Rabu, 17 September 2014

Cerpen : Handphone Baru Rina


Handphone Baru Rina
Oleh : Nuril Islam

Malam itu, selepas salat magrib berjama'ah Rina menemui Mamanya yang sedang menidurkan Qilla, adiknya di kamar.
"Ma, ini rapor Rina semester ini," ucap Rina. Sepasang tangannya menyerahkan buku bersampul warna biru pada sang mama.
Mama menerima buku itu. Membuka dan membacanya dengan seksama.
"Nilai Kakak bagus." Mama mengangguk. Mengamati deretan nilai sembilan hampir disemua mata pelajaran.
"Em, Ma …" panggil Rina.
Mama menoleh. Bertanya lewat tatapan mata, ada apa?
"Mama kan udah janji, kalau nilai Rina semester ini bagus Mama akan membelikan Rina hadiah."
Rina tersenyum malu-malu. Memandang Mamanya penuh harap.
"Iya, Mama masih ingat. Memangnya kakak mau hadiah apa?" tanya Mama.
"Em … Rina … Mau handphone. Bolehkan Ma?"
Handphone? Dahi Mama terlipat. Terkejut mendengar permintaan putrinya.
Bukan Mama tidak mau dan tidak mampu untuk membelikannya handphone namun di mata Mama, Rina masih kecil, usianya baru genap dua belas tahun dan belum saatnya untuk menggunakan barang elektronik itu. Mama takut Rina menjadi malas belajar dan melupakan kewajibannya.
Sudah banyak terjadi, anak-anak menjadi malas belajar, malas mengerjakan pekerjaan rumah karena asyik bermain handphone. Mama khawatir Rina akan seperti itu.
Rina bisa melihat raut kekhawatiran Mama padanya. Rina berusaha membujuk dan meyakinkan Mamanya.
"Rina janji akan tetap rajin belajar," jawab Rina. Jari telunjuk dan jari tengah sebelah kanannya mengacung ke udara. Janji!
Mama menghela napas. Bingung. Ingin Mama menolak permintaan putrinya itu namun Mama sudah berjanji akan membelikan apapun yang Rina inginkan jika nilai rapornya bagus.
Lama Mama terdiam.
"Ya, Ma ya? Rina nggak akan pake untuk macem-macem kok. Ya Ma?" rayu Rina. Menggenggam lengan Mamanya.
Janji tetaplah janji dan harus ditepati. Akhirnya Mama menyetujui keinginan Rina itu.
"Yeee!" Rina berseru senang. Mencium pipi mamanya berkali-kali.
"Terima kasih Mama yang cantik." Bisik Rina dan berlalu. Masuk ke kamarnya.
Keesokan harinya, Rina ditemani Mama dan Dek Qilla pergi ke sebuah toko elektronik yang tidak jauh dari rumah. Tujuannya hanya satu. Apalagi kalau bukan untuk membeli handphone impian Rina.
Sepanjang jalan Rina senyam-senyum sendiri. Hatinya berbunga. Akhirnya Rina bisa punya handphone seperti teman-temannya.
Nanti akan kutunjukan handphone baruku pada Sinta, bisik Rina.
Setelah lama memilih akhirnya Rina membeli sebuah handphone yang bentuknya lucu. Handphone itu seperti ketupat.
Ada ya handphone yang bentuknya seperti ketupat, hehehe, pikir Rina geli sendiri.
Handphone yang dipilih Rina itu dilengkapi fitur-fitur yang canggih. Bisa untuk foto, bisa untuk searching google, dan facebook. Rina semakin senang saat menerima kotak handphone miliknya dari kasir. Memeluknya erat.
***
Setiap hari, setiap saat, Rina tidak pernah melepaskan handphone barunya. Saat makan, nonton TV, belajar bahkan saat mandi pun Rina selalu membawa serta handphonenya. Berulang kali Mama mengingatkan agar Rina tidak terlalu sering bermain handphone. Tapi berulang kali pula Rina mengabaikan nasihat mamanya.
"Kakak, jam segini kok nggak belajar. Malah maen HP terus. Nah ketahuan ya…"
Mama membuka pintu kamar Rina. Menemukan putrinya sedang ber-sms ria. Rina gelagapan. Menyembunyikan handphone-nya di bawah buku. Pura-pura belajar.
"Enggak Ma. Rina belajar kok. Tadi itu Rina cuma … cuma tanya tugas sekolah aja Ma," jawab Rina asal. Tersenyum tanggung.
"Ya sudah. Belajarnya dilanjut tapi ingat jangan maen HP terus ya kak. Belajar!" seru Mama dengan wajah serius.
Rina mengangguk.
Ucapan Mama barusan adalah perintah yang harus dipatuhi dan dilaksanakan. Maka dengan wajah sedikit ditekuk Rina menyimpan handphone-nya ke dalam tas sekolah. Menyelesaikan tugas sekolah yang menumpuk.
***
Hari demi hari pun berganti. Rina semakin lengket dengan handphone barunya. Sudah seperti amplop dan perangko. Pagi, siang, malam kerjaannya main handphone. Entah itu sms-an, update status di facebook atau foto-foto. Bahkan karena saking serunya main handphone, Rina sekarang jadi malas makan, salat selalu ditunda-tunda, tidak lagi membantu Mamanya dan suka menyendiri.
"Kak, makan malam dulu. Udah ditunggu Dek Qilla tuuuh," seru Mama dari dapur.
Rina tidak beranjak dari duduknya. Seolah tidak mendengar ucapan mamanya. Mata dan jemarinya sibuk berselantar di dunia maya. Tertawa sendiri.
"Kak? makan dulu yuk. Maen Hpnya dilanjut nanti."
Mama.
Rina mendongakkan kepala. Menatap mamanya.
"Rina belum lapar, Ma."
Tersenyum. Kembali menatap layar handphone-nya.
"Ya udah. Tapi kakak jangan lupa makan ya," pesan Mama. Berlalu.
Rina mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya.
 Hingga jarum jam di ruang tamu menunjuk angka sembilan malam Rina masih asyik dengan handphone-nya. Melewatkan makan malam. Mengabaikan perutnya yang protes minta diisi. Mengabaikan dengungan nyamuk yang menyerbunya.
Setengah jam kemudian Rina mulai menguap. Matanya terasa berat. Ngantuk. Rina akhirnya pergi tidur
dengan tangannya masih menggenggam handphone.
Keesokan harinya.
Saat bangun tidur Rina merasa mual, nyeri dan perih di perutnya. Rina bingung. Ada apa dengan dirinya? kenapa dengan perutnya?
Rina berteriak memanggil mamanya. Sambil terus menggenggam perutnya yang semakin terasa perih.
"Ma … Mama," panggil Rina lagi.
Pintu kamar Rina terbuka.
"Rina? Kamu kenapa?" tanya Mama. Cemas melihat wajah Rina yang pucat dan terus menerus memegang perutnya.
"Perut Rina sakit Ma."
Segera Mama menghubungi Dokter Erwin. Meminta untuk datang ke rumah.
"Baik Dok, saya tunggu. Terima kasih. Assalamu'alaikum."
Sepuluh menit kemudian Dokter Erwin datang. Mama mempersilakan Dokter Erwin masuk ke dalam kamar Rina. Sigap Dokter Erwin memeriksa Rina. Mama memandangi Rina dengan hati cemas dan was-was.
"Bagaimana kondisi putri saya Dok?" tanya Mama usai Dokter Erwin memeriksa Rina.
Dokter Erwin tersenyum. Meminta untuk bicara di luar kamar.
"Rina mengalami radang lambung. Tapi Ibu tenang saja. Ini obat untuk Rina. Obat ini akan mengurangi rasa nyeri."
Dokter Erwin menyodorkan bungkusan obat yang banyak jumlahnya pada Mama Rina.
"Semoga lekas sembuh ya Bu. Saya permisi."
Dokter Erwin pamit pulang. Mama Rina membalas dengan tersenyum tipis. Mengantarkan Dokter Erwin sampai pintu.
"Kak, jujur sama Mama. Kakak semalam tidak makan? malam kemarin juga kan?" tanya Mama serius.
Sepasang matanya tidak lepas menatap Rina. Takut-takut Rina mengangguk. Membenarkan pertanyaan mamanya. Memang semalam dan malam-malam sebelumnya ia tidak pernah makan.
"Kenapa Kakak tidak makan?" tanya Mama lagi.
"Keasyikan main handphone Ma. Maaf," jawab Rina. Wajahnya tertunduk. Takut.
"Mama kan sudah bilang. Kakak boleh main handphone tapi harus tetap makan dan belajar." Suara Mama meninggi.
"Ma … Maaf Ma. Rina janji tidak akan melakukannya lagi."
Ah, sudah berapa kali Rina berjanji pada Mamanya. Namun nyatanya janji itu tidak pernah ditepati.
"Kak, Mama sayang sama Kakak juga sama Dek Qilla. Mama hanya ingin Kakak menjadi anak yang penurut, rajin dan pintar seperti pesan Papa. Kakak masih ingat pesan Papa dulu kan?"
Rina mengangguk. Pikirannya berlari ke masa yang membuat Rina semakin sedih. Masa di mana ia kehilangan orang yang ia cintai. Papa.
Setahun yang lalu, sebelum pergi untuk selamanya Papa berpesan pada Rina.

Kamu harus nurut sama Mama ya, Rin. Jadi anak yang pintar. Jangan ninggalin ibadah dan jadi kebanggaan Mama dan Papa.

Rina ingat kata-kata itu.
Tanpa disadari, mata Rina telah basah oleh air mata. Sesenggukan Rina meminta maaf pada Mamanya.
"Maafkan Rina Ma. Rina menyesal."
Mama memeluk putri pertamanya itu. Mengangguk. Mama maafkan.
"Tapi mulai sekarang, handphone Mama yang bawa. Kakak hanya boleh pakai kalau memang mendesak dan satu lagi. Kakak harus rajin minum obat biar cepat sembuh. Deal?" tambah Mama.
"Deal."
Mama dan Rina tersenyum. Saling berpelukan.

[ * ]

Kudus, 17 September 2014

  




Tidak ada komentar:

Posting Komentar