Handphone Baru Rina
Oleh : Nuril Islam
Malam itu, selepas salat magrib berjama'ah Rina
menemui Mamanya yang sedang menidurkan Qilla, adiknya di kamar.
"Ma, ini rapor Rina semester ini," ucap
Rina. Sepasang tangannya menyerahkan buku bersampul warna biru pada sang mama.
Mama menerima buku itu. Membuka dan membacanya
dengan seksama.
"Nilai Kakak bagus." Mama mengangguk.
Mengamati deretan nilai sembilan hampir disemua mata pelajaran.
"Em, Ma …" panggil Rina.
Mama menoleh. Bertanya lewat tatapan mata, ada apa?
"Mama kan udah janji, kalau nilai Rina semester
ini bagus Mama akan membelikan Rina hadiah."
Rina tersenyum malu-malu. Memandang Mamanya penuh
harap.
"Iya, Mama masih ingat. Memangnya kakak mau
hadiah apa?" tanya Mama.
"Em … Rina … Mau handphone. Bolehkan Ma?"
Handphone? Dahi Mama terlipat. Terkejut mendengar
permintaan putrinya.
Bukan Mama tidak mau dan tidak mampu untuk
membelikannya handphone namun di mata Mama, Rina masih kecil, usianya baru
genap dua belas tahun dan belum saatnya untuk menggunakan barang elektronik
itu. Mama takut Rina menjadi malas belajar dan melupakan kewajibannya.
Sudah banyak terjadi, anak-anak menjadi malas
belajar, malas mengerjakan pekerjaan rumah karena asyik bermain handphone. Mama
khawatir Rina akan seperti itu.
Rina bisa melihat raut kekhawatiran Mama padanya.
Rina berusaha membujuk dan meyakinkan Mamanya.
"Rina janji akan tetap rajin belajar,"
jawab Rina. Jari telunjuk dan jari tengah sebelah kanannya mengacung ke udara.
Janji!
Mama menghela napas. Bingung. Ingin Mama menolak
permintaan putrinya itu namun Mama sudah berjanji akan membelikan apapun yang
Rina inginkan jika nilai rapornya bagus.
Lama Mama terdiam.
"Ya, Ma ya? Rina nggak akan pake untuk
macem-macem kok. Ya Ma?" rayu Rina. Menggenggam lengan Mamanya.
Janji tetaplah janji dan harus ditepati. Akhirnya
Mama menyetujui keinginan Rina itu.
"Yeee!" Rina berseru senang. Mencium pipi mamanya
berkali-kali.
"Terima kasih Mama yang cantik." Bisik
Rina dan berlalu. Masuk ke kamarnya.
Keesokan harinya, Rina ditemani Mama dan Dek Qilla
pergi ke sebuah toko elektronik yang tidak jauh dari rumah. Tujuannya hanya
satu. Apalagi kalau bukan untuk membeli handphone impian Rina.
Sepanjang jalan Rina senyam-senyum sendiri. Hatinya
berbunga. Akhirnya Rina bisa punya handphone seperti teman-temannya.
Nanti akan kutunjukan handphone baruku pada Sinta,
bisik Rina.
Setelah lama memilih akhirnya Rina membeli sebuah
handphone yang bentuknya lucu. Handphone itu seperti ketupat.
Ada ya handphone yang bentuknya seperti ketupat,
hehehe, pikir Rina geli sendiri.
Handphone yang dipilih Rina itu dilengkapi
fitur-fitur yang canggih. Bisa untuk foto, bisa untuk searching google, dan facebook.
Rina semakin senang saat menerima kotak handphone miliknya dari kasir.
Memeluknya erat.
***
Setiap hari, setiap saat, Rina tidak pernah
melepaskan handphone barunya. Saat makan, nonton TV, belajar bahkan saat mandi
pun Rina selalu membawa serta handphonenya. Berulang kali Mama mengingatkan
agar Rina tidak terlalu sering bermain handphone. Tapi berulang kali pula Rina
mengabaikan nasihat mamanya.
"Kakak, jam segini kok nggak belajar. Malah
maen HP terus. Nah ketahuan ya…"
Mama membuka pintu kamar Rina. Menemukan putrinya
sedang ber-sms ria. Rina gelagapan. Menyembunyikan handphone-nya di bawah buku.
Pura-pura belajar.
"Enggak Ma. Rina belajar kok. Tadi itu Rina cuma
… cuma tanya tugas sekolah aja Ma," jawab Rina asal. Tersenyum tanggung.
"Ya sudah. Belajarnya dilanjut tapi ingat
jangan maen HP terus ya kak. Belajar!" seru Mama dengan wajah serius.
Rina mengangguk.
Ucapan Mama barusan adalah perintah yang harus dipatuhi
dan dilaksanakan. Maka dengan wajah sedikit ditekuk Rina menyimpan
handphone-nya ke dalam tas sekolah. Menyelesaikan tugas sekolah yang menumpuk.
***
Hari demi hari pun berganti. Rina semakin lengket
dengan handphone barunya. Sudah seperti amplop dan perangko. Pagi, siang, malam
kerjaannya main handphone. Entah itu sms-an, update status di facebook atau
foto-foto. Bahkan karena saking serunya main handphone, Rina sekarang jadi
malas makan, salat selalu ditunda-tunda, tidak lagi membantu Mamanya dan suka
menyendiri.
"Kak, makan malam dulu. Udah ditunggu Dek Qilla
tuuuh," seru Mama dari dapur.
Rina tidak beranjak dari duduknya. Seolah tidak
mendengar ucapan mamanya. Mata dan jemarinya sibuk berselantar di dunia maya.
Tertawa sendiri.
"Kak? makan dulu yuk. Maen Hpnya dilanjut
nanti."
Mama.
Rina mendongakkan kepala. Menatap mamanya.
"Rina belum lapar, Ma."
Tersenyum. Kembali menatap layar handphone-nya.
"Ya udah. Tapi kakak jangan lupa makan ya,"
pesan Mama. Berlalu.
Rina mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya.
Hingga jarum
jam di ruang tamu menunjuk angka sembilan malam Rina masih asyik dengan
handphone-nya. Melewatkan makan malam. Mengabaikan perutnya yang protes minta
diisi. Mengabaikan dengungan nyamuk yang menyerbunya.
Setengah jam kemudian Rina mulai menguap. Matanya
terasa berat. Ngantuk. Rina akhirnya pergi tidur
dengan
tangannya masih menggenggam handphone.
Keesokan harinya.
Saat bangun tidur Rina merasa mual, nyeri dan perih
di perutnya. Rina bingung. Ada apa dengan dirinya? kenapa dengan perutnya?
Rina berteriak memanggil mamanya. Sambil terus
menggenggam perutnya yang semakin terasa perih.
"Ma … Mama," panggil Rina lagi.
Pintu kamar Rina terbuka.
"Rina? Kamu kenapa?" tanya Mama. Cemas
melihat wajah Rina yang pucat dan terus menerus memegang perutnya.
"Perut Rina sakit Ma."
Segera Mama menghubungi Dokter Erwin. Meminta untuk
datang ke rumah.
"Baik Dok, saya tunggu. Terima kasih.
Assalamu'alaikum."
Sepuluh menit kemudian Dokter Erwin datang. Mama
mempersilakan Dokter Erwin masuk ke dalam kamar Rina. Sigap Dokter Erwin
memeriksa Rina. Mama memandangi Rina dengan hati cemas dan was-was.
"Bagaimana kondisi putri saya Dok?" tanya
Mama usai Dokter Erwin memeriksa Rina.
Dokter Erwin tersenyum. Meminta untuk bicara di luar
kamar.
"Rina mengalami radang lambung. Tapi Ibu tenang
saja. Ini obat untuk Rina. Obat ini akan mengurangi rasa nyeri."
Dokter Erwin menyodorkan bungkusan obat yang banyak
jumlahnya pada Mama Rina.
"Semoga lekas sembuh ya Bu. Saya permisi."
Dokter Erwin pamit pulang. Mama Rina membalas dengan
tersenyum tipis. Mengantarkan Dokter Erwin sampai pintu.
"Kak, jujur sama Mama. Kakak semalam tidak
makan? malam kemarin juga kan?" tanya Mama serius.
Sepasang matanya tidak lepas menatap Rina.
Takut-takut Rina mengangguk. Membenarkan pertanyaan mamanya. Memang semalam dan
malam-malam sebelumnya ia tidak pernah makan.
"Kenapa Kakak tidak makan?" tanya Mama
lagi.
"Keasyikan main handphone Ma. Maaf," jawab
Rina. Wajahnya tertunduk. Takut.
"Mama kan sudah bilang. Kakak boleh main
handphone tapi harus tetap makan dan belajar." Suara Mama meninggi.
"Ma … Maaf Ma. Rina janji tidak akan
melakukannya lagi."
Ah, sudah berapa kali Rina berjanji pada Mamanya.
Namun nyatanya janji itu tidak pernah ditepati.
"Kak, Mama sayang sama Kakak juga sama Dek
Qilla. Mama hanya ingin Kakak menjadi anak yang penurut, rajin dan pintar
seperti pesan Papa. Kakak masih ingat pesan Papa dulu kan?"
Rina mengangguk. Pikirannya berlari ke masa yang
membuat Rina semakin sedih. Masa di mana ia kehilangan orang yang ia cintai.
Papa.
Setahun yang lalu, sebelum pergi untuk selamanya
Papa berpesan pada Rina.
Kamu harus nurut
sama Mama ya, Rin. Jadi anak yang pintar. Jangan ninggalin ibadah dan jadi
kebanggaan Mama dan Papa.
Rina ingat kata-kata itu.
Tanpa disadari, mata Rina telah basah oleh air mata.
Sesenggukan Rina meminta maaf pada Mamanya.
"Maafkan Rina Ma. Rina menyesal."
Mama memeluk putri pertamanya itu. Mengangguk. Mama
maafkan.
"Tapi mulai sekarang, handphone Mama yang bawa.
Kakak hanya boleh pakai kalau memang mendesak dan satu lagi. Kakak harus rajin
minum obat biar cepat sembuh. Deal?"
tambah Mama.
"Deal."
Mama dan Rina tersenyum. Saling berpelukan.
[ * ]
Kudus, 17
September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar