamarnya. Ikan, bunga, katak, burung, dan entah apalagi.
Yang paling menarik adalah origami sepasang burung merpati. Origami itu berbeda dan terlihat istimewa. Jika origami yang lain di digantung di langit-langit kamar atau disusun menjadi tirai, origami sepasang burung merpati itu di letakkan di dalam toples kaca yang tertutup. Kenapa coba? Kan tidak mungkin merpati kertas itu terbang. Aneh betul Ian itu.
Terdengar seseorang mengetuk pintu kamarku. Satu kepala mengintip dari baliknya.
“Kamu masih marah?” Ian. Aku memandangnya sepintas. Pura-pura membaca buku.
“Jangan marah gitu dong, Re. Aku kan cuma bercanda.”
Aku masih diam. Siapa juga yang tidak kesal. Ditertawakan seperti itu hanya karena aku tidak bisa membuat origami. OMG, hellouw!
“Sebagai permintaan maaf, aku buatkan origami buat kamu deh. Ya?” bujuk Ian. Melompat ke atas ranjangku. Membuatku bergoyang. Huh, dasar Ian.
Ah, basi. Terlalu sering Ian membuatkan aku origami.
“Atau kamu mau origami yang ada di kamarku. Pilih aja, Re. Tapi kamu maafin aku ya? Please?” kata Ian bersungguh-sungguh. Menatapku penuh harap.
Aku mendesah. Menutup buku yang sama sekali tidak kubaca.
“Aku mau origami yang di toples itu.” Kataku tenang.
Tanpa kuduga, Ian menggelengkan kepalanya. Menolak permintaanku. Padahal tidak
pernah sekalipun Ian menolak permintaanku. Kenapa? Apakah origami itu sangat berarti
untuknya?
“Maaf, Re. Aku tidak bisa. Aku tidak bisa memberikan origami itu.” Ian berlari keluar dari kamarku. Aku mencegah tapi Ian terus berlari ke kamarnya. Mengunci pintu.
“Ian? Ian?” Aku mengetok pintu. Tapi aku tidak mendengar suara dari dalam. Apa Ian marah? Atau mungkin membenciku? Tiba-tiba aku merasa menyesal. Mengutuki diri sendiri.
“Ada apa, Re?” Bu Hana menggenggam pundakku. Aku tersenyum getir. Bola mataku berkaca. Sepertinya aku akan menangis. Dan benar, air mataku pecah saat kuceritakan semua pada Bu Hana. Aku benar-benar takut Ian akan membenciku.
“Kita biarkan saja Ian sendiri dulu. Nah, sekarang lebih baik kamu bantu kakak-kakak di dapur. Nanti malam ada tamu istimewa.”
Tamu istimewa? Dahiku terlipat. Siapa?
Kulangkahkan kaki menuju dapur. Sekali kumenoleh ke arah kamar Ian. Berharap Ian keluar dan mau menemuiku. Tapi pintu kamar Ian masih tetap tertutup. Aku menghela napas pelan. Melanjutkan langkah menuju dapur.
Siang segera berganti malam. Rumah panti kami malam ini terlihat sangat berbeda. Lampu-lampu dan pita-pita menghiasi setiap ruangan. Malam ini kami akan kedatangan tamu istimewa. Siapa? Aku juga tidak tahu.
Aku merapikan dress warna merah muda yang kukenakan. Tersenyum memandangi wajahku di depan cermin. Sekejap menuju ruang tamu bergabung dengan yang lain. Menanti tamu istimewa itu.
Ian? Dia sudah keluar dari kamarnya. Memandangku sepintas kemudian berbaris bersama teman laki-lakinya. Aku tersenyum kecut melihatnya. Berjalan dengan wajah tertunduk ke arah baris anak perempuan.
Tiga puluh menit kemudian.
Terdengar deru suara mobil memasuki halaman panti. Anak-anak panti berlarian
keluar. Ingin segera melihat tamu istimewa itu. Tapi aku terdiam di tempatku. Memandang Ian. Iapun memandang ke arahku. Ragu-ragu aku melangkah mendekatinya. Berdiri tepat di depannya. Menjulurkan tangan.
“Maafkan aku.” Wajahku tertunduk.
Ian menyambut uluran tanganku. Aku tersenyum cerah. Mengangkat wajah.
“Kita baikan?” tanyaku. Ian tersenyum.
“Tapi, mulai malam ini semua akan berubah. Semua tidak akan sama lagi, Re.”
Aku melipat dahi. Tidak mengerti dengan kalimat Ian. Belum sempat kutanyakan maksud kalimat Ian itu, Bu Hana meminta kami untuk berbaris kembali.
Sepasang suami isteri memasuki ruang tamu. Bergantian bersalaman dengan kami. Si laki-laki mengenakan jas warna hitam, rambutnya tersisir rapi. Sedang si perempuan mengenakan gaun warna merah marun. Rambutnya yang panjang tergerai dibelai kipas angin ruangan. Cantik sekali. Siapakah mereka? tanyaku dalam hati. Jawaban itu baru kudapatkan setengah jam kemudian. Kami akan makan malam bersama dulu dengan tamu istimewa itu.
Mbok Inah, Kak Mira dan yang lain hilir mudir menyajikan hidangan di atas meja. Meja panjang itupun segera penuh dengan makanan yang menggugah selera. Kulihat Bu Hana mempersilakan tamu istimewa itu untuk mencicipi makanan yang disediakan.
Satu jam kemudian.
Mereka adalah Bapak Andi dan Ibu Hena. Mereka adalah orang tua kandung Ian. Tujuan mereka datang ke panti tak lain untuk menjemput Ian pulang bersama mereka.
“Setelah sekian lama mencari, akhirnya kami menemukan putra kami yang hilang. Ian.” Suara Pak Andi menghentak kesadaranku. Melemparku ke dalam jurang yang dalam dan gelap.
“Dan terima kasih untuk Bu Hana yang telah merawat anak kami dengan baik.” Bu Hena memeluk Ian dengan penuh sayang.
Air mataku berjatuhan. Membasahi dress merah mudaku. Aku masih tidak percaya dengan apa yang telah kudengar.
“Kami berencana untuk membawa Ian ke Ausie. Melanjutkan pendidikannya di sana.”
Air mataku semakin deras berjatuhan. Ausie? Itu berarti aku tidak akan bertemu dengan Ian lagi? Bertahun-tahun kami selalu bersama. Pergi berdua, belajar bersama, bercanda, tertawa. Dan sekarang aku harus melihat kenyataan bahwa Ian akan pergi. Meninggalkanku sendiri.
Aku berlari menjauh dari keramaian. Mencari tempat untuk menyendiri. Aku berhenti di tempat remang di halaman belakang. Tempat ini pun akhirnya hanya akan menjadi kenangan.
Aku menangis. Tersedu. Menatap tanah berpasir yang membuat sepatuku kotor. Aku tidak peduli.
Bulan di atas sana sedang purnama. Bulatnya yang elok menatapku nanar. Seharusnya malam ini indah. Lihatlah, bintang gemintang membentuk gugusan yang sangat memesona. Namun di mataku semua terlihat sangat menyakitkan. Apa artinya semua ini jika Ian pergi.
“Aku tahu, kamu pasti di sini.” Aku menoleh. Ian berdiri di bawah daun pintu. Melangkah mendekat.
“Maafkan aku, Re,” kata Ian memecah sepi yang tercipta.
“Untuk apa?”
“Untuk semuanya. Aku akan pergi. Bukan sehari atau sebulan. Mungkin bertahun-tahun.”
Aku diam. Menggigit bibir. Jangan pergi, Ian. Jangan tinggalkan aku.
“Aku janji akan rajin menghubungimu.” Ian menolehkan wajahnya. Menatapku.
Tapi semua tidak akan menyenangkan lagi. Jawabku lewat tatapan mata.
“Ya, setelah aku pergi kamu pasti tidak akan menemukan teman seganteng, sepintar
dan sekeren aku. Iya kan?” Ian nyengir. Menyenggol pundakku. Aku tersenyum getir. Ya, itu benar. Kamu memang sahabatku yang paling ganteng, pintar dan keren. Aku mengakuinya
sekarang.
 “Nah, ini untukmu.” Ian menyerahkan bungkusan kotak padaku.
Apa ini? Tanyaku. Mengerutkan dahi. Ian mengisyaratkan untuk membukanya. Ternyata isi kotak itu adalah origami burung merpati yang aku minta. Ah, bukankah Ian bilang tidak akan memberikannya?
“Aku memberikan satu origami burung merpati itu padamu dan pasangannya aku simpan di toples yang baru. Seperti hakikatnya, burung merpati akan selalu tahu ke mana ia harus pulang. Sejauh apapun ia terbang ia tidak pernah tersesat untuk pulang. Dan aku akan segera kembali karena di sinilah rumahku. Bersama Bu Hana, adik-adik panti dan tentu saja kamu, Re.” Ian tersenyum. Senyum Ian laksana setitik embun yang menyejukkan. Menghalau segala resah dan sedihku.
“Promise?” ucapku. Mengacungkan jari kelingking ke arahnya.
“Promise!” Balas Ian. Menyatukan jari kelingkingnya dengan jariku.
Aku pun bisa mengiringi kepergiaan Ian dengan hati lapang. Aku yakin suatu hari nanti Ian akan kembali membawa warna baru dalam hidupku. Sama seperti yang selama ini ia lakukan. Mewarnai duniaku dengan origami miliknya.
Beberapa tahun kemudian.
Usiaku sekarang 22 tahun. Aku menjadi tenaga pengajar di salah satu taman kanak-kanak di dekat panti. Bersama Bu Hana, aku memajukan panti asuhan. Bukan hanya tempat untuk menampung anak-anak terlantar. Aku membangun sekolah gratis dan rumah membaca untuk anak-anak. Alhamdulillah, semua berjalan baik dan lancar. Aku merasa senang bisa membantu mereka. Rasanya itu … amazing. Melihat senyum lepas yang terkembang dari bibir-bibir mungil itu lelahku serasa hilang.
Satu hal lagi yang menarik. Aku sudah bisa membuat origami. Ya, sejak Ian pergi entah kenapa aku bertekat untuk membuat kerajinan tangan itu. Siang dan malam aku memelototi buku tata cara membuat origami. Aku ingin bisa membuat origami. Kenapa? Karena dengan
membuat origami aku merasa Ian berada di dekatku. Bersamaku.
Hari semakin sore. Senja semakin matang. Terlihat satu dua burung terbang menuju arah
terbenamnya matahari. Aku menikmati pemandangan itu dari teras panti. Ditemani secangkir
teh hangat dan buku tebal di pangkuanku. Lagu best years of our lives yang dinyanyikan Avril berdentum merdu. Setiap liriknya mengingatkanku pada Ian. Ah, lagi-lagi dia. Bertahun-tahun lamanya aku tidak bisa sempurna melupakan Ian. Meski tengil dan sering menertawakanku, Ian adalah sahabat yang baik dan spesial one for me.
Seseorang menggedor gerbang pagar panti. Aku berdiri. Menemui orang itu. Membukakan gerbang. Seorang laki-laki berkaca mata tersenyum ke arahku. Aku membalas tersenyum.
“Kamu masih ingat denganku, Rere?” tanya laki-laki itu. Aku menggeleng. Aku berusaha mengingat tapi sungguh aku tidak ingat siapa dia. Temanku yang mana? SDkah? SMPkah? SMAkah? Ah, aku benar-benar tidak ingat. Laki-laki berkaca mata itu tersenyum misterius. Mengeluarkan sesuatu dari dalam tas punggungnya.
“Mungkin kamu ingat ini.” Dia menyodorkan toples bening berisikan burung kertas padaku.
Aku ternganga. Jelas aku ingat benda itu. Aku bahkan masih menyimpan pasangan burung kertas itu. Laki-laki ini … Apakah dia Ian? Orang yang selama ini aku rindukan?
“Apa kabar, Re? Aku pulang.”
Aku tidak bisa menahan air mataku untuk jatuh. Aku menangis. Origami burung merpati itu telah kembali dengan pasangannya. Bersama kepulangan Ian.
“Aku ingin mengatakan sesuatu yang seharusnya aku katakan sejak dulu. Aku … Aku mencintaimu, Re. Maukah kamu menikah denganku?” ucap Ian. Mengeluarkan sepasang cincin emas. Ada ukiran burung merpati di tengahnya.
Aku mendekap mulut. Tak sanggup berucap.
Tuhan, apakah ini nyata?
Pelan aku mengangguk. Tanda kumenerima lamarannya. Ian tersenyum dan memelukku.

Burung merpati akan selalu kembali pulang, sekalipun itu hanyalah burung kertas.
[*]

Kudus, 28 September 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar