Rabu, 17 September 2014

Cerita Anak : Kiki, Ulat Yang Sabar

Kiki, Ulat Yang Sabar
Oleh : Nuril Islam

Pada zaman dahulu, hiduplah seekor ulat kecil. Namanya Kiki. Kiki hidup sebatang kara. Ayah dan Ibunya meninggal saat dia masih kecil. Kiki sering merasa sedih saat melihat teman-teman binatangnya berkumpul dan tertawa bersama keluarganya. Dalam hati Kiki berharap bisa seperti mereka. Memiliki sebuah keluarga yang sayang padanya.
Setiap hari, Kiki selalu bangun pagi agar dia bisa menyapa matahari, sahabatnya. Kiki tidak memiiki sahabat selain matahari. Semua binatang menjauhinya. Mereka tidak suka dengan Kiki. Kata mereka, Kiki adalah ulat yang menjijikan.
“Selamat pagi, matahari,” sapa Kiki ramah. Senyum terkembang lebar di bibirnya.
“Selamat pagi, Kiki,” jawab matahari tidak kalah ramah. Menampakkan wajahnya dari balik pepohonan.
Kiki tengah asyik menyantap daun sawi segar, menu sarapannya pagi ini. Lahap Kiki menghabiskan daun sawi yang berwarna hijau cerah itu. Hm, lezaaat.
Tidak jauh dari tempat Kiki, segerombol serangga tengah asyik bercengkrama. Sesekali mereka melirik ke arah Kiki sambil berbisik. Kiki mencoba menyapa dan tersenyum, namun para serangga itu membuang muka dan berlalu. Kiki mendesah sedih.
“Matahari, aku sedih sekali.”
Matahari mengerutkan keningnya yang berkilau.
“Sedih kenapa, sahabatku? Katakanlah apa yang mengganggu pikiranmu?”
“Aku sedih, kenapa semua binatang tidak mau berteman denganku? Mereka bilang aku binatang yang menjijikkan. Apakah itu benar? Apakah aku binatang yang menjijikkan?” tanya Kiki dengan wajah murung.
Matahari tidak langsung menjawab pertanyaan Kiki. Matahari bingung harus menjawab apa. Salah-salah Kiki malah akan marah padanya. Aduuuuh…
“Jawab, matahari! Apakah aku binatang yang menjijikkan?” seru Kiki dengan wajah yang berkaca-kaca. Menahan tangis.
“Eh … eh … itu …” kata matahari terbata.
“Diam berarti benar. Berarti aku memang binatang yang menjijikkan. Hiks hiks hiks.” Kiki menangis sesenggukan. Membuat daun sawi yang disantapnya basah.
“Bukan begitu, Ki. Kamu bukan binatang yang menjijikkan. Kamu binatang yang istimewa. Kamu baik. Kamu adalah sahabatku, Kiki,” jawab matahari.
“Tapi … tapi binatang lain tidak mau berteman denganku matahari. Aku sedih. Aku juga ingin bermain dengan mereka. Hiks hiks hiks.”
Saat Kiki tengah menangis tersedu, lewatlah seekor kura-kura. Kura-kura itu mencuri dengar percakapan Kiki dan matahari. Dia pun melangkah mendekati Kiki.
“Hai, ulat. Kenapa kamu bersedih?” tanya sang kura-kura.
Kiki terkejut melihat seekor kura-kura yang tiba-tiba datang. Disekanya air mata yang terus mengalir.
“Aku sedih karena tidak ada binatang yang mau bermain denganku. Mereka mengataiku binatang yang menjijikkan.”
Sang kura-kura mengangguk-angguk takzim. Mendengarkan setiap detail cerita Kiki.
“Aku bisa membantu.” Kata sang kura-kura kemudian.
Wajah Kiki seketika berubah ceria. Kiki mendekati sang kura-kura. Meminta penjelasan.
“Benarkah kau akan membantuku, kura-kura?” tanya Kiki antusias.
Sang kura-kura mengangguk. “Tapi ada syaratnya?”
Syarat? Syarat apakah yang akan diajukan sang kura-kura? Apakah Kiki bisa melaksanakan syarat itu?
Lama Kiki terdiam. Mempertimbangkan banyak hal.
Bagaimana sebaiknya? Apakah aku harus menerima syarat dari kura-kura? Tapi, aku takut. Aku tidak yakin aku bisa melaksanakan syarat dari sang kura-kura.
“Kiki, terima saja syarat dari sang kura-kura. Aku yakin kamu pasti bisa. Aku akan mendukungmu,” kata matahari menyemangati.
Kiki menatap Matahari. Kiki merasa beruntung memiliki sahabat seperti matahari yang selalu menemaninya, menyemangati dan mendukungnya.
“Aku menerima syarat apapun yang kau ajukan, Kura-kura,” kata Kiki mantap.
“Temui aku besok pagi di dekat danau. Jangan sampai terlambat,” ucap sang kura-kura sebelum berlalu.
Keesokan harinya, Kiki datang ke tepi danau. Danau masih sepi. Belum nampak kedatangan sang kura-kura. Dikejauhan Kiki melihat sepasang burung bangau terbang rendah di atas danau. Sayapnya yang putih berkilau ditimpa cahaya matahari.
“Ah, andai aku bisa terbang seperti bangau-bangau itu,” ucap Kiki lirih. Menghela napas pelan. Membayangkan bangau itu adalah dirinya. Menari di atas danau yang berwarna keemasan. Menyapa segerombolan ikan di dalam danau. Alangkah indahnya …
“Kau pasti bisa seperti mereka.”
Kura-kura. Tanpa Kiki tahu ternyata Sang kura-kura mengawasinya sejak tadi. Kura-kura melangkah, berdiri di samping Kiki.
“Kura-kura?”
“Aku senang dengan orang yang tepat waktu. Itu membuktikan kalau kau orang yang menghargai waktu. Bagus.”
Kiki tersenyum.
“Nah, tentang syarat yang aku ajukan. Apakah kau benar-benar siap?”
Kiki mengangguk.
“Siap menerima tugas apapun dariku?”
Kiki mengangguk.
“Tidak menyesal?”
Kiki menggeleng.
“Baiklah. Tugas pertama, aku ingin mulai besok kau harus puasa selama dua puluh hari.”
Kiki terdiam. Puasa? selama dua puluh hari?
“Bagaimana? Kau siap?” tanya sang kura-kura.
Kiki meyakinkan diri. Mengusir jauh-jauh rasa takut di hatinya. Aku pasti bisa.
Kiki mengangguk menerima tugas pertama dari sang kura-kura.
Selama dua puluh hari Kiki menjalankan tugas dari sang kura-kura itu. Bukan hal yang mudah untuk Kiki. Setiap kali melihat daun-daun segar, Kiki sempat tergoda. Tidak bisa menahan diri untuk menyantap daun-daun segar itu. Untunglah ada matahari yang selalu mengingatkan. Matahari seperti pengawal Kiki. Menemani
Kiki ke manapun dan di manapun.
Dua puluh hari berlalu tanpa terasa. Kiki merasakan hal yang aneh. Tubuhnya yang hijau memanjang berubah bentuk menjadi kepompong. Bulat kecil yang menggantung di pucuk ranting.
“Kiki, apakah kau baik-baik saja? Kenapa tubuhmu berubah seperti itu?” tanya matahari saat melihat perubahan dari Kiki.
“Aku tidak tahu, matahari. Tapi aku baik-baik saja. Terima kasih karena kamu selalu setia menemaniku,” jawab Kiki.
“Itulah gunanya seorang sahabat. Menemani sahabatnya dikala senang dan susah.” Matahari tersenyum.
Sang kura-kura berjalan tenang ke arah pucuk ranting tempat tubuh Kiki tergantung. Sang kura-kura mengangguk-angguk. Tersenyum melihat Kiki.
“Kau sudah menjalankan tugas pertama dengan baik. Sekarang kau harus menuntaskan tugas yang kedua. Kau siap?” tanya sang kura-kura.
Kiki dan Matahari menyimak dengan seksama.
“Aku siap, Kura-kura.”
Sang kura-kura memandang bergantian Kiki dan Matahari. Menghela napas pelan sebelum berbicara.
“Tugas kedua adalah … puasa selama 21 hari.”
“Apa? puasa lagi? 21 hari?” seru matahari tidak percaya. Menatap protes ke arah sang kura-kura.
“Bagaimana? Apakah kau siap dengan tugas kedua?” kata sang kura-kura mengabaikan kalimat protes matahari.
Belum sempat Kiki menjawab matahari sudah memprotes lagi.
“Tidak, jangan Ki. Apa-apaan ini. Kamu sudah berlelah-lelah puasa selama dua puluh hari. Tapi apa?
Lihatlah, apa yang terjadi pada dirimu, Ki? Lebih baik kita cari cara lain saja. Tidak perlu mendengarkan ocehan kura-kura yang tidak jelas ini.”
“Tidak, matahari. Aku percaya dengan sang kura-kura. Aku yakin suatu hari nanti aku akan berubah menjadi binatang yang indah seperti binatang yang lain.”
“Tapi, Ki …”
“Sudahlah matahari. Aku tidak ingin berdebat panjang denganmu. Bukankah kamu sendiri yang bilang bahwa aku akan bisa menjalani semuanya?”
Matahari terdiam. Menatap lamat-lamat Kiki, sahabatnya.
“Aku akan mendukung apapun keputusanmu.” Matahari tersenyum tipis.
“Terima kasih, matahari.”
Akhirnya, Kiki menjalankan tugas kedua dari sang kura-kura. Puasa selama 21 hari. Melewati masa yang lebih sulit dari sebelumnya.
Langit berselimut awan kelabu. Sekejap hujan turun mengguyur bumi. Membuat basah semuanya. Kiki yang masih menggantung di pucuk ranting mendekap tubuhnya. Berusaha mengusir dingin yang menyerbu.
Matahari tidak menampakkan wajahnya. Cahayanya terhalang awan. Matahari cemas dan khawatir dengan Kiki. Tentulah sahabatnya itu kehujanan dan kedinginan. Namun Matahari tidak bisa berbuat apa-apa. Awan kelabu itu sangat sulit untuk diterjang. Matahari hanya bisa berdoa agar Kiki baik-baik saja.
Hujan baru reda ketika subuh menjelang. Suara kokok ayam membangunkan para penghuni hutan yang
terlelap. Kiki membuka matanya. Kiki melihat secercah cahaya. Cahaya kecil itu menariknya keluar. Kiki mengikuti cahaya itu dan …
Hamparan rumput yang menghijau. Bunga-bunga yang bermekaran. Binatang-binatang yang terbang di sekelilingnya. Kiki tersenyum. Pemandangan yang sebulan lebih Kiki rindukan. Segera Kiki berlari mencari sang kura-kura. Ke kiri, ke kanan. Kiki tidak melihat keberadaan Kura-kura. Kiki melewati taman bunga, danau. Tidak juga menemukan Kura-kura. Kura-kura hilang seperti ditelan bumi.
Eh, tunggu? Sepasang mata Kiki menangkap sesosok bayangan di air danau. Dahinya terlipat. Penasaran dengan seekor kupu-kupu cantik dengan sayap indah yang tersenyum ke arahnya. Siapa dia?
Kiki mendekati sosok bayangan itu. Semakin penasaran. Kiki terkejut saat menyadari bahwa sosok bayangan cantik itu adalah dirinya. Kupu-kupu cantik itu adalah Kiki.
“Aku berubah menjadi kupu-kupu cantik. Aku punya sayap. Aku bisa terbang,” seru Kiki riang. Menyentuh sayap barunya.
Kiki terbang melayang di atas langit biru. Mengedarkan pandangannya.
“Kini aku bisa melihat semuanya. Rumput, bunga-bunga. Aku terbang!”
Segera Kiki mencari matahari. Mengabarkan berita gembira ini pada sahabatnya.
“Matahari! Matahari!” Seru Kiki bersemangat.
Matahari menatap acuh. “Siapa kau?”
“Aku Kiki, sahabatmu.”
“Kiki? Kau bercanda?! Kiki, sahabatku sedang menjalankan tugas dari kura-kura.”
“Iya, matahari. Aku sudah menyelesaikan tugas kedua dari kura-kura. Sekarang aku punya sayap. Lihatlah matahari.” Kiki memamerkan sepasang sayapnya yang indah.
“Tidak! kau pasti berbohong. Sahabatku itu …” kalimat Matahari menggantung.
“Sahabatmu itu binatang yang menjijikkan? Iya?” tanya Kiki sebal.
“Tidak. Kiki adalah sahabat baikku. Dan kau jangan mengaku sebagai Kiki.”
“Tapi aku memang Kiki, sahabatmu.”
Kiki menceritakan tentang perjuangannya menyelesaikan tugas kedua dari sang kura-kura. Semua rintangan dan masalah yang dihadapi Kiki dengan kuat dan sabar.
“Cahaya itu menarikku keluar dan lihatlah diriku sekarang. Aku tidak lagi binatang yang menjijikkan, matahari. Lihatlah sayapku. Aku sekarang bisa terbang.” Kiki tersenyum lebar.
“Syukurlah, aku senang akhirnya kau bisa mendapatkan apa yang kau inginkan, Kiki. Aku senang dengan dirimu yang dulu dan sekarang. Aku harap kau tidak berubah dan … tetap mau berteman denganku.”
“Jangan berkata begitu matahari. Sampai kapanpun kamu adalah sahabat terbaikku.”
Matahari dan Kiki tersenyum bersama.
Sejak saat itu Kiki memiliki banyak teman. Meski telah berubah menjadi kupu-kupu yang cantik, Kiki tetap baik hati dan suka menolong. Semua binatang senang bermain dan berteman dengan Kiki. Kiki merasa menemukan keluarga barunya. Matahari, serangga, bunga-bunga, mereka adalah keluarga bagi Kiki. Kiki tidak lagi merasa kesepian dan sedih.

Tuhan tidak akan mengubah nasib dari makhluk-Nya hingga makhluk-Nya merubah keadaan dirinya sendiri. Kiki, yang dulu dianggap sebagai binatang yang menjijikkan berubah menjadi kupu-kupu yang cantik. Itulah buah dari kesabaran Kiki selama ini.  
(SELESAI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar