Selasa, 20 Mei 2014

Cerpen, Bunga-Bunga Cinta




Bunga-Bunga Cinta
oleh : Nuril Islam

 “Apa? Bapak menerima lamaran Mas Dirga?”
Aku terhenyak di kursi sebelah Ibu. Ibu mengangguk membenarkan.
“Besok Nak Dirga dan keluarganya akan datang untuk membicarakan hari pernikahan kalian.”
Aku menghela nafas. Kenapa Bapak tidak menanyakan hal ini dulu padaku? Hatiku bahkan masih berkabung. Tanah kuburan mas Aldi pun masih basah. Ibu mendekap bahuku. Menguatkan. Mengatakan Bapak melakukan ini karena sayang padaku. Tidak ingin aku terlalu lama bersedih dengan kepergian Mas Aldi. Mengatakan bahwa aku berhak untuk melanjutkan hidup. Berhak untuk bahagia. Haruskah secepat ini?
Selepas magrib keluarga Mas Dirga datang ke rumah. Membicarakan hari pernikahanku dan Mas Dirga. Aku lebih banyak diam. Sesekali mengangguk atau menggeleng saat ditanya. Aku tahu Mas Dirga tidak pernah mengalihkan pandangannya dariku. Menatapku lekat. Aku pura-pura tidak melihatnya. Aku pamit. Mencari udara segar di teras rumah. Senja telah didekap sang malam. Bintang-gemintang menghiasi langit. Berkedip-kedip di balik pepohonan yang remang. Suara langkah kaki mendekatiku. Mas Dirga. Aku tahu dia mengikutiku.
“Boleh aku duduk?” Aku mengangguk. Diam. Kami memandangi bunga mawar yang sedang mekar di teras rumah. Memandangi bunga mawar itu aku teringat Mas Aldi. Dulu Mas Aldi sering memberiku bunga mawar. Terutama bunga mawar merah. Tak terasa sebutir air mata menggelayut di pelupuk mataku. Segera aku menghapusnya. Takut mas Dirga melihat. Semilir angin menggoyangkan kelopak mawar.
“Indah ya.”
Aku menoleh. Apa?
“Bunga mawar itu indah…seperti kamu.”
Mas Dirga menoleh menatapku.
Sedetik mata kami bertemu. Aku gelagapan.
“Iy…iya.” Aku pura-pura merapikan jilbab. Mengalihkan pandangan.
“Malam itu, sebelum Aldi benar-benar pergi dia mempunyai satu permintaan. Dia memintaku untuk menjagamu, Nay. Dan aku berjanji padanya untuk menunaikan permintaannya itu. Menunaikan janji seorang sahabat.”
Aku menggigit bibir.
Aku tahu Mas Aldi berkawan baik dengan Mas Dirga. Tapi permintaan itu…
“Karena itu Mas Dirga melamarku?”
“Ya, aku pikir ini yang terbaik. Tidak mungkin aku selalu bersamamu sedangkan kita tidak memiliki hubungan dekat.”
Aku masih mendengar perbincangan Bapak dan Ibu dengan orangtua Mas Dirga di ruang tamu. Tertawa renyah membanggakan kami, anak-anaknya. Aku menghela nafas. Tertunduk.
******
Hari pernikahanku akhirnya tiba. Lihatlah, wajah Bapak, Ibu, orang tua mas Dirga, Mas Dirga, para tamu undangan. Wajah mereka bahagia. Tapi, kenapa aku tidak sebahagia mereka? Kenapa wajahku justru tegang. Resah dan gundah. Permintaan Mas Aldi? Kenapa Mas Aldi membuat permintaan itu? Permintaan yang justru mengekangku dalam pernikahan ini. Aku mendongak. Menatap langit. Langit biru cerah. Awan putih berbaris rapi. Semilir angin membelai lembut dedaunan. Tapi hatiku terasa sempit. Menyesakkan.
Tamu undangan terus mengalir hingga hari beranjak petang. Tubuhku pegal karena seharian berdiri. Kakiku rasanya mati. Kram mungkin. Mas Dirga mendekatiku, memapahku ke kamar. Aku melirik Bapak dan Ibu yang berbisik di kejauhan.
“Lihat Bu, Nayla sama Dirga. Sudah kebelet kayaknya.” Bapak terkekeh.
“Sudah to Pak. Jangan digoda begitu. Biarkan saja mereka.”
Entah kenapa wajahku memerah. Malu. Mas Dirga tidak menggubris kalimat Bapak, terus memapahku ke kamar. Mendudukanku di pinggir ranjang. Mengambil balsem dan memijat kakiku yang kram. Tangan Mas Dirga cekatan memijit kakiku yang kram sampai sakitnya hilang.
“Masih sakit Nay?”
“Eh, udah mendingan kok Mas.”
Mas Dirga tersenyum kemudian pamit. Hendak mengambil wudhu. Salat isya’. Aku mengikuti Mas Dirga mengambil wudhu. Kamipun salat isya’ bersama untuk pertama kalinya. Ruku’ dan sujud yang menentramkan. Biasanya setelah salat isya’ pasangan suami isteri itu…tiba-tiba tubuhku gemetar.
Ya Rabb, aku belum siap untuk itu.
“Sudah malam Nay. Sebaiknya kamu tidur.”
Suara mas Dirga membuyarkan lamunanku. Mas Dirga masih duduk takzim di atas sajadahnya.
“Aku akan tidur di bawah, kamu tidur saja di atas.”
“Tapi Mas, kita kan…” Aku menggigit bibir.
“Tidak apa-apa Nay. Aku tidak mau memaksamu jika kamu belum siap.”
Aku mengangguk, terima kasih Mas atas pengertianmu.
Malam pertama kami berlalu begitu saja. Tidak selazimnya pasangan suami isteri yang baru menikah. Aku tidur di atas kasur sedang Mas Dirga tidur di bawah beralaskan sajadah.
*******
“Kita mau ke mana Mas?” aku bertanya pada Mas Dirga yang sibuk mengemasi pakaian.
“Aku sudah membeli rumah untuk kita tempati Nay. Jadi kita tidak perlu tinggal bersama Bapak dan Ibu. Pakaianmu sudah semua Nay?”
 Aku mengangguk. Mengikuti langkah Mas Dirga. Berpamitan pada Bapak dan Ibu. Sampai pagi ini aku masih berusaha untuk menghadirkan rasa itu pada Mas Dirga, suamiku. Tapi itu tidak mudah. Bahkan teramat sulit. Sama sulitnya melupakan bayang-bayang Mas Aldi. Selama perjalanan kami tidak banyak bicara. Mas Dirga lebih sibuk menyetir dan sesekali menelpon orang entah siapa. Mobil yang dikemudikan Mas Dirga berhenti di depan sebuah rumah mungil dengan taman kecil di halaman rumahnya. Mawar. Taman kecil itu banyak sekali bunga mawar. Aku mendekat. Mencium harum bunga mawar yang sedang mekar.
“Aku sengaja membuat taman kecil ini. Agar jika merasa jenuh, sedih, atau kesepian kamu bisa memandangi mawar-mawar yang indah itu.”
Aku mengucap kata terima kasih lirih. Aku melangkah masuk ke rumah. Mengedarkan pandang. Ruang tamu, ruang makan, kamar tidur, kamar mandi. Semuanya sempurna. Sempurna mengingatkanku pada Mas Aldi. Rumah ini dan setiap detailnya.
Dulu sebelum hari pernikahanku dan Mas Aldi, Mas Aldi berjanji akan membeli rumah untuk kami tempati bersama. Dan membuatkan taman kecil untukku. Tapi kecelakaan malam itu merenggut semua kebahagiaanku. Tanpa ada sisa sedikitpun. Pernikahan kami batal. Padahal undangan sudah disebar. Catering, gaun pengantin, semuanya sia-sia. Mas Aldi menghembuskan nafas terakhirnya tepat di hari pernikahan kami. Di hari yang amat kami nantikan. Mas Aldi telah pergi untuk selamanya…
Sebulan berlalu dengan cepat. Aku mulai terbiasa melihat Mas Dirga saat berlari-lari kecil keluar dari kamar mandi, mendengar tawanya saat menonton komedi di TV, berteriak saat melihat kecoa, perhatian-perhatian yang mengesankan, tapi rasa itu belum juga menyentuh hatiku. Belum juga hadir di hatiku. Apakah begitu sulit untuk jatuh cinta?
Mas Dirga sosok suami yang baik, tak jarang mas Dirga menggantikan posisiku di dapur saat aku sedang lemas karena datang bulan. Tapi aku belum bisa membalas kebaikan itu dengan sepantasnya. Aku belum bisa membalas semua perhatiannya itu dengan sepantasnya.
******
Malam beranjak naik. Suara binatang malam meraung lirih di balik semak-semak. Jam di dinding menunjuk angka sepuluh. Aku menguap. Saatnya tidur.
“Mas, aku tidur duluan ya.” Aku berjalan gontai menuju kamar. Oh ya, aku tidur terpisah kamar dengan Mas Dirga. Itu juga ide Mas Dirga. Alasannya sama seperti saat malam pertama kami dulu, “Aku tidak mau memaksamu jika kamu belum siap.” Aku mengangguk, aku memang belum siap. Aku menutup pintu kamar dan sekejap terlelap.
Pukul dua dini hari, aku terbangun. Aku mendengar suara langkah kaki mendekati kamarku. Aku merapatkan selimut. Pintu kamarku terbuka. Ya Rabb,… langkah itu semakin dekat. Satu tangan membelai rambutku. Aku gemetar. Mas Dirga? Kaukah itu? Satu tangan yang lain menyibak selimutku. Aku terperanjat. Menahan tangis.
“Mas Dirga? Sedang apa Mas di sini?” Lidahku kelu.
Mas Dirga terkejut melihatku terbangun. Mengusap wajahnya. Panik.
“Sedang apa Mas di sini? Jawab mas?” Tanyaku setengah berteriak. Aku menjauh. Merapatkan selimut. Apakah aku harus berteriak? Tidak. Kami suami isteri jadi wajar jika Mas Dirga menemuiku. Tapi aku…
“Eh, a…aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja Nay. Itu saja.” Mas Dirga beranjak dan melangkah keluar kamar.
“Jangan lupa kunci pintunya Nay.” Suara Mas Dirga terdengar serak. Maafkan aku Mas…
Mataku tidak mampu lagi untuk terpejam. Aku hanya membolak-balik badan di atas kasur. Tidak benar-benar tidur. Pukul tiga. Lebih baik aku Salat Istikharah, pikirku. Aku keluar kamar, mengambil wudhu. Saat kembali ke kamar, aku mendengar suara Mas Dirga. Suara tangis Mas Dirga.
“Ya Rabb, ampuni hamba-Mu yang lemah ini. Aku sangat mencintainya ya Allah. Aku hanya ingin membuatnya bahagia…”
Aku mendekap mulutku. Air bening mengalir pelan dari pelupuk mataku. Mas Dirga… Aku kembali ke kamarku. Menggelar sajadah. Sujud bersimpuh di tengah dinginnya malam. Bermunajad pada Sang Maha Pencipta.
******
Hari minggu yang cerah. Matahari baru saja terbit dari ufuk timur. Menebar hangat pada dedaunan yang membeku. Aku bergabung dengan Mas Dirga di meja makan seusai mandi. Harum nasi goreng menggelitik hidungku. Tidak ada pembicaraan. Hanya denting sendok dan piring saling beradu yang terdengar. Canggung. Hfffhh, aku harus mengatakannya. Sekarang. Aku sudah memantapkan diri untuk mengatakannya. Aku berdehem. Mas Dirga menoleh, menghentikan gerakannya. Jantungku berdegup kencang. Aku harus mengatakannya sekarang.
“Mas…aku ingin…aku ingin kita cerai.”
Aku menatap Mas Dirga. Mas Dirga balik menatapku, tajam.
“Kamu bicara apa Nay?”
“Ya, aku ingin cerai.”
 “Tapi kenapa? Allah tidak menyukai perceraian, kau tahu itu kan?”
 “Aku tahu. Tapi aku sudah tidak tahan lagi dengan semua ini. Aku sudah tidak tahan dengan semua sandiwara ini.”
Mas Dirga tertunduk.
“Tidak Nay. Aku tidak akan melakukan itu. Aku tidak akan menceraikanmu.”
“Kenapa Mas? Mas Dirga berhak bahagia dengan orang yang Mas cintai bukan menyiksa diri dengan pernikahan ini. Sudah terlalu banyak luka yang aku buat di hati Mas Dirga. Aku tidak mau lagi. Sudah cukup Mas.”
Mas Dirga menghela nafas. “Apa karena kejadian semalam sehingga kamu meminta cerai dariku? Aku minta maaf jika itu membuatmu tidak nyaman.”
Aku menggeleng, “Aku yang seharusnya minta maaf Mas. Aku tidak bisa menjalankan tugasku sebagai seorang isteri yang melayani suaminya. Aku justru membuat suamiku menderita dan tersiksa.”
Mataku mulai berkaca-kaca.
Ya Rabb, jika memang perpisahan adalah yang terbaik, bantulah kami, mudahkanlah kami melaluinya ya Rabb.
Mas Dirga melangkah pergi. Tanpa berkata apapun. Aku menangis. Entah menangis karena bahagia atau justru sedih. Aku tidak tahu.
******
Waktu melesat cepat. Hari mulai gelap. Matahari mulai tumbang di kaki langit. Siluet senja terlihat cantik. Mas Dirga belum juga pulang. Berkali-kali aku menghubunginya tapi tidak ada jawaban. Kamu kemana mas? Aku gusar. Mungkinkah Mas Dirga frustasi lalu pergi ke diskotik? lalu mabuk-mabukan? atau nekat bunuh diri? Tidak mungkin Mas Dirga melakukan itu. Tidak mungkin. Kenapa sekarang aku malah bimbang? Bukankah ini yang aku inginkan? Berpisah dengan Mas Dirga. Mengakhiri semua sandiwara bodoh ini.
Langit malam tergelar sempurna menggantikan senja. Satu persatu bintang-bintang bermunculan. Bulan sedang purnama. Bulat yang sempurna. Pandanganku tertuju pada taman kecilku. Mawar berayun pelan ditiup angin. Batang tubuhnya bergoyang-goyang seperti seorang penari. Aku teringat kalimat mas Dirga,“Aku sengaja membuat taman kecil ini. Agar jika merasa jenuh, sedih, atau kesepian kamu bisa memandangi mawar-mawar yang indah itu.” Aku masih berusaha menghubungi Mas Dirga. Tetap nihil. Operator telpon yang menjawab panggilanku. Aku mencoba menghubungi Lila, adik Mas Dirga. Mungkin saja dia tahu di mana Mas Dirga.
“Mas Dirga nggak ke rumah kok mbak. Mbak ada masalah ya?” Tanya Lila dengan polosnya.
“Tidak, Mbak dan Mas Dirga baik-baik saja. Mbak minta jangan katakan hal ini ke Ibu dan Bapak ya La. Nanti mereka khawatir. Ya?”
 “Iya mbak. Lila janji. Tapi Mbak dan Mas Dirga benar baik-baik saja kan?”
Aku menghela nafas, “Kami baik-baik saja. Sampaikan salam Mbak untuk Bapak dan Ibu ya La.” Aku menutup telpon setelah mengucapkan salam.
Pukul delapan malam. Aku masih menunggu Mas Dirga di ruang tamu. Mondar-mandir. Menyibak korden dengan resah. Berharap melihat bayang tubuh Mas Dirga di bawah cahaya lampu jalan. Pukul sembilan. Aku mulai mengantuk. Sesekali menguap. Tidak. Aku tidak boleh tidur. Pukul sepuluh. Aku sudah tidak tahan. Aku pun tertidur.
Cahaya terang menyilaukan. Aku terkerjap-kerjap. Menyipitkan mata. Sesosok tubuh berdiri di depanku. Ia mengenakan pakaian serba putih. Seperti…Mas Aldi? Benarkah itu Mas Aldi? Aku mendekat. Memanggil nama Mas Aldi. Orang itu membalik badan. Tersenyum padaku. Senyum yang aku rindukan. Mataku berkaca-kaca. Sekejap pipiku telah basah oleh airmata.
“Aku merindukanmu Mas.”
Mas Aldi hanya mengangguk. Menghapus airmataku. Seseorang memanggilku. Semakin lama suara itu semakin dekat. Itu suara Mas Dirga.
“Pergilah Nay. Lanjutkan hidupmu. Kau berhak bahagia dengan orang yang kau cintai. Pergilah Nay.”
Aku menggeleng. Tidak. Kamulah orang yang aku cintai Mas. Hanya kamu.
“Tidak Nay. Pergilah. Temui Dirga. Dia mencintaimu Nay. Tulus mencintaimu.”
Mas Aldi melangkah meninggalkanku. Mengabaikan aku yang terus memanggilnya.
“Mas Aldi, Mas Aldi, Mas…”
Aku terbangun. Astaghfirullah. Mimpi. Aku melirik jam. Pukul 04.30. Suara Adzan subuh menggema syahdu. Aku bangkit, mengambil air wudhu. Menggelar sajadah. Melaksanakan salat subuh sendiri.
******
Ragu-ragu aku melangkah ke dalam kamar Mas Dirga. Kamar itu kosong. Mataku tertuju pada deretan foto yang tertempel di almari pakaian milik Mas Dirga. Foto-foto Mas Dirga bersama Mas Aldi, foto pernikahan kami, dan selebihnya adalah foto-fotoku? Fotoku saat memandangi siluet langit senja, fotoku saat memasak di dapur, fotoku saat sedang tidur. Sejak kapan Mas Dirga mengumpulkan foto-foto ini? Aku membuka lemari. Tidak ada yang istimewa. Hanya berisi pakaian Mas Dirga. Tunggu. Aku melihat sebuah buku terselip di bawah tumpukan pakaian Mas Dirga. Aku mengambil dan membukanya.
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aldi memintaku menjaga Nayla. Orang yang sangat dia cintai. Aku hanya bisa mengangguk dan berjanji untuk menjaganya. Demi Aldi, sahabatku.
Hari pernikahanku dengan Nayla. Wajah itu murung. Apakah dia bahagia? Aku tidak tahu. Semula alasanku menikahi Nayla karena janjiku kepada Aldi. Aku ingin menunaikan janji itu. Tapi saat janji suci itu terucapkan, aku benar-benar jatuh cinta. Aku benar-benar mencintainya. Aku mencintai Nayla. Bunga-bunga cinta itu bermekaran memenuhi hatiku.
Aku mendekap mulut. Dadaku terasa sesak.
Malam pertama pernikahan kami. Lega rasanya. Nayla telah resmi menjadi isteriku yang sah. Salat isya’ berjama’ah. Ini kebersamaan kami yang pertama. Aku bahagia sekali. Tapi malam pertama itu terasa menyesakkan. Kami tidak tidur bersama. Aku tidak mau memaksa Nayla. Aku tahu dia belum siap. Jika aku memaksa tidur bersamanya, aku takut dia berteriak jika tanpa sengaja aku menyentuhnya. Lebih baik aku tidur di bawah. Biarlah, tidak apa-apa.    Selamat malam bidadariku…
Aku mengajak Nayla pindah ke rumah baru kami. Aku senang Nayla menyukainya. Melihat wajahnya yang damai saat mencium kuncup-kuncup mawar. Aku sengaja membuat taman itu. Aldi dulu pernah bilang kalau Nayla ingin punya taman bunga kecil di depan rumah. Dan aku ingin mewujudkan keinginannya itu. Semoga kamu menyukainya Naylaku sayang.
Aku hampir membuat Naylaku menangis. Entah apa yang merasukiku. Aku tidak bisa menahan diri. Aku mengendap-endap masuk ke dalam kamar Nayla. Aku semakin kalap saat melihat wajah Nayla yang tertidur pulas. Wajahnya terlihat sangat cantik saat tidur. Aku benar-benar hilang kendali. Tiba-tiba Nayla terbangun. Wajahnya ketakutan. Apa yang telah aku lakukan? Aku bisa saja memaksanya. Aku berhak untuk itu. Kami suami isteri yang sah. Tapi melihat wajahnya yang ketakutan aku tidak tega. Bagaimana mungkin aku akan melakukannya jika itu akan menyakiti hatinya? Maafkan aku Nayla... Aku terlalu mencintaimu. Aku tidak mau kehilanganmu.
Airmataku pecah. Membasahi seluruh hatiku. Bahuku bergetar. Aku menggenggam erat buku harian Mas Dirga.
“Assalamu’alaikum.”
Seseorang mengucapkan salam. Aku tertegun. Mas Dirga. Aku keluar kamar. Menghapus sisa air mataku. Buku harian Mas Dirga masih lekat di tanganku.
“Wa’alaikum salam.”
Mas Dirga, wajahnya lesu, letih, muram, tidak ada lagi senyum hangat yang setiap hari aku lihat. Aku menghambur memeluk Mas Dirga. Aku sesenggukan dalam pelukannya.
Ya Rabb, maafkan aku. Aku telah mengabaikan kasih yang Kau hadirkan dalam diri Mas Dirga.
Mas Dirga memandangku. Aku menunjukkan buku harian miliknya.
“Kamu membacanya Nay?”
Aku mengangguk. Menghapus ingus yang keluar dari hidungku.
“Aku memang mencintaimu Nayla. Sangat mencintaimu. Tapi aku juga tahu kalau kamu masih dan akan selalu mencintai Aldi. Mungkin dulu aku terlalu cepat mengambil keputusan untuk melamarmu sehingga kamu merasa terkekang dengan pernikahan ini.”
Mas Dirga menatapku. Tatapan itu kosong.
“Lalu?” Aku menggigit bibir.
“Aku tidak akan memaksamu untuk melanjutkan pernikahan ini.”
Mas Dirga melangkah menuju kamar. Aku mencegah.
“Mas…maaf karena Nayla pernah meminta cerai dari Mas. Apakah… apakah Mas Dirga memaafkan Nayla? Memaafkan kalimat Nayla?”
Aku tertunduk. Tidak berani menatap mata Mas Dirga.
“Maksudmu apa Nay?”
Aku menegakkan kepala. “Aku…aku tidak mau berpisah dengan Mas Dirga. Aku tidak mau lagi berpisah dengan orang yang aku cintai.”
Mas Dirga mendekat dan memelukku. Erat sekali.
“Aku tidak akan meninggalkanmu Nayla. Tidak akan.”
“Mas, Nayla punya satu permintaan. Apakah Mas mau melakukannya?”
“Apapun Nay, aku akan melakukannya. Kamu ingin aku menyeberangi samudera? Mendaki gunung tertinggi? Atau menyelam ke lautan terdalam? Aku akan melakukannya.”
Mas Dirga tersenyum jahil, menatapku mesra. Membuat pipiku bersemu merah.
“Nayla ingin Mas Dirga tetap mencintai Nayla.”
Mas Dirga memegang bahuku.
“Aku akan mencintaimu Nayla. Selalu. Karena kamu adalah bidadariku Nayla.”
Tersipu. Aku menghambur memeluk mas Dirga.
Ya Rabb, sesuatu tumbuh di dalam hatiku. Tunas kecil yang tumbuh cepat dan berubah menjadi bunga-bunga yang merekah indah. Bunga-bunga cinta. Berwarna-warni memenuhi taman hatiku. Harum wanginya abadi.
Ingin rasanya aku menghentikan waktu. Ingin tetap seperti ini. Menatap mata kekasihku, Mas Dirga. Tatapan cinta yang sempat terabaikan. Tatapan cinta tulus Mas Dirga. Dan merengkuh nikmatnya cinta dalam peluknya, selamanya…
~ 0 ~
Kudus, 18 Mei 2014