Kamis, 30 Oktober 2014

Fiksi : Kenapa Kau Membenciku???

Kenapa kau membenciku?

Tak perlu kau bersembunyi. Aku bisa melihatmu dengan jelas. Tiang bangunan itu tidak bisa menyembunyikan tubuhmu dari penglihatanku. Dan satu lagi. Aku juga tahu kalau kau membenciku. Mungkin amat sangat banget sekali membenciku.
Jika kau izinkan, aku ingin bertanya satu hal. Pertanyaan sederhana saja.
Kenapa kau membenciku? Apakah aku pernah berbuat salah padamu? Atau tanpa sadar kalimatku menyakitimu?
Tapi kan kita belum pernah berbincang. Menyapamu saja aku tidak pernah, lalu bagaimana bisa kau benci padaku? Bukan aku tidak mau berbincang denganmu. Tapi kau menghindar di detik pertama saat mata kita bertaut.
Aku benar-benar tidak mengerti. Kenapa kau membenciku?
Sebenarnya, aku tipikal orang yang cuek dan masa bodoh dengan orang lain. Aku lebih senang menghabiskan waktu sendiri. Mengembara dalam duniaku sendiri. Aku tidak pernah peduli dengan orang-orang di sekitarku. Bagiku, mereka hanyalah patung berjalan.
Tapi saat bertemu denganmu semua terasa lain. Aku tidak bisa lagi acuh apalagi berpura-pura tidak melihatmu. Ada sesuatu yang membuatku ingin mendekatimu. Meninggalkan duniaku yang nyaman. Tapi tidak kusangka, kau justru menghindariku bahkan sangat membenciku. Aku jadi sangat penasaran.
Jika kau izinkan, aku ingin bertanya. Kenapa kau membenciku? Jawablah.
Aku kesal dan sebal jika melihat raut wajahmu seperti itu. Diam, melihatku sekilas dan mendesah pelan. Kenapa? Kenapa kau tidak mau menjawab pertanyaanku?
Tolonglah, jangan buat aku merasa sangat bersalah seperti ini. Bagaimana aku tahu salahku jika kau diam dan menghindariku.
Kau tahu, kau sempurna mengalihkan duniaku. Membuatku pusing sepuluh keliling karena tingkah anehmu itu.
Aku sadar, aku hanyalah manusia biasa. Aku bukan malaikat yang suci, yang tidak punya dosa. Aku juga bukan iblis yang menakutkan. Aku kombinasi keduanya. Sifat malaikat dan iblis menyatu dalam tubuhku. Dan … Hmm, bahkan saat ini mungkin aku sedang melakukan dosa lagi.
Tolong, jangan acuhkan aku. Jangan abaikan aku. Aku hanya butuh penjelasan. Setelah
itu terserah kau. Kau ingin menjauh. Kau tidak ingin melihatku lagi. Terserah. Aku tidak
akan mengganggumu lagi. I SWEAR.
Hufffh, aku merasa lega karena akhirnya kau mau berbicara padaku. Aku tahu kau
masih takut. Aku dapat merasakannya. Tapi tidak apa. Ini sudah lebih dari cukup.
Aku hanya bisa tertawa saat kau menjelaskan semuanya. Alasan kenapa kau menjauhi dan membenciku. Perutku sampai sakit karena tawa yang tak sanggup kutahan.
"Jadi, kau takut dengan rambut gondrongku?" tanyaku, menahan tawa.
Kau hanya mengangguk dengan tertunduk.
Ya, mungkin memang sudah waktunya kupangkas habis rambut yang menutupi hampir sebagian wajahku. Rambut yang selama bertahun-tahun kubiarkan memanjang.
Selama ini aku selalu cuek, toh tidak ada seorang pun yang berkomentar tentang penampilanku. Tapi kau. Ya kau. Dengan kepolosanmu kau mengatakan, kau takut padaku karena benda di atas kepalaku ini. Rambutku!
"Baiklah. Besok aku akan potong rambut."
Kau mendongak. Menatapku dengan penuh sesal.
Aku balas menatapmu. Bukankah itu yang kau inginkan? Tanyaku lewat tatapan mata.
"Eh … Tidak perlu. Aku hanya butuh penyesuaian," jawabmu. Kembali menunduk.
Aku mengangkat sebelah alis. Orang aneh.
Kau takut melihat rambutku, aku bersedia memotong rambut, eh kau bilang tidak perlu. Katamu, kau hanya butuh penyesuaian saja. Maksudnya apa?
"Kau kehilangan sesuatu?" Kulihat kakimu saling bergesek dengan lantai.
Kau mendongak lagi. Menggeleng.
"Lalu kenapa menunduk seperti itu?"
"Tidak apa-apa."
Kau benar-benar orang teraneh yang pernah aku temui. Tapi jauh di lubuk hati, ada yang menarikku padamu. Meski kau aneh tapi aku suka. Mungkin karena aku juga aneh. Ya, dua orang aneh bersama. Entah bagaimana penilaian orang tentang kita.
Ups!
Kita? Kata itu terdengar indah sekali. Kau dan aku menyatu menjadi kita.
Bibirku tertarik ke belakang menciptakan sebuah senyum. Namun itu tidak lama. Aku gengsi dan takut kau melihatnya. Karena aku jelek ketika tersenyum. Tidak percaya? Terserah.
"Kau sering datang ke tempat ini?"
Berdua berkeliling museum sekali lagi. Meja bundar besar yang memajang deretan bungkus rokok dari masa ke masa menyambut kedatangan kita. Kau mendekati meja bundar itu.
"Ya, ketika libur datang."
Aku mengangguk. Membenarkan jawabanmu. Setiap datang kemari pun aku selalu bertemu dengan bayanganmu yang berjalan seorang diri di dalam museum yang ramai. Aku ingat betul pertemuan pertama kita dulu.
Waktu itu aku sedang mengambil foto tiga patung pekerja yang sedang menggiling rokok dan kau-mungkin tidak melihat keberadaanku-menabrakku yang fokus menjebret aksi tiga patung pekerja itu.
Aku sempat ingin marah sebenarnya. Kau mengganggu konsentrasiku. Tapi saat melihat mimik mukamu, aku justru terheran. Kau seolah melihat sesosok makhluk astral yang sangat menakutkan. Belum sempat kubertanya, kau berlari menjauhiku. Meninggalkan tanda tanya dalam hatiku.
"Rumahmu di mana?"
Tanpa dosa kutanyakan itu padamu. Dan sudah kuduga kau menatapku. Mungkin heran, karena kita baru saja kenal dan aku menanyakan rumahmu.
"Eh, kupikir rumahmu tidak terlalu jauh dari sini. Mengingat kau sangat rajin datang kemari. Iya kan?" sahutku lagi. Memutus curigamu.
Kita melangkah lagi. Sekarang memandangi tumpukan tembakau yang di tata apik di dalam etalase kaca.
"Rumahku berjarak dua rumah dari sini."
Aku hanya ber-o- ria. Tiba-tiba terbersit keinginan untuk berkunjung ke rumahmu.
Setelah satu jam lamanya berkeliling museum, akhirnya sampailah di akhir kebersamaan  kita. Kau tersenyum sekilas. Sedangkan aku membantu di tempatku. Mengutuki waktu yang cepat sekali berlalu. Aku ingin lebih lama bersamamu.
Dengan sekali anggukan, kau pamit. Karena hari mulai senja. Atau mungkin kau khawatir orang tuamu mencari atau malah kau ada janji dengan seseorang. Ah, entahlah. Aku hanya ingin kau tinggal. Menemaniku lebih lama lagi.
"Tunggu!"
Panggilanku menghentikan langkahmu.
"Eh, apakah kita akan bertemu lagi?"
Kau menjawab dengan tersenyum dan kuartikan senyum itu sebagai kata, "ya".
Bayangan tubuhmu perlahan mengecil dan menghilang. Meninggalkan aku yang masih membantu di pintu masuk museum yang mulai sepi. Aku merasakan ada yang hilang dalam hatiku. Aku merasa tidak lagi utuh.
Rindu. Sepertinya aku merindukanmu. Aku tahu, kau akan menertawakan jika aku katakan itu padamu. Baru juga kenal kok sudah rindu. Tapi aku serius. Aku rindu padamu. Tingkahmu yang bersembunyi di balik tiang. Senyum kakumu. Ah, tak sabar rasanya menanti hari esok. Tak sabar bertemu denganmu lagi.
Sampai bertemu lagi di pertemuan kita selanjutnya. Aku berjanji kau tak akan lagi takut melihatku. Aku akan berubah. Demi kau.

*****  THE END  *****

Kudus, 30 Oktober 2014


Fiksi : Bertahan Untukmu

Bertahan untukmu, ~ J~

Setahun yang lalu. Di tempat ini. Pertama kalinya aku bertemu denganmu. Aku bahagia. Sangat bahagia malah. Karena aku tidak lagi sendiri.
Ada kau yang menemani pagi dan malamku. Ada kau yang memberikan aku sandaran ketika aku terpuruk. Kau yang selalu ada di setiap tangis dan juga tawaku. Kau berharga. Melebihi apapun.
Meski kebersamaan kita baru satu tahun, tapi aku merasa mengenalmu lebih lama. Mungkin belasan atau puluhan tahun yang lalu. Aku nyaman dan merasa damai bersamamu.
Setelah setahun lamanya kita bersama. Keteguhanku perlahan memudar. Maafkan jika kejujuranku ini menyakitimu. Sebenarnya aku masih ingin bersamamu. Tapi … Entahlah. Aku tidak tahu. Semua sudah jauh berubah. Tidak lagi sama seperti dulu.
Ada banyak hal yang tidak pernah sama dengan apa yang kita inginkan. Mungkin ini juga salah satunya.
Aku bingung. Apakah aku harus melepasmu? Setelah setahun lamanya kita bersama?
Tidak. Konyol dan bodoh jika karena ini saja aku melepasmu. Melepaskan semua kenangan indah kita.
Baiklah, aku akan coba bertahan. Menjaga rasa ini untukmu. Memang tidak mudah namun bukan berarti aku tidak bisa. Pasti kita bisa. Selama kau bersamaku.

 Aku akan bertahan untukmu, ~ J~

Kudus, 30 Oktober 2014

   

Rabu, 29 Oktober 2014

Fiksi : Lelaki Masa Lalu

Lelaki Masa Lalu

Kuakui, dulu aku mengagumimu. Dan tanpa aku sadari rasa kagum itu tersimpan apik di sudut hatiku hingga detik ini.
Sikapmu, perilakumu, wajahmu, semua tentangmu, aku suka. Rasa kagum itu bahkan sudah ada ketika aku masih mengenakan seragam putih merah. Anak kecil ingusan yang belum tahu arti rasa kagum.
Aku hanya suka melihatmu. Bertemu denganmu. Itu saja.
Kau tahu, dulu ketika aku akan berangkat sekolah. Aku selalu mencari kesempatan agar aku bisa berangkat bersamamu. Walau hanya menjadi bayangan ataupun ekor bagimu. Entah kau sadari atau tidak kehadiranku saat itu. Tidak apa. Aku tetap merasa senang. Terkadang aku tersenyum sendiri jika mengingat kejadian itu.
Mereka bilang, perasaan itu adalah cinta monyet. Iya monyet. Kau tahu kan. Binatang penyuka pisang itu. Yang suka berpindah-pindah tempat sesuka hatinya. Kurang lebih seperti itulah pengertian cinta monyet. Penjelasan itu dituturkan salah seorang guru ketika aku duduk di bangku SMP dulu.
Jika benar rasa ini cinta monyet, kenapa aku tidak berpindah seperti itu? Seperti monyet yang berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain. Perasaanku tidak berpindah kepada orang lain. Aku bahkan semakin mengagumimu saat di SMP tingkat dua dulu.
Berarti memang rasa ini bukan cinta monyet kan?! Aku tidak pernah mengganti nama dan wajahmu di hatiku. Kau tetap yang nomor satu. The Only One.
Setelah lulus SMP, aku disibukkan dengan tugas-tugas dan pekerjaan sekolah lainnya. Itu sangat membuatku letih. Hingga perlahan aku lupa padamu. Bukan aku tidak lagi kagum, tapi kesibukan ini menyita seluruh waktu dan pikiranku. Aku tidak bisa lagi berkhayal tentangmu. Sampai tanpa kusadari nama dan wajahmu perlahan terhapus di hatiku.
Dan sekarang, waktu berbaik hati mempertemukan kita lagi. Setelah bertahun lamanya kita terpisah dan tidak pernah bertatap muka.
Kau yang dulu kukagumi sekarang telah tumbuh menjadi lelaki dewasa yang tetap
mengagumkan di mataku. Tapi aku sempat kecewa karena aku jarang atau mungkin tidak
pernah lagi melihat senyummu. Kenapa? Padahal dulu, kau begitu lepas tersenyum bahkan tertawa.
Wajah itu seakan mengukung senyummu. Apakah kau bahagia dengan itu? Jika iya, aku akan ikut bahagia. Tapi aku … Ah, sudahlah. Aku bahkan tidak bisa mengartikan tatapan matamu yang beberapa kali kudapati mengekor langkahku.
Kenapa kau berubah? Aku lebih senang dengan dirimu yang dulu. Yang lugu, baik, sopan, pintar dan rupawan.
Secara fisik, kau masih sama. Tapi secara feeling, aku merasa kau berubah. Aku tidak tahu dan mungkin tidak punya hak untuk tahu. Siapalah aku bagimu.
Mungkin bagi kebanyakan orang aku munafik, mengatakan aku tidak mengharapkanmu. Tapi, memang itu yang selalu aku katakan. Kau adalah lelaki di masa laluku dan tidak pernah kuberharap kau akan jadi masa depanku. Kupasrahkan semua pada Tuhan. Karena Dia yang lebih tahu. Mana yang baik untukku. Untuk kehidupanku dan untuk kita berdua.
Mungkin bersamamu itu membuatku bahagia. Tapi jika Tuhan berkata itu tidak baik, ya akan berakhir dengan sendirinya. Pun sebaliknya.
Jodoh itu urusan Tuhan. Aku hanya bisa berusaha dengan cara yang dibenarkan oleh Tuhan dengan memperindah diriku agar Tuhan menjodohkan aku dengan seseorang yang indah pula. Entah orang itu kau atau yang lain.
Biarlah kini kita jalani kehidupan kita masing-masing. Aku dengan duniaku dan kau dengan kehidupanmu. Terima kasih karena kau bersedia mampir di lamunanku malam ini.
Selamat malam.

Kudus, 29 Oktober 2014

Jumat, 24 Oktober 2014

Cerita Anak : Kisah Raja Semut dan Kawanan Panda



Kisah Raja Semut dan Kawanan Panda
Oleh : Nuril Islam

Pada zaman dahulu, hiduplah seekor raja semut. Sang raja semut itu sangat bijaksana dan juga cerdik. Para semut sangat hormat dan patuh padanya. Tak pernah sekalipun mereka menentang perintah dari sang raja semut.
Kelompok semut itu tinggal di sebuah ladang. Di ladang itu tumbuh pohon tebu yang sangat banyak dan juga lebat. Dan sesuatu kebetulan yang mengasyikkan untuk kelompok semut itu. Mereka yang memang sangat menyukai sesuatu yang manis merasa sangat beruntung bisa tinggal di ladang itu.
Setiap hari, para semut bergotong royong untuk mencari makan. Mereka saling membantu, saling bekerja sama, tanpa ada rasa iri dan juga membanggakan diri. Mereka adalah satu tim yang sangat solid.
Pagi itu, sang raja semut tengah berkeliling di ladang. Mengamati para pekerja yang sedang mengangkut makanan ke gudang makanan milik mereka. Sayup-sayup terdengar suara nyanyian yang merdu. Karena penasaran sang raja pun mendekati asal suara itu. Saat berada dekat dari suara itu, sang raja tersenyum senang. Segerombolan semut sedang bernyanyi riang dengan tangan dan kaki mereka yang terus bekerja. Wajah mereka terlihat sangat gembira, tanpa beban dan juga rasa letih.
"Kerja, kerja, ayo kita kerja …"
Begitulah kira-kira lagu yang dinyanyikan gerombolan semut itu.
Sang raja semut kemudian pergi meninggalkan mereka. Berkeliling lagi.
"Hmmm, betapa indahnya pagi ini. Matahari bersinar hangat, burung-burung berkicau di atas ranting pohon," ucap sang raja takjub. Kembali sang raja melangkahkan kakinya menyusuri ladang tebu yang luas.
Sudah menjadi kebiasaan, kalau setiap harinya sang raja mengitari ladang tebu itu. Dari pagi hingga petang menjelang. Untuk memastikan keadaan sekitar. Mungkin saja ada binatang buas yang ingin masuk ke dalam wilayah kekuasaannya.
"Semuanya aman. Ah, lebih baik aku kembali ke sarang."
Baru beberapa sang raja melangkah, ia mendengar sesuatu bergerak di kejauhan.
"Apa itu?" tanya sang raja.
Berhati-hati sang raja mendekati rimbunan pohon tebu yang menjulang tinggi. Muncullah beberapa ekor semut melompat-lompat di atas daun tebu. Satu suara memanggilnya. 
"Raja! Raja!"
"Gawat Raja. Kita mendapat masalah besar." Seekor semut bertubuh tambun tergopoh mendekati sang raja.
"Ada apa?" sang raja bertanya dengan nada cemas. Pasti ada sesuatu yang penting sehingga mereka datang menemuinya.
"Gawat Raja. Sarang kita terancam hancur."
"APA?!" Pekik sang raja semut tidak tidak percaya. Bagaimana bisa sarang-sarangnya bisa hancur? Siapa yang melakukannya?
Dengan nafas terengah-engah semut-semut itu menceritakan kejadian yang menimpa sarang mereka.
"Benar Raja, para panda itu menghancurkan sarang rumah kami dan juga memakan semua tebu yang ada di sana," terang salah satu semut yang bertubuh lebih kurus dari yang lain.
Mereka bersama sang raja bergegas ke tempat para panda itu berada. Sang raja bertanya dalam hatinya, apa yang membuat para panda itu masuk ke dalam wilayahku? Apa yang sebenarnya terjadi?
Sampailah sang raja dan pasukan semut di sana. Keadaan sangat kacau. Carut marut. Batang-batang pohon tebu bergelimpangan di tanah. Sarang-sarang para semut beberapa telah hancur. Terlihat semut-semut lari pontang panting menyelamatkan diri dan juga keluarganya.
"Aku tidak bisa diam saja melihat ini. Aku harus berbicara dengan pemimpin dari panda-panda itu," kata sang raja semut geram.
Sebelum pergi, sang raja berpesan kepada para prajuritnya untuk membawa para semut ke tempat yang lebih aman. Setelah memastikan rakyat semut telah aman, pergilah sang raja semut menemui pemimpin panda.
"Hei, kau. Berhenti! Berhenti!"
Sang raja berteriak keras sekali memanggil pemimpin panda, namun yang dipanggil tidak mengindahkan kata-kata sang raja.
"Huh, kau meremehkanku ya. Baiklah, jika itu maumu."
Sang raja semut melompat dan merayap di kaki sang panda. Bersiap untuk menggigit.
"Rasakan ini!"
Jleb!
"Auuuw!" Si Ketua panda itu pun berteriak histeris. Raungannya yang keras membuat panda lain datang mengerubuninya.
"Ada apa, Ketua?" tanya salah satu panda.
"Ada yang menggigit kulit kakiku."
Panda itu melongok melihat kakinya yang berdenyut. Di sana seekor semut memakai mahkota daun di kepalanya, tersenyum lebar.
"Kau rupanya. Kenapa kau menggigitku?" tanya si Ketua.
"Salah siapa? Aku dari tadi memanggilmu tapi kau tidak dengar. Hah, aku minta kau dan anggotamu itu pergi dari sini. Ini adalah wilayah kami. Para semut." Perintah sang raja semut. Menatap tajam kepada si Ketua.
"Hahaha … Kenapa juga aku harus mendengarkan ucapanmu? Kau itu siapa? Raja hutan? Hahaha …"
"Kalau kau tidak mau pergi dari sini, jangan salahkan aku jika para pasukan semut akan datang melawan kalian semua dan kupastikan kalian akan kalah. Dengarkan itu!" Kecam sang raja semut.
"Kau? Mau melawan aku? Hahaha. Lihatlah dirimu semut. Kau itu hanya binatang yang kecil dan juga lemah. Tidak mungkin bisa melawan kami yang besar dan kuat."
"Awas saja. Aku akan kembali bersama pasukanku."
Sang raja berlalu dengan perasaan marah. Sedang kawanan panda itu tertawa lepas melihat sang raja semut. Bagaimana bisa binatang besar seperti panda akan dikalahkan dengan semut? Tidak akan mungkin.
"Mari kita lanjutkan makan. Habiskan semuanya. Hahaha," seru si Ketua pada anggotanya. Para panda berseru senang dan kembali larut dengan makanan mereka.
Sementara di tempat persembunyian semut, sang raja menggelar rapat penting bersama dengan prajurit-prajuritnya yang setia. Mereka sedang mengatur strategi untuk mengusir kawanan panda itu dari wilayah mereka.
"Kita kalah kuat, Raja. Mereka binatang yang besar. Sudah pasti kita akan kalah," keluh salah satu prajurit.
"Aku yakin kita pasti bisa mengalahkan mereka. Meski mereka bertubuh besar bukan berarti mereka bisa bersikap seenaknya pada kita. Nah, aku punya rencana."
Satu ide brilian pun muncul dari otak sang raja. Sang raja sangat yakin kalau rencananya ini akan berhasil.
"Sekarang, kumpulkan para semut jantan. Kumpulkan mereka semua di sini." Perintah sang raja.
Para prajurit pun bergegas melaksanakan perintah dari rajanya itu. Tidak butuh waktu lama, para semut jantan telah berkumpul di sarang sang raja.
"Aku kumpulkan kalian di sini tidak lain tidak bukan untuk mengusir kawanan panda yang telah masuk tanpa izin ke dalam wilayah kita. Bersama kita pasti bisa melakukannya."
Dipimpin sang raja, pasukan semut itu menuju ke tempat kawanan panda itu berada. Kawanan panda itu tidak menyadari ada bahaya yang mengintai mereka. Mereka terus asyik melahap makanan. Sang raja memberi kode kepada para prajuritnya untuk mengambil posisi. Sekejap barisan semut itu berlari menuju kawanan panda yang tengah asyik makan. Membentuk lingkaran di kaki para panda.
"Tunggu aba-aba dariku!" Seru sang raja.
Sang raja pun merayap ke kaki si Ketua panda.
"Sekarang kau rasakan pembalasan dari kami," batin sang raja semut.
Sebelum penyerangan, sang raja memastikan prajuritnya telah berada di posisi.
"Satu! Duaa! … Serang!" Seru sang raja dengan lantang. Serempak prajurit semut itu pun menggigit kaki kawanan panda yang asyik makan.
Bruk! Bruk! Bruk!
Satu persatu kawanan panda itu terjatuh dan saling bertabrakan dengan kawannya sendiri. Sambil memegang kaki mereka yang sakit.
"Auuuw!" Pekik kawanan panda itu seperti sebuah koor.
Si Ketua panda kebingungan melihat anggotanya yang berjatuhan dan mengerang kesakitan. Sebelum si Ketua menyadari apa yang terjadi, sang raja semut seketika menggigit dalam-dalam kulit kaki si Ketua. Seperti yang lain, si Ketua panda terjerembab di atas tumpukan daun tebu.
"Sudah aku bilang kan?! Kalau aku akan kembali dengan pasukanku. Sekarang apakah kalian masih berani pada kami?" tanya sang raja semut. Mendekati si Ketua yang terguling-guling.
"Semut? Kau …?"
"Ya, aku kembali. Sekarang aku minta kau dan anggotamu pergi dari sini. Pergi dari wilayah kami." Sang raja menatap si Ketua tajam. Mata mereka pun saling beradu.
"Pergi! Pergi! Pergi! …" Seru para prajurit semut serempak.
"Semut, maafkan kami. Jangan usir kami. Kami tidak punya tempat tinggal. Izinkanlah kami untuk tinggal di sini," pinta si Ketua panda. Wajahnya berubah memelas.
"Kalian tidak punya tempat tinggal? Bagaimana bisa?" Sang raja semut terheran.
"Benar semut. Kami tidak lagi punya tempat tinggal. Manusia telah merusak rumah kami. Membakar rumah kami dan membunuh keluarga kami secara sadis. Kami berusaha melawan, namun kekuatan mereka jauh lebih besar dan akhirnya kami memutuskan untuk mengungsi. Berbulan-bulan kami terus berjalan menyusuri hutan dan sungai, demi mencari tempat tinggal baru. Hingga pada akhirnya aku melihat ladang tebu ini. Tolonglah kami semut," terang si Ketua.
Sang raja semut tertegun dan terkejut mendengar cerita si Ketua panda itu. Tidak disangka kawanan panda itu melewati masa yang sangat sulit. Hati sang raja semut yang tadinya mengeras seperti batu perlahan melunak setelah mendengar pengakuan tidak terduga dari si Ketua panda.
"Baiklah, aku akan mendiskusikannya dengan para semut."
Sang raja semut pun pergi dan mengumpulkan para semut.
"Bagaimana menurut kalian? Apakah kita izinkan kawanan panda itu hidup bersama kita di ladang tebu ini?" tanya sang raja. Memandang wajah para semut. Meminta pendapat.
"Saya tidak setuju, Raja. Bisa saja mereka mengarang cerita itu," kata salah satu semut.
Ya, bisa jadi.  "Yang lain?" tanya sang raja semut lagi.
"Kami serahkan semua keputusan padamu, Raja. Karena kami yakin Raja pasti bisa mengambil keputusan yang terbaik untuk kami."
Para semut kemudian terdiam. Larut dengan pikirannya masing-masing. Begitu pun dengan sang raja semut. Pilihan yang sangat sulit.
"Baiklah. Keputusan sudah aku ambil. Semoga ini yang terbaik," batin sang raja semut.
Bersama salah satu prajuritnya, sang raja semut menemui si Ketua panda. Wajah para panda itu sangat tegang. Mereka berharap sang raja semut menerima mereka tinggal di ladang ini.
"Ehem ehem. Setelah berdiskusi dengan para semut, aku memutuskan … kalian boleh tinggal di sini."
Kawanan panda itu pun terlonjak gembira mendengar keputusan sang raja semut.
"Terima kasih semut," kata si Ketua.
"Tapi dengan syarat. Kalian tidak boleh melewati batas wilayah. Aku akan meminta prajuritku untuk menemani kalian, menunjukkan wilayah mana yang boleh kalian tempati."
Si Ketua panda mengangguk setuju dengan keputusan sang raja semut. Tidak disangka, semut yang telah ia hina dan remehkan ternyata sangat baik padanya dan juga anggotanya. Tiba-tiba si Ketua panda merasa bersalah pada sang raja semut.
"Eh, semut. Aku meminta maaf atas perkataanku tempo hari. Tidak seharusnya aku mengatakan kalimat yang menyakiti hatimu. Maafkan aku semut," kata si Ketua penuh sesal.
"Sudahlah. Yang lalu biarlah berlalu. Dan ingat, jangan remehkan kami. Para prajurit semut yang tangguh."
Sang raja semut dan si Ketua panda pun tertawa bersama.
Sejak hari itu, para semut dan kawanan panda hidup berdampingan dengan damai dan bahagia.
*** TAMAT ***

   

Kudus, 24 Oktober 2014

Kamis, 23 Oktober 2014

Catatan kamis pagi yang penuh berkah

Catatan kamis pagi yang penuh berkah

Kita tidak pernah tahu bagaimana cara Tuhan mempertemukan kita dengan kematian. Mungkin akan sangat menyakitkan hingga air mata tiada henti mengalir dari pelupuk mata namun bisa jadi itu sangat menyenangkan dan membawa rasa damai dan lega ketika kita berjumpa dengannya.
Tidak ada yang tahu pasti kapan kematian itu akan datang. Di mana ketika kematian itu menjemput dan seperti apa tampang dan keadaan ketika ia menyapa di detik nafas terakhir kita. No one know, tidak aku, kau atau mereka. Itu mutlak menjadi rahasia Tuhan.
Terkadang terbersit keinginan untuk menyudahi kehidupan di dunia ini. Ingin segera pergi dari semua hal yang memusingkan dan menyesakkan dada. Namun ketika keinginan itu telah sampai pada puncaknya, aku tertegun. Sudahkah aku siap? Apakah bekalku telah cukup? Kurasa memang bekalku jauh dari cukup.
Selama ini memang aku selalu mementingkan kehidupan yang nyata di depan mataku tanpa mempedulikan kehidupan lain, yang kata mereka lebih hakiki dan lebih nikmat. Benarkah? Entahlah, aku sendiri pun tidak tahu.
Aku terbuai dengan pernak-pernik dan perhiasaan dunia yang menyilaukan mata dan hati hingga aku benar-benar alpha. Semua itu sangat menggiurkan, apakah salah jika aku menginginkannya?
Ada yang bilang, untuk mendapatkan keindahan dunia dan kenikmatan akhirat harus menggunakan ilmu. Dengan ilmu semua bisa didapatkan. Tapi eh tapi harus diseimbangkan dengan keimanan kepada Tuhan yang Maha Kuasa. Keseimbangan akan menciptakan keselarasan dalam hidup.
Sering aku bertanya pada diriku sendiri. Kehidupan macam apa yang ingin aku jalani? Kisah seperti apa yang ingin aku lakoni? Pertanyaan demi pertanyaan itu sangat menggangguku. Membuatku tidak jenak.
Semakin aku bertanya semakin tidak kutemukan jawaban. Dunia seakan acuh pada kegelisahanku. Atau mungkin ia juga sama gelisahnya sepertiku? Ya mungkin saja.
Lihatlah, betapa dunia semakin semrawut, tidak beraturan. Alam semakin bertambah tua dan manusia semakin berulah dengan ide-ide gilanya yang mereka cetuskan demi hanya dan untuk kepentingan mereka sendiri. Manusia lupa bahwa mereka tidak hidup sendiri. Ada makhluk lain di dunia ini. Tumbuhan dan hewan. Tumbuhan dan hewan yang punya hak untuk melangsungkan hidup sama seperti manusia tapi kenapa manusia begitu egois dan selalu ingin menang sendiri? Semakin jelaslah sifat dasar manusia itu, serakah. Astaghfirullah …
"Tidak Kuciptakan manusia dan jin selain hanya untuk beribadah kepada-Ku."
Kalimat kalam itu membuatku tersadar akan tujuan hidupku. Yakni beribadah hanya kepada-Nya. Dia yang menguasai langit, bumi dan apa yang  ada diantara keduanya.
Tuhan, aku tahu bahwa aku bukanlah manusia yang sempurna. Aku sering dan selalu melakukan dosa kecil maupun besar. Namun aku tahu Tuhan, bahwa sifat Rahiim-Mu jauh lebih besar dibanding benci-Mu kepadaku, hamba-Mu yang penuh dengan lumpur dosa.
Tuhan, aku tahu jika aku masih sering dan selalu menyalahi aturan yang Kau buat. Namun sifat Ghofur-Mu yang tidak terhinggalah membuatku selalu berprasangka baik bahwa Kau akan membukakan pintu maaf-Mu untukku.
Tuhan, bimbinglah langkahku. Tuntunlah jalanku. Agar aku selalu berada dalam rahmat dan lindungan-Mu. Tidak ada hal yang amat aku inginkan selain meminta cinta tulus dari-Mu Tuhan.
Wahai Tuhanku, berikanlah kepadaku kebaikan di dunia dan juga kebaikan di akhirat serta selamatkanlah aku dari siksa api neraka yang menyala-nyala. Aamiin.

 Kudus, 23 Oktober 2014