Kamis, 13 November 2014

Catatan : Pengajaran Buah Mangga

Pengajaran Buah Mangga





Tahu buah mangga kan? *toleh kanan kiri. Syukur deh kalau semuanya mengangguk. Berarti memang semua orang tahu buah mangga. Ok. Selanjutnya. Bagaimana sih rasa buah mangga? *toleh kanan kiri lagi. Ya, benar. Yang matang pasti manis dan yang belum masak tentu saja asam. Semua orang juga tahu kaleee. Pakai nanya lagi. Hehehe, woles Bro!
Kali ini aku tidak akan berbicara tentang mangganya. Nah lho? Kok tadi nanya rasa mangga dll? Maksudnya apa? Ok ok. Tenang dulu. Be calm ya.
Semua orang pasti sudah tahu buah mangga dan banyak yang sudah mencicipi buah mangga. Tapi pernah kita berpikir bagaimana buah mangga itu bisa sampai di tangan kita? Kita bisa mencicipi manisnya buah mangga itu? Mau tahu? Mau tahu aja atau mau tahu banget? Yang pengen tahu banget silakan lanjutkan membaca. Yang mau tahu aja juga boleh ikut lanjut baca. :)
Kita pasti sering tiba-tiba kepingin banget makan buah. Misalkan saja buah mangga. Mungkin karena buah mangga adalah salah satu buah yang mudah didapat dan juga harganya terjangkau.
Ketika keinginan untuk makan mangga itu muncul, apa sih yang biasa dilakukan?
Pertama, kalau kita punya pohon mangga sendiri sih kita bisa petik langsung dari pohonnya. Kalau kita tidak punya pohon mangga, jalan keluarnya ya … beli. Untuk beli pun kita harus punya uang. Untuk punya uang pun kita harus bekerja. Panjang amat ya alurnya.
Kalau memetik sendiri. Kita pasti memilih buah mangga mana yang sudah masak. Mengamati buahnya agar tidak salah mengambil buah yang belum masak.
Kalau beli. Kita juga harus pintar memilih. Mana buah yang masih segar dan mana buah yang hampir busuk. Terkadang kita pun harus menawar buah yang kita inginkan dengan penjual lantaran harga yang ditawarkan terlalu tinggi menurut kita. Setelah harganya sudah sepakat, buah mangga yang diinginkan pun bisa dibawa pulang.
Setelah dapat buahnya, lalu ngapain???
Ya cuci dan dikupas lah.
Yaps, benul eh betul sekali. Sebelum dikupas, sebaiknya buah mangga itu dicuci sampai bersih. Karena mungkin masih ada pestisida atau sisa getah buah yang menempel di bagian kulit luarnya.
Setelah itu barulah di kupas kulitnya. Tahu dan bisa mengupas kulit buah mangga kan? Toleh kanan kiri lagi. Lama-lama pegel juga leherku kalau tolah-toleh terus.
Langkah selanjutnya ialah memotong daging buah. Kalau yang ini sih macam-macam. Sesuai selera masing-masing aja ya. Tapi ingat untuk selalu berhati-hati saat mengupas dan memotong daging buah. Keasyikan mengupas eh tanpa sengaja si pisau mengiris kulit tangan juga. Tes tes tes. Darah bercucuran deh. Jadi harus hati-hati dan pelan-pelan saja kalau mengupas kulitnya. Tidak usah terburu-terburu. Si mangganya juga nggak akan ke mana-mana. Sudah pasrah dia. >,<
Setelah selesai barulah kita bisa menikmati manisnya buah mangga.
Selamat makanan ^0^
Eits, jangan lupa baca doanya ya …
Wan Kawan, sadar nggak sih kalau kita baru aja belajar tentang kesabaran. Pasti tidak sadar ya. Hehehe … Wah, berarti tadi pada pingsan semua dong. Hadeuuuh *tepuk jidat
Ok aku jelasin ya. Keinginan kita untuk makan buah mangga ibarat kita menginginkan sesuatu. Kita punya impian. Nah, ketika kita punya impian kita akan berusaha mencari cara untuk mewujudkan impian kita itu. Memikirkan langkah-langkah yang harus diambil untuk sampai pada puncak impian kita. Istilahnya kita butuh buku panduan. Setelah kita mendapatkan buku panduan itu barulah kita akan mulai bergerak.
Setiap pencapaian pasti akan bertemu dengan halangan, hambatan, badai dan lainnya seperti ketika kita beli atau memetik sendiri buah mangga tadi. Ketika beli, bisa jadi buah mangga yang kita pilih jelek atau harganya terlalu tinggi sehingga kita harus menawar yang cukup menguras tenaga. Ketika memetik sendiri, bisa jadi buahnya berulat atau malah kita yang diserang ulat karena dikira sedang merebut jatah makan mereka. :D
Jika kita yakin, kita pasti bisa mengalahkan semua hambatan itu. Kita pasti bisa mewujudkan impian kita itu. Kita hanya harus yakin dan bekerja keras maka impian kita pasti akan segera menjadi nyata. Jadi tidak perlu lagi putus asa. Terus berjuang, Ok?!
Setelah dapat buah ‘impian’nya, lalu bagaimana?
Kita sudah dapat apa yang kita inginkan, tapi itu belum akhir dari semuanya. Masih banyak yang  harus dilakukan. Mengupas buah ‘impian’ itu agar kita dapat merasakan manisnya.
Mengembangkan impian kita. Dengan hati-hati agar kita tidak ‘berdarah’ dan terluka. Terus belajar, selalu rendah hati, saling berbagi dengan sesama. Ingatlah, di atas langit masih ada langit. Di atas kita masih ada banyak orang yang jauh lebih baik dari kita. Jadi kita tidak boleh sombong.
Kunci sukses seseorang dalam membangun usaha itu ada tiga. Yaitu, kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas. 
Untuk mendapatkan sesuatu itu butuh proses yang memakan banyak waktu, tenaga dan juga pikiran. Kesuksesan tidak akan bisa diraih dengan cara instan. Memangnya mie instan. Ups, malah promo. Hehehe …
So, tunggu apalagi. Tentukan impianmu dan segera wujudkan !!!


Kudus, 13 November 2014

Rabu, 12 November 2014

Fiksi : Pengganggu Kecil


Pengganggu Kecil

Aku heran padamu. Kau, gadis kecil yang sebenarnya cukup manis tapi kenapa kau sangat menyebalkan?!!!
Kau selalu saja jahil dan mengganggu teman-temanmu. Seperti sekarang. Rico yang sedang belajar membaca kau ganggu juga.
Aku berusaha memintamu untuk pergi. Menjauh. Agar Rico, temanmu bisa membaca. Tapi kau hanya tersenyum penuh arti. Aku hanya geleng kepala. Apa sih maumu?
Kau, seenaknya mengikuti ucapanku dan Rico membaca deretan kata bahkan beberapa kali kau iseng mengucapkan kata yang salah. Membuat Rico ikut salah juga. Kau, benar-benar penjebak kecil!
Pikiran gila tentang sikapmu tiba-tiba muncul. Mungkin kau memang sengaja mengganggu teman-temanmu. Kau yang belum bisa seperti mereka, ingin agar mereka juga sama tidak bisa sepertimu. Supaya kau punya teman. Supaya kau tidak sendirian dalam ketidak bisaanmu itu. Hmm, mungkinkah ini benar?
Di balik keceriaan, kejahilan dan sifat mengganggumu itu aku melihat sesuatu yang lain. Sesuatu yang kau sembunyikan di matamu. Entah aku yang memang perasa atau kau memang sangat pintar menyembunyikannya.
Aku melihat kesedihan dan kesepian di mata kecilmu. Kau hanya ingin diperhatikan. Karena itulah kau selalu mengganggu. Agar semua orang memperhatikanmu.
Melihat wajah polosmu aku teringat seseorang. Seseorang dengan wajah polos sepertimu. Bedanya dia tidak jahil sepertimu. Dia lebih pendiam. Tenang. Sunyi. Bahkan kau tidak akan tahu apa yang dirasakan olehnya. Karena dia selalu menyembunyikan perasaannya.
Ketika menangis, kau akan bingung. Itu air mata kesedihan atau justru air mata yang mewakili kebahagiaannya.
Ketika tersenyum, kau akan bimbang. Apakah dia tersenyum karena bahagia atau karena rasa sakit yang dia rasakan.
Kukatakan sekali lagi. Kau tidak akan tahu. Tapi aku lain. Aku sangat mengenalnya. Jangan bertanya bagaimana aku mengenalnya. Mungkin ini adalah keberuntungan yang diberikan Tuhan padaku. Mengenal dia dan menceritakan sedikit kisahnya padamu.
Hingga saat ini pun aku masih belajar darinya. Tentang kehidupannya yang rumit dan menyesakkan. Meski begitu, dia gadis yang kuat. Meski dia lemah, dia tidak pantang menyerah.
Tirulah dia. Meski kalian berdua berbeda setidaknya kau bisa menjadi
seseorang yang lebih baik. Tidak harus sama dengannya. Jika kau melakukan itu sama saja kau menjadi bayangannya. Ambil saja sifat baiknya. Tiru dan terapkan dalam keseharianmu. Aku yakin kau pasti akan heran dengan perubahan dalam dirimu nanti.
Be better person itu menyenangkan. Tidak percaya? Tentu saja kau tidak percaya. Kau saja belum mencoba. Cobalah.
Tidak. Aku tidak memaksa. Untuk apa? Tidak ada untungnya juga kan? Aku hanya ingin membantu. Semua terserah padamu. Silakan pilih.

Kudus, 31 Oktober 2014

  


Catatan Hari Kamis

Catatan Hari Kamis

Kenapakah kelemahan dan kekurangan orang itu dipermasalahkan? Apakah itu salah?
 Tidak ada manusia yang sempurna di dunia meskipun manusia diciptakan Tuhan dalam bentuk paling sempurna namun pada kenyataannya tetap ada kekurangan dan kelebihan dalam diri seseorang.
Kenapa tidak fokus saja pada kelebihan orang? Mengabaikan saja kelemahan orang itu. Kau, aku dan mereka sama di mata Tuhan yang membedakan hanyalah ketaqwaan pada-Nya.
 Jangan pernah mengatakan kalau dia atau mereka itu buruk karena bisa jadi dia atau mereka yang kita tuduh itu lebih baik. Untuk apa sih membicarakan kejelekan orang? Apakah dengan mengatakan kejelekan orang dosa kita akan berkurang? Bukannya malah bertambah ya? Lalu kenapa diteruskan?
Aku tidak bermaksud untuk menasehati. Aku hanya ingin mengingatkan. Bukankah memang seharusnya begitu? Saling mengingatkan dalam kebaikan.
Ingatlah, ada malaikat yang setia mendampingimu. Mereka tidak hanya menemanimu saja tapi juga mencatat semua amal yang kau kerjakan. Entah itu amal baik atau amal buruk.
Mereka sangat teliti dan taat pada Tuhannya jadi tidak akan mungkin kau menyogoknya. Mereka bukan pejabat yang bisa dengan mudah kau sogok dengan beberapa lembar uang. Mereka malaikat. Kukatakan, mereka adalah malaikat yang ditugaskan khusus untuk mendampingimu, manusia keras kepala.
Tugas manusia di dunia hanyalah beribadah kepada Tuhan. Kau, aku dan juga mereka. Tugas kita sama. Sudahlah, jangan terus kau fikirkan dunia. Dunia tidak apa-apa dan tidak akan ke mana-mana. Tidak perlu kau fikirkan terus. Kalau dunia terus kau fikirkan kapan kau akan memikirkan akhiratmu??!


Kudus, 06 November 2014

Senin, 10 November 2014

Cerpen : Pelangi untuk Raisa



Pelangi untuk Raisa
Oleh : Nuril Islam

"Bagaimana dok? Putri saya sakit apa?" seorang lelaki berkaca mata bertanya pada sang dokter. Wajahnya terlihat tegang.
"Berdasarkan tes yang telah dilakukan putri Anda, putri Anda positif mengidap leukimia," tutur sang dokter.
Lelaki berkaca mata itu tertunduk lesu setelah mendengar jawaban dari dokter. Matanya mengembun dan pandangannya kabur. Dia benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Putri kesayangannya terkena leukimia.
"Yang sabar Pak." Sang dokter berusaha menenangkan.
Percuma. Lelaki berkaca mata itu terlanjur menangis. Tersedu dalam penyesalan.
****** $ ******
"Perhatian, anak-anak. Hari ini kita kedatangan teman baru. Namanya Raisa. Siswi pindahan dari kota. Ibu minta kalian bersikap baik padanya dan menjalin persahabatan dengan Raisa. Mengerti semua?" tanya sang guru. Memandang seluruh penghuni kelas.
"Mengerti, Bu." Semua siswa menjawab bersamaan.
"Nah, Raisa sekarang kamu bisa duduk."
Gadis berjilbab itu mengangguk. Berjalan pelan menuju satu-satunya bangku yang kosong di kelas itu.
"Hai, aku Raisa. Kamu?" Raisa mengulurkan tangan. Mengajak berkenalan seseorang yang duduk di sebelahnya.
Hampir dua menit Raisa mengulurkan tangannya namun orang disebelahnya itu tetap tidak merespon, justru terlihat cuek dan mungkin malah terganggu dengan kehadiran Raisa di sebelahnya. Akhirnya Raisa menarik kembali tangannya sambil manyun. Huh menyebalkan, gerutu Raisa dalam hati.
Raisa tipikal orang yang mudah bergaul jadi tidak heran jika dia mudah akrab dengan semua teman sekelasnya, kecuali dengan makhluk cuek yang di duduk sebelahnya.
"Oh dia, namanya Agam. Dia memang pendiam dan cenderung cuek. Jadi kamu nggak perlu ambil pusing sama sikapnya. Meskipun aneh sebenarnya dia baik kok," terang Winda, wajahnya berbinar mengikuti gerak tangan Bu kantin yang meletakkan sepiring bakwan goreng ke meja mereka. Sekejap sepiring bakwan goreng itu telah berpindah ke dalam perut Winda.
Saat itu Raisa, Winda dan Sisil sedang menikmati menu makan siang mereka di kantin
sekolah. Tidak sengaja Raisa melihat bayangan tubuh makhluk cuek itu dan karena penasaran
Raisa bertanya pada Winda.
"Dia anak rohis lho, Sa. Ketua rohis malah." Sisil menyahuti. Merapikan jilbabnya yang mencang-mencong.
"Dia itu berwibawa, tegas, baik dan ramah. Idaman banget deh pokoknya," tambah Sisil.
Raisa menyruput habis es teh miliknya. Berfikir.
Dia baik, ramah, dan apa tadi Sisil bilang? Berwibawa? Makhluk cuek itu? Oh, aku rasa tidak. Raisa menggeleng. Berbicara pada dirinya sendiri. Winda dan Sisil sedang asyik dengan makanan mereka sehingga mereka tidak menyadari sikap aneh Raisa itu.
****** $ ******
Senin pagi yang cerah. Raisa tengah bersiap untuk berangkat sekolah. Diraihnya tas sekolahnya. Namun langkah Raisa tiba-tiba terhenti. Ekor matanya menatap bayangan wajahnya di cermin. Setetes cairan merah meleleh dari hidungnya. Raisa tergeragap. Mencari tissue dan segera menghapus noda merah itu. Raisa tidak ingin Ayahnya tahu.
Pukul setengah tujuh Raisa sudah sampai ke sekolah. Raisa tersenyum. Mencium punggung tangan Ayahnya sebelum turun dari mobil.
"Raisa masuk ya Yah. Ayah hati-hati di jalan. Jangan ngebut." Raisa terkekeh.
"Iya. Kamu juga. Belajar yang rajin dan jangan capek-capek. Nanti pulang sekolah Ayah jemput."
Raisa mengangguk. Turun dari mobil. Melambai pada Ayahnya.
"Da, Yah."
Saat melangkah menuju kelas Raisa melihat si makhluk cuek, Agam dan Sisil sedang menempelkan sesuatu di mading sekolah.
"Mereka sedang apa ya?"
Penasaran Raisa mempercepat langkahnya.
"Apa itu, Sil?" tanyanya setelah berdiri di samping Sisil. Agam sudah berlalu dari tempat mading.
"Eh, Raisa. Ini lho. Anak-anak rohis mau mengadakan bakti sosial. Kami membuka pendaftaran untuk murid-murid yang ingin ikut. Makin banyak orang kan makin seru. Ya nggak, Sa?"
Raisa hanya mengangguk. Mata lentiknya terus menatap dan membaca pengumuman
yang baru ditempelkan Sisil itu. Raisa tertegun dengan tulisan di bagian paling bawah pengumuman itu.
"Setiap siswa yang ingin ikut, diwajibkan untuk membuat surat pernyataan persetujuan
dari orang tua masing-masing."
Surat pernyataan orang tua? Ah, Ayah pasti tidak akan mengizinkan. Tapi aku ingin ikut. Hm, bagaimana ya caranya?
Raisa sibuk berfikir. Mencari cara agar Ayahnya memberikannya izin untuk mengikuti bakti sosial itu. Saat itulah dari arah belakang, Winda berjalan mengendap-endap. Dia ingin mengejutkan kedua sahabatnya, Sisil dan Raisa.
"DOR!!!" seru Winda.
Seketika Raisa dan Sisil melonjak kaget. Raisa bahkan sampai merasa sangat pusing setelah dikagetkan oleh Winda. Hampir saja rubuh.
"Kamu sih, Wind. Jahil banget sih. Lihatkan sekarang. Kamu nggak apa-apa, Sa?" Sisil merangkul pundak Raisa. Untunglah Sisil sigap kalau tidak mungkin Raisa sudah terjatuh ke lantai.
"E … E … Aku nggak sengaja. Aku nggak bermaksud untuk …"
"Sudahlah, Wind. Aku nggak apa-apa kok." Raisa menyentuh punggung tangan sahabatnya itu. Tersenyum tipis. Wajah Raisa pucat dan keringat dingin meleleh dari balik jilbabnya.
Bel masuk berbunyi. Raisa pun akhirnya dipapah ke ruang UKS.
Saat bel istirahat, Winda dan Sisil meluncur ke ruang UKS. Memastikan kondisi Raisa. Di tengah jalan, mereka berpapasan dengan Agam.
"Kebetulan kamu di sini, Sil. Aku minta tolong …"
"Eh, Gam. Minta tolongnya ntar aja ya. Aku lagi buru-buru nih," potong Sisil.
Dahi Agam berkerut. Memandangi Winda dan Sisil bergantian.
"Sekarang Raisa ada di UKS. Nah, kami berdua mau menjenguk dia. Gitu lho Gam," jelas Winda.
"Memangnya Raisa kenapa? Pantas saja tadi tidak ada di kelas."
"Entahlah. Tadi pagi tiba-tiba saja Raisa pusing. Sudah dulu ya. Keburu bel masuk nih. Assalamu'alaikum,"  ucap Sisil sambil menarik tangan Winda menjauh dari Agam.
Sedangkan di ruang UKS Raisa tengah menangis. Meratapi nasib hidupnya. Dia merasa hidupnya itu tidak berguna. Dia hanya menyusahkan Ayah dan teman-temannya. Karena penyakit yang dia derita, dia tidak pernah punya teman. Dia tidak pernah bisa pergi hangout, belajar bareng, berlibur dan hal menyenangkan lainnya. Setiap hari sepulang sekolah, Raisa harus di rumah. Belajar sendiri, membaca buku, bermain gitar, minum obat, chek up. Begitu-begitu saja hidupnya. Raisa menghela napas. Ketika itu pintu ruang UKS diketuk dan muncullah Winda dan Sisil.
Mungkin merekalah yang aku punya sekarang, batin Raisa. Air matanya meleleh.
"Lho, Sa. Kamu kok nangis? Kenapa? Kamu masih pusing?" tanya Sisil cemas. Sisil dan Winda setengah berlari ke samping ranjang Raisa.
"Nggak kok. Aku cuma terharu saja. Karena kalian mau menjenguk aku."
Mereka bertiga pun berpelukan.
"Kami akan selalu menemanimu, Sa. Kita kan sahabat," ucap Winda.
Satu bayangan mengamati mereka dari balik jendela UKS.
****** $ ******
Hari bakti sosial itu pun tiba. Raisa bisa bernapas lega karena akhirnya dia berhasil membujuk Ayahnya untuk menandatangani surat pernyataan itu. Tapi Raisa tidak akan lupa pada pesan Ayah padanya.
"Jangan telat makan. Jangan capek-capek dan bla bla bla" yang hanya dijawab Raisa dengan anggukan kepala.
Pukul 06.30 pagi, para anggota rohis dan siswa relawan berkumpul di sekolah. Pukul tujuh tepat mereka berangkat menggunakan bis sewaan.
Selama perjalanan itu Raisa memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Memandangi pemandangan dari luar jendela. Bercanda dengan kedua sahabatnya bahkan Raisa tidak sungkan untuk bernyanyi diiringi petikan gitar dari jari lentiknya.
Agam termangu memandangi Raisa. Matanya terus menatap Raisa yang tertawa lebar bersama teman-teman yang lain.
"Woi, Bro!!!" Satyo yang duduk di sebelah Agam menepuk bahu Agam cukup keras. Karena ditepuk begitu Agam meringis dan mendelik pada Satyo.
"Ngeliatin siapa sih? Ah, aku tahu. Lo ngeliatin si Raisa ya, Gam. Cie cie …"
Agam berusaha mengelak pernyataan Satyo itu namun entah kenapa hatinya seakan membenarkannya. Apa aku memang …? Cepat Agam menepisnya dan balik menatap Satyo lebih garang. Satyo mengkerut.
"Eh, Gam. Tapi kalau dilihat-lihat Raisa cantik juga lho. Hehehe …"
Agam menimpuk Satyo dengan buku bacaan di tangannya. Satyo meringis dan kemudian tidak bersuara lagi.
Menjelang magrib, acara bakti sosial itu baru selesai. Agam dan yang lain mampir ke sebuah mushola kecil yang tidak jauh dari tempat mereka melakukan bakti sosial.
"Karena sudah mau masuk waktu salat magrib, untuk itu kita salat dulu di sini baru
setelah itu kita melanjutkan perjalanan. Yang laki-laki bisa mengikuti saya, yang perempuan bisa mengikuti rekanita Desi." Agam mengajak rombongan laki-laki mengambil wudhu.
Khusyuk mereka mendirikan salat magrib. Salat berjama'ah itu diimami oleh seorang
pemuka desa yang sudah sepuh. Meski begitu, bacaannya sangat tartil dan menyejukkan hati. Raisa bahkan sampai menangis dalam salatnya.
"Aduh, Wind. Sil. Kepalaku pusing banget. Aduh …" Raisa meraba tubuh siapapun untuk berpegangan. Menjatuhkan mukena yang tadi dikenakannya. Jamaah putri pun mengerubuni Raisa yang tiba-tiba jatuh tersungkur dengan hidung yang mengeluarkan darah.
"Sa, hidungmu berdarah. Sil, gimana nih?" Winda membaringkan tubuh Raisa dalam pangkuannya dan menghapus cairan merah yang terus keluar.
Mata Raisa berkedip-kedip, mencoba tetap membuka matanya. Patah-patah Raisa menggelengkan kepalanya, "Tidak apa-apa. Ini cuma mimisan biasa kok."
Sisil mengeluarkan tissue dari sakunya dan membersihkan bekas merah di hidung Raisa. Memang dasar Winda yang heboh, dia pun berteriak keras membuat jamaah laki-laki terganggu.
"Ada apa sih, Wind? Ini mushola jadi jaga mulutmu itu. Bicara pelan saja kenapa?!" Teo memarahi Winda. Dia tidak melihat Raisa yang setengah pingsan dalam pangkuan Winda.
"Kau tidak lihat. Nih! Raisa pingsan. Kamu cepet panggil Agam. Cepet!" Perintah Winda.
Sedetik Teo melihat sosok tubuh yang terbaring lemah di pangkuan Winda. Tanpa disuruh dua kali, Teo segera memanggil Agam. Akhirnya, Agam dan dibantu seorang teman mengangat tubuh Raisa ke atas bis.
"Kita langsung ke rumah sakit saja Pak," pinta Agam pada Pak Sopir.
Raisa menarik lengang baju Agam. Menggelengkan kepalanya. Cairan merah itu kembali menetes. Meninggalkan noda di jilbab Raisa.
"Tidak, Sa. Kamu harus ke rumah sakit. Sekalipun kau menolak, aku akan tetap membawamu ke rumah sakit. Ini kedua kalinya kau seperti ini kan? Lalu kenapa kau biarkan? Kau tidak sayang pada tubuhmu?" Agam berkata dengan suara tinggi. Membuat semua penghuni bis terbungkam. Winda dan Sisil pun mengangguk, setuju dengan Agam.  
Raisa mendesah pasrah. Raisa tidak menyangka, makhluk cuek seperti Agam ternyata perhatian padanya.
Berita tentang Raisa yang pingsan itu pun sampai pada Ayah Raisa. Ayah Raisa yang memang sejak awal tidak setuju dengan permintaan Raisa itu hanya bisa menyesali keputusannya yang mengizinkan Raisa pergi. Segera Ayah Raisa meluncur menuju rumah sakit tempat Raisa di rawat.
Air mata itu tidak sanggup dibendung. Deras mengalir di pipi tegas Ayah Raisa. Membuat kaca mata Ayah Raisa basah. Lembut Raisa menghapusnya. Tersenyum menenangkan hati Ayahnya.
"Ayah sudah menduga hal ini. Ayah takut kehilangan kamu, sayang." Ayah Raisa membelai rambut Raisa yang tergerai.
"Raisa hanya ingin merasakan sesuatu yang baru, Ayah. Raisa ingin memanfaatkan waktu hidup Raisa yang tidak lama ini untuk hal-hal baik sebelum ajal menjemput Raisa. Ayah selalu bilang kan, kalau kita harus berbuat baik pada orang lain. Dengan begitu barulah kita menjadi orang yang bermanfaat."
Ayah Raisa akhirnya tersenyum, mengangguk.
Setiap hari, ruang rawat Raisa tidak pernah sepi. Selalu saja ada yang menjenguk. Rekan kerja Ayah Raisa, tetangga, teman sekelas, teman bakti sosial dan masih banyak lagi. Winda dan Sisil menjadi pengunjung rutin rumah sakit. Agam pun tiba-tiba menjadi sangat rajin menjenguk Raisa. Membawakan buah, boneka, buku dan entah apalagi. Raisa sampai heran dengan perubahan Agam yang mendadak itu.
"Kenapa kau merahasiakan penyakitmu dari kami, Sa?" tanya Agam. Raisa dan Agam tengah berbincang di taman rumah sakit. Menghirup udara sore. Raisa sudah diizinkan keluar ruangan oleh dokter tapi belum diizinkan pulang.
"Untuk apa? Aku tidak ingin membebani orang lain dengan penyakitku." Raisa membelai bulu boneka teddy, pemberian Agam.
"Justru dengan tidak mengatakannya, kau membebani orang lain. Kalau sejak awal aku tahu kau sakit …" Agam menelah ludah sebelum melanjutkan kalimatnya, "Pasti aku tidak akan mengizinkanmu untuk ikut acara bakti sosial itu." Agam menatap Raisa tajam. Rasa marah, sedih dan menyesal menumpuk di sudut matanya.
 Raisa mengalihkan pandangannya dari boneka teddy yang dipangkunya. Menyeringai pada Agam.
"Apakah seorang pesakitan sepertiku tidak boleh mendapatkan kebebasan?! Bertahun-tahun aku terkurung di dalam rumah. Tidak boleh mengikuti kegiatan apapun. Aku jenuh. Aku ingin sesuatu yang baru. Aku tahu kalau hidupku tidak lama lagi. Aku sadar jika ajal akan segera menjemputku . Karena itulah, Gam sebelum semua itu terjadi, sebelum aku pergi untuk selamanya aku ingin melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk orang lain walaupun hanya hal kecil."
Mata Raisa berkaca. Namun Raisa tidak mau menangis apalagi di depan Agam.
Keduanya pun akhirnya terdiam. Hanyut dengan pikiran masing-masing. Raisa memeluk erat
boneka teddynya. Terus berusaha untuk tidak menangis.
"Sa, lihat itu." Agam memandang ke langit biru. Menunjuk lingkaran berwarna-warni di sela pepohonan hijau. Raisa mendongak, penasaran. Matanya memburu ke arah yang ditunjuk Agam. Tepat di atas pohon akasia itu, pelangi melengkung dengan indahnya.
"Kau suka?" tanya Agam. Raisa mengangguk.  Memandang takjup lengkungan warna-warni itu.
"Tapi, aku rasa … Aku tidak akan bisa melihatnya lagi setelah hari ini." Raisa tersenyum kecut.
"Jangan berkata begitu. Hidup ataupun matinya seseorang, hanya Tuhanlah yang tahu. Mulai besok, aku akan membawakan pelangi untukmu." Agam tersenyum penuh arti.
Ucapan Agam itu bukan bualan. Keesokan harinya, sepulang sekolah Agam membawa pelangi, tepatnya lukisan pelangi untuk Raisa. Raisa menerimanya dengan hati bahagia. Lukisan Agam itu sangat indah. Jauh lebih indah dari pelangi yang dilihatnya kemarin bersama Agam di taman rumah sakit.
****** $ ******
Mobil hitam mengkilap itu berhenti tepat di depan sebuah pemakaman umum. Seorang pemuda turun membawa gulungan kertas. Pemuda itu melangkah masuk ke dalam makam dan tersenyum ramah pada penjaga makam yang ditemuinya.
Langkahnya terhenti. Pemuda itu berjongkok. Mengusap batu nisan di depannya yang berembun. Menaburkan bunga di atas pusara. Pemuda itu kembali mengusap permukaan nisan itu. Mengeja dengan hati teriris nama yang terpahat di sana. RAISA PUTRI. Sejenak dia menengadahkan tangan, berdoa untuk Raisa.
"Apa kabar, Sa? Maaf seminggu ini aku tidak menengokmu. Ah ya, aku punya sesuatu untukmu. Semoga kau suka." Agam, pemuda itu merentangkan kertas yang dibawanya.
"Lukisan ini aku buat di pantai indrayanti. Cantik kan, Sa."
Beberapa menit Agam terdiam. Menatap lekat nama Raisa di batu nisan. Menghela napas pelan. Dia merentangkan lukisan pelangi itu di atas pusara Raisa.
"Aku pamit ya, Sa. Besok aku akan datang lagi. Membawa pelangi kesukaanmu. Seperti biasanya." Agam tersenyum, mengusap sekali lagi batu nisan Raisa dan kemudian beranjak pergi dari pemakaman itu.

Kematian bisa membuat seseorang berpisah dengan orang yang dicintainya, tapi kematian tidak akan bisa menghilangkan rasa cinta yang tertancap kuat di hati.
                                


Kudus, 10 November 2014

Rabu, 05 November 2014

Kisahku : Bab 1

Kisahku
Bab 1
Gadget Baru

Aku baru saja menghabiskan sepiring nasi goreng yang tadi dibuat Bunda. Hm, lezat! Masakan Bunda selalu menjadi favoritku. Setelah makan perutku rasanya kenyang dan membuatku mengantuk. Rasa-rasanya aku ingin kembali ke tempat tidur. Menarik selimut dan memejamkan mata. Duh, nikmatnya.
Jelas aku tidak akan bisa melakukannya. Kalau sampai aku nekat, Mbak Anna tidak segan-segan menyiramkan seember air ke kamarku. Membuat kasur dan tubuhku basah kuyup. Sudah begitu, Mbak Anna akan terus mengoceh tentang kenapa harus bangun pagi, mandi pagi dan bla bla bla. Huh! Tidakkah Mbak Anna mengerti, aku hanya ingin tidur. Sebentar saja.
Kau benar, Mbak Anna memang orangnya galak. Jadi kau jangan macam-macam dengannya. Kalau tidak, rasakan sendiri akibatnya. Aku saja sudah menjadi langganan amukannya. Tidak pagi, siang bahkan tengah malam pun Mbak Anna suka marah-marah padaku.
Apa memang sikap orang dewasa seperti itu ya? Marah-marah sepanjang waktu. Apa mereka tidak lelah? Apa mereka tidak bosan?
Huuuh, aku tidak mau menjadi dewasa. Aku tidak mau seperti Mbak Anna yang suka marah-marah. Kau juga sama kan?!
Lupakan tentang Mbak Anna. Aku sekarang sedang galau tahu. Galau tingkat dewa sembilan belas deh pokoknya. Jangan kau pikir galau itu cuma milik orang dewasa ya. Anak kecil sepertiku pun bisa galau.
Aku kesal sekali sama Bunda. Bunda tidak mau membelikan aku gadget baru. Alasannya? Kata Bunda, aku belum waktunya punya gadget sendiri. Aku masih terlalu kecil. Huuuh, kesel kesel kesel.
Tapi aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku akan berjuang untuk mendapatkan keinginanku. Ganbate!!!
Kukatakan pada Bunda kalau aku akan menggunakan gadget dengan baik. Aku nggak akan macem-macem deh. Janji.
"Ya udah, Icha pinjem punya Mbak Anna aja," jawab Bunda kalem.
Pinjem Mbak Anna? Ogah. Paling Mbak Anna nggak akan mau meminjamkan gadgetnya. Mbak Anna kan peliiiiiiiiiit!
Karena semua rencanaku untuk merayu Bunda tidak berhasil maka aku melakukan satu rencana terakhir. Mogok bicara.
Rencananya selama seminggu, aku tidak akan bicara sepatah kata pun sama Bunda juga Mbak Anna. Aku kuat nggak ya???
"Icha, masih marah sama Bunda ya?" suara Bunda memusnahkan lamunanku.
Aku diam. Malas berbicara pada Bunda. Membuang muka.
"Eh, kok anak Bunda gitu sih. Cuma gara-gara gadget Icha marah sama Bunda? Duh sedihnya." Bunda duduk di sampingku. Mengelus kepalaku yang terbungkus kerudung putih, seragam sekolah.
"Icha beneran pengen punya gadget baru?" tanya Bunda. Menatapku lamat-lamat.
Aku menoleh. Mengangguk kuat-kuat. Iya Bunda, Icha pengen punya gadget baru. Boleh ya?
"Ya udah. Nanti sepulang sekolah kita beli gadget baru buat kamu. Tapi senyum dulu dong."
Bibirku menyunggingkan senyum selebar daun kelor.
Horeeeee! Aku punya gadget baru.
Untuk beberapa hal cara seperti ini selalu ampuh. Kau mau coba?
Aksi mogok bicaraku pun akhirnya berakhir dengan kemenangan di tanganku.
Hohoho, senangnya. Hhh, nanti akan aku tunjukkan gadget baruku pada teman-teman dan juga Mbak Anna. Biar mereka semua ngiri. Xixixi …
Sepanjang hari di sekolah aku tidak fokus mendengarkan guru. Aku tidak tenanglah. Tidak sabar pulang sekolah dan membeli gadget impianku itu. Kenapa hari ini waktu lambat sekali ya? Rasa-rasanya jam segitu terus. Tidak maju-maju. Bikin sensi. Huh!
Alhamdulillah, akhirnya … pulang juga. Harus segera meluncur ke rumah nih. Jurus seribu langkah. Wuuuuush!
"Bunda Bunda, kita pergi sekarang kan?"
Aku tengah menemui Bunda yang sedang sibuk mengemasi sesuatu ke dalam kantong hitam besar. Aku tidak terlalu memperhatikan bungkusan apa itu. Hatiku sedang diliputi bahagia full.
Bunda mengangguk tanpa menoleh padaku. Lalu menyerahkan satu kantong
hitam itu padaku. Bawa ke mobil, begitu kata Bunda.
Dengan sekuat tenaga aku berusaha membawa kantong besar itu ke dalam mobil. Kau tahu, kantong ini berat sekali. Serasa membawa sebongkah batu besar. Tidak usah dibayangkan kau akan lelah sendiri. Lebih baik kau bantu mengangkatnya ke mobil.
"Kita mampir ke tempat Mbak Anna dulu, Cha. Nganterin itu." Bunda melirik dua kantong hitam yang berhasil aku-dengan bantuanmu tentunya-masukkan ke jok belakang mobil.
Oh, jadi itu punya Mbak Anna. Paham dah. Mmm, tapi buat apa ya?
Ok ok kembali ke tujuan awal. Beli gadget baru. Huh, nggak sabar. Ayo Bunda cepat bawa mobilnya kalau perlu ngebut biar bisa cepat sampai tujuan. Ups, yang ini jangan ditiru ya. Dengan alasan apapun, ngebut itu tidak baik. Membahayakan keselamatanmu dan juga orang lain. Peace!
Seperti yang tadi Bunda bilang, kami tidak langsung membeli gadget untukku, Bunda
akan mampir dulu sebentar. Mengantarkan dua kantong hitam berisi ‘batu’ pada Mbak Anna.
Di ujung sana Mbak Anna sudah menunggu di samping gerbang sebuah rumah. Rumah itu sederhana saja. Kalau aku menyebut bangunan itu sebagai rumah tua. Bagaimana tidak, pagarnya saja sudah berkarat. Dinding-dindingnya kusam dan sepertinya sudah lama tidak dicat. Halamannya lumayan rapi sih. Banyak tanaman bunga.
Mbak Anna terlihat lega saat melihat kedatangan kami. Segera ia membukakan gerbang agar kami bisa masuk. Bertiga kami mengeluarkan kantong-kantong itu dari dalam mobil.
Olala, dari punggung Mbak Anna entah dari mana muncullah segerombol anak-anak kecil. Mereka berlari mengerubuti kami. Menawarkan diri membantu dua kantong hitam besar itu. Satu alisku terangkat. Kau serius adik kecil? Ini berat lho. Seorang anak laki-laki kurus menyeringai ke arahku.
"Tenang saja Mbak. Kami kuat kok. Cuma dua kantong ini," ucapnya dengan penuh percaya diri.
Aih, belagu sekali dia. Anak kurus kering seperti dia mana mungkin kuat mengangkat kantong-kantong itu, debatku dalam hati.
Namun seketika aku terperangah. Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Bocah itu benar-benar mengangkat kantong itu. Seorang diri. Aku antara takjub, kagum dan juga tidak percaya.
"Panjul biasa jadi kuli di pasar jadi kau tidak usah heran. Mengangkat kau juga Panjul kuat, Cha. Hehehe …" Mbak Anna terkekeh di sampingku.
Apanya yang lucu? Aku melirik Mbak Anna. Huh, dasar Mbak Anna gariiing!
Bocah itu membuatku penasaran. Kubuntuti dia yang tergopoh masuk ke dalam rumah yang ternyata rumah baca itu. Setelah kukorek-korek akhirnya aku mendapat beberapa informasi tentang bocah kurus kering itu.
Namanya Panjul. Umurnya sembilan tahun. Kelas tiga SD. Ibunya seorang buruh cuci sedangkan Bapak Panjul seorang kuli bangunan yang sedang cuti lantaran job yang sepi. Panjul punya tiga adik yang masih kecil. Rahman, Rahim dan Malik.
Yang membuatku sangat tertarik pada bocah sembilan tahun itu adalah profesinya yang tidak lazim. Dia dengan tubuhnya yang kurus kering bekerja sebagai kuli pasar. Itu dia lakukan setiap hari sepulang sekolah. Aku tidak sanggup membayangkan bagaimana tubuh kecilnya itu harus mengangkat beban berat.
"Kak, minum dulu." Panjul menyodorkan gelas berisi air putih padaku. Tersenyum tulus. Kuterima gelas itu dalam diam. Mengikuti langkahnya masuk ke dalam. Aku duduk di sebelah Bunda sedangkan Panjul bergabung dengan teman-teman di sudut lain. Urusan ini membuatku lupa pada gadget. Ah, itu bisa diurus nanti. Ini jauh lebih menarik.
Seharian aku dan Bunda menghabiskan waktu di rumah baca itu. Baru kutahu, ternyata Mbak Anna salah satu relawan di tempat itu. Sekitar pukul lima sore aku, Bunda dan Mbak Anna pamit pulang. Aneh deh, rasa-rasanya aku kok pengen lebih lama di sini ya? Aku senang bisa menghabiskan waktu bersama anak-anak itu dan juga Panjul.
“Sering-sering datang kemari ya, Mbak.”
Panjul telah berdiri di sampingku. Tersenyum lebar memperlihatkan deretan giginya
yang menguning. Aku menjawabnya dengan anggukan. Iya, aku akan sering datang kemari.
Sepanjang perjalanan pulang pun aku lebih banyak diam. Menyimak penjelasan dan cerita Mbak Anna tentang rumah baca itu dan para penghuninya.
“Oh iya, Bunda hampir lupa. Gadgetnya Icha.” Tiba-tiba Bunda mengerem mobil. Membuatku dan juga Mbak Anna terdorong ke depan. Bunda, hati-hati dong! Aku manyun.
“Bunda minta maaf ya, Cha. Ya udah sekarang kita pergi beli gadget kamu ya. Mumpung belum gelap.”
“Nggak usah, Bunda. Icha berubah pikiran. Icha nggak jadi beli gadget,” ucapku kalem. Bunda dan Mbak Anna melongo mendengar kalimatku itu. Eh, kenapa? Memangnya salah?
“Kamu serius, Cha?” Mbak Anna masih menatapku tidak percaya.
Aku mengangguk. Ya, aku sangat serius.
“Bukannya kemarin kamu kekeh pengen dibeliin gadget baru. Terus kenapa tiba-tiba
kamu berubah begini?”
Hm, ucapan Mbak Anna benar juga ya. Kenapa aku berubah pikiran ya? Hm. Mungkin karena  bocah itu. Iya Panjul siapa lagi. Melihatnya membuatku tidak lagi bernafsu membeli gadget impianku itu.
Lha apa hubungannya? Ada hubungannya lah tapi kalau aku jelaskan akan panjaaang jadi terima aja jawabanku ya. Ok?! Maksa sedikit nggak apa-apa kan? Hehehe
 Fiuuuh, untung saja Mbak Anna tidak banyak tanya lagi. Aku lagi malas menjelaskan. Toh, bagus juga kan kalau aku tidak jadi beli gadget baru itu. Uangnya bisa digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat.
Tiba-tiba aku punya ide nih. Hehehe …
“Eh, Bunda. Uang untuk beli gadget itu boleh Icha minta?”
Bunda menoleh sekilas.
“Buat apa, Cha. Bukannya tadi kamu bilang nggak jadi beli gadget.”
“Hayooo, mau buat apa?” Mbak Anna menunjuk-nunjuk penuh curiga.
Aduh, gimana ya bilangnya? Bingung nih.
“Icha mau … mmm … Sini deh Bun Icha bisikin biar nggak kedengeran Mbak Anna. Wek!” kujulurkan lidah ke arah Mbak Anna dan membisikkan rencanaku pada Bunda.
“Gimana menurut Bunda?”
Bunda mengangguk-angguk. Semoga saja itu pertanda baik.
“Ya … Bunda sih setuju saja. Mbak Anna beneran nggak boleh tahu nih?” Bunda melirik Mbak Anna yang sewot karena aku tidak mau memberitahunya. Lucu deh lihat ekspresi muka Mbak Anna seperti itu. Hahaha …
Mbak Anna terus melotot ke arahku dan Bunda. Aku tersenyum bahagia. Biar saja Mbak Anna penasaran dan kau! Jangan coba-coba mengatakannya pada Mbak Anna!

*****  Bersambung  *****

Kudus, 5 November 2014