Kiki, Ulat Yang
Sabar
Oleh : Nuril Islam
Pada zaman dahulu,
hiduplah seekor ulat kecil. Namanya Kiki. Kiki hidup sebatang kara. Ayah dan
Ibunya meninggal saat dia masih kecil. Kiki sering merasa sedih saat melihat
teman-teman binatangnya berkumpul dan tertawa bersama keluarganya. Dalam hati
Kiki berharap bisa seperti mereka. Memiliki sebuah keluarga yang sayang
padanya.
Setiap hari, Kiki
selalu bangun pagi agar dia bisa menyapa matahari, sahabatnya. Kiki tidak
memiiki sahabat selain matahari. Semua binatang menjauhinya. Mereka tidak suka
dengan Kiki. Kata mereka, Kiki adalah ulat yang menjijikan.
“Selamat pagi, matahari,”
sapa Kiki ramah. Senyum terkembang lebar di bibirnya.
“Selamat pagi, Kiki,”
jawab matahari tidak kalah ramah. Menampakkan wajahnya dari balik pepohonan.
Kiki tengah asyik
menyantap daun sawi segar, menu sarapannya pagi ini. Lahap Kiki menghabiskan
daun sawi yang berwarna hijau cerah itu. Hm, lezaaat.
Tidak jauh dari tempat
Kiki, segerombol serangga tengah asyik bercengkrama. Sesekali mereka melirik ke
arah Kiki sambil berbisik. Kiki mencoba menyapa dan tersenyum, namun para
serangga itu membuang muka dan berlalu. Kiki mendesah sedih.
“Matahari, aku sedih
sekali.”
Matahari mengerutkan
keningnya yang berkilau.
“Sedih kenapa,
sahabatku? Katakanlah apa yang mengganggu pikiranmu?”
“Aku sedih, kenapa
semua binatang tidak mau berteman denganku? Mereka bilang aku binatang yang
menjijikkan. Apakah itu benar? Apakah aku binatang yang menjijikkan?” tanya
Kiki dengan wajah murung.
Matahari tidak langsung
menjawab pertanyaan Kiki. Matahari bingung harus menjawab apa. Salah-salah Kiki
malah akan marah padanya. Aduuuuh…
“Jawab, matahari!
Apakah aku binatang yang menjijikkan?” seru Kiki dengan wajah yang
berkaca-kaca. Menahan tangis.
“Eh … eh … itu …” kata matahari
terbata.
“Diam berarti benar. Berarti
aku memang binatang yang menjijikkan. Hiks hiks hiks.” Kiki menangis
sesenggukan. Membuat daun sawi yang disantapnya basah.
“Bukan begitu, Ki. Kamu
bukan binatang yang menjijikkan. Kamu binatang yang istimewa. Kamu baik. Kamu
adalah sahabatku, Kiki,” jawab matahari.
“Tapi … tapi binatang
lain tidak mau berteman denganku matahari. Aku sedih. Aku juga ingin bermain
dengan mereka. Hiks hiks hiks.”
Saat Kiki tengah
menangis tersedu, lewatlah seekor kura-kura. Kura-kura itu mencuri dengar
percakapan Kiki dan matahari. Dia pun melangkah mendekati Kiki.
“Hai, ulat. Kenapa kamu
bersedih?” tanya sang kura-kura.
Kiki terkejut melihat
seekor kura-kura yang tiba-tiba datang. Disekanya air mata yang terus mengalir.
“Aku sedih karena tidak
ada binatang yang mau bermain denganku. Mereka mengataiku binatang yang
menjijikkan.”
Sang kura-kura
mengangguk-angguk takzim. Mendengarkan setiap detail cerita Kiki.
“Aku bisa membantu.”
Kata sang kura-kura kemudian.
Wajah Kiki seketika
berubah ceria. Kiki mendekati sang kura-kura. Meminta penjelasan.
“Benarkah kau akan
membantuku, kura-kura?” tanya Kiki antusias.
Sang kura-kura
mengangguk. “Tapi ada syaratnya?”
Syarat? Syarat apakah
yang akan diajukan sang kura-kura? Apakah Kiki bisa melaksanakan syarat itu?
Lama Kiki terdiam. Mempertimbangkan
banyak hal.
Bagaimana sebaiknya?
Apakah aku harus menerima syarat dari kura-kura? Tapi, aku takut. Aku tidak
yakin aku bisa melaksanakan syarat dari sang kura-kura.
“Kiki, terima saja
syarat dari sang kura-kura. Aku yakin kamu pasti bisa. Aku akan mendukungmu,”
kata matahari menyemangati.
Kiki menatap Matahari. Kiki
merasa beruntung memiliki sahabat seperti matahari yang selalu menemaninya,
menyemangati dan mendukungnya.
“Aku menerima syarat
apapun yang kau ajukan, Kura-kura,” kata Kiki mantap.
“Temui aku besok pagi
di dekat danau. Jangan sampai terlambat,” ucap sang kura-kura sebelum berlalu.
Keesokan harinya, Kiki
datang ke tepi danau. Danau masih sepi. Belum nampak kedatangan sang kura-kura.
Dikejauhan Kiki melihat sepasang burung bangau terbang rendah di atas danau.
Sayapnya yang putih berkilau ditimpa cahaya matahari.
“Ah, andai aku bisa
terbang seperti bangau-bangau itu,” ucap Kiki lirih. Menghela napas pelan.
Membayangkan bangau itu adalah dirinya. Menari di atas danau yang berwarna
keemasan. Menyapa segerombolan ikan di dalam danau. Alangkah indahnya …
“Kau pasti bisa seperti
mereka.”
Kura-kura. Tanpa Kiki
tahu ternyata Sang kura-kura mengawasinya sejak tadi. Kura-kura melangkah,
berdiri di samping Kiki.
“Kura-kura?”
“Aku senang dengan
orang yang tepat waktu. Itu membuktikan kalau kau orang yang menghargai waktu.
Bagus.”
Kiki tersenyum.
“Nah, tentang syarat
yang aku ajukan. Apakah kau benar-benar siap?”
Kiki mengangguk.
“Siap menerima tugas apapun
dariku?”
Kiki mengangguk.
“Tidak menyesal?”
Kiki menggeleng.
“Baiklah. Tugas
pertama, aku ingin mulai besok kau harus puasa selama dua puluh hari.”
Kiki terdiam. Puasa?
selama dua puluh hari?
“Bagaimana? Kau siap?”
tanya sang kura-kura.
Kiki meyakinkan diri. Mengusir
jauh-jauh rasa takut di hatinya. Aku pasti bisa.
Kiki mengangguk
menerima tugas pertama dari sang kura-kura.
Selama dua puluh hari
Kiki menjalankan tugas dari sang kura-kura itu. Bukan hal yang mudah untuk
Kiki. Setiap kali melihat daun-daun segar, Kiki sempat tergoda. Tidak bisa
menahan diri untuk menyantap daun-daun segar itu. Untunglah ada matahari yang
selalu mengingatkan. Matahari seperti pengawal Kiki. Menemani
Kiki ke manapun dan di manapun.
Dua puluh hari berlalu
tanpa terasa. Kiki merasakan hal yang aneh. Tubuhnya yang hijau memanjang
berubah bentuk menjadi kepompong. Bulat kecil yang menggantung di pucuk
ranting.
“Kiki, apakah kau
baik-baik saja? Kenapa tubuhmu berubah seperti itu?” tanya matahari saat
melihat perubahan dari Kiki.
“Aku tidak tahu, matahari.
Tapi aku baik-baik saja. Terima kasih karena kamu selalu setia menemaniku,”
jawab Kiki.
“Itulah gunanya seorang
sahabat. Menemani sahabatnya dikala senang dan susah.” Matahari tersenyum.
Sang kura-kura berjalan
tenang ke arah pucuk ranting tempat tubuh Kiki tergantung. Sang kura-kura
mengangguk-angguk. Tersenyum melihat Kiki.
“Kau sudah menjalankan
tugas pertama dengan baik. Sekarang kau harus menuntaskan tugas yang kedua. Kau
siap?” tanya sang kura-kura.
Kiki dan Matahari
menyimak dengan seksama.
“Aku siap, Kura-kura.”
Sang kura-kura
memandang bergantian Kiki dan Matahari. Menghela napas pelan sebelum berbicara.
“Tugas kedua adalah …
puasa selama 21 hari.”
“Apa? puasa lagi? 21
hari?” seru matahari tidak percaya. Menatap protes ke arah sang kura-kura.
“Bagaimana? Apakah kau
siap dengan tugas kedua?” kata sang kura-kura mengabaikan kalimat protes matahari.
Belum sempat Kiki
menjawab matahari sudah memprotes lagi.
“Tidak, jangan Ki.
Apa-apaan ini. Kamu sudah berlelah-lelah puasa selama dua puluh hari. Tapi apa?
Lihatlah, apa yang terjadi pada dirimu,
Ki? Lebih baik kita cari cara lain saja. Tidak perlu mendengarkan ocehan
kura-kura yang tidak jelas ini.”
“Tidak, matahari. Aku
percaya dengan sang kura-kura. Aku yakin suatu hari nanti aku akan berubah
menjadi binatang yang indah seperti binatang yang lain.”
“Tapi, Ki …”
“Sudahlah matahari. Aku
tidak ingin berdebat panjang denganmu. Bukankah kamu sendiri yang bilang bahwa
aku akan bisa menjalani semuanya?”
Matahari terdiam.
Menatap lamat-lamat Kiki, sahabatnya.
“Aku akan mendukung
apapun keputusanmu.” Matahari tersenyum tipis.
“Terima kasih, matahari.”
Akhirnya, Kiki
menjalankan tugas kedua dari sang kura-kura. Puasa selama 21 hari. Melewati
masa yang lebih sulit dari sebelumnya.
Langit berselimut awan
kelabu. Sekejap hujan turun mengguyur bumi. Membuat basah semuanya. Kiki yang
masih menggantung di pucuk ranting mendekap tubuhnya. Berusaha mengusir dingin
yang menyerbu.
Matahari tidak
menampakkan wajahnya. Cahayanya terhalang awan. Matahari cemas dan khawatir
dengan Kiki. Tentulah sahabatnya itu kehujanan dan kedinginan. Namun Matahari
tidak bisa berbuat apa-apa. Awan kelabu itu sangat sulit untuk diterjang.
Matahari hanya bisa berdoa agar Kiki baik-baik saja.
Hujan baru reda ketika
subuh menjelang. Suara kokok ayam membangunkan para penghuni hutan yang
terlelap. Kiki membuka matanya. Kiki
melihat secercah cahaya. Cahaya kecil itu menariknya keluar. Kiki mengikuti
cahaya itu dan …
Hamparan rumput yang
menghijau. Bunga-bunga yang bermekaran. Binatang-binatang yang terbang di
sekelilingnya. Kiki tersenyum. Pemandangan yang sebulan lebih Kiki rindukan.
Segera Kiki berlari mencari sang kura-kura. Ke kiri, ke kanan. Kiki tidak
melihat keberadaan Kura-kura. Kiki melewati taman bunga, danau. Tidak juga
menemukan Kura-kura. Kura-kura hilang seperti ditelan bumi.
Eh, tunggu? Sepasang mata
Kiki menangkap sesosok bayangan di air danau. Dahinya terlipat. Penasaran
dengan seekor kupu-kupu cantik dengan sayap indah yang tersenyum ke arahnya. Siapa
dia?
Kiki mendekati sosok
bayangan itu. Semakin penasaran. Kiki terkejut saat menyadari bahwa sosok
bayangan cantik itu adalah dirinya. Kupu-kupu cantik itu adalah Kiki.
“Aku berubah menjadi
kupu-kupu cantik. Aku punya sayap. Aku bisa terbang,” seru Kiki riang.
Menyentuh sayap barunya.
Kiki terbang melayang
di atas langit biru. Mengedarkan pandangannya.
“Kini aku bisa melihat
semuanya. Rumput, bunga-bunga. Aku terbang!”
Segera Kiki mencari matahari.
Mengabarkan berita gembira ini pada sahabatnya.
“Matahari! Matahari!” Seru
Kiki bersemangat.
Matahari menatap acuh.
“Siapa kau?”
“Aku Kiki, sahabatmu.”
“Kiki? Kau bercanda?!
Kiki, sahabatku sedang menjalankan tugas dari kura-kura.”
“Iya, matahari. Aku
sudah menyelesaikan tugas kedua dari kura-kura. Sekarang aku punya sayap.
Lihatlah matahari.” Kiki memamerkan sepasang sayapnya yang indah.
“Tidak! kau pasti
berbohong. Sahabatku itu …” kalimat Matahari menggantung.
“Sahabatmu itu binatang
yang menjijikkan? Iya?” tanya Kiki sebal.
“Tidak. Kiki adalah
sahabat baikku. Dan kau jangan mengaku sebagai Kiki.”
“Tapi aku memang Kiki,
sahabatmu.”
Kiki menceritakan
tentang perjuangannya menyelesaikan tugas kedua dari sang kura-kura. Semua
rintangan dan masalah yang dihadapi Kiki dengan kuat dan sabar.
“Cahaya itu menarikku
keluar dan lihatlah diriku sekarang. Aku tidak lagi binatang yang menjijikkan, matahari.
Lihatlah sayapku. Aku sekarang bisa terbang.” Kiki tersenyum lebar.
“Syukurlah, aku senang
akhirnya kau bisa mendapatkan apa yang kau inginkan, Kiki. Aku senang dengan dirimu
yang dulu dan sekarang. Aku harap kau tidak berubah dan … tetap mau berteman
denganku.”
“Jangan berkata begitu matahari.
Sampai kapanpun kamu adalah sahabat terbaikku.”
Matahari dan Kiki
tersenyum bersama.
Sejak saat itu Kiki
memiliki banyak teman. Meski telah berubah menjadi kupu-kupu yang cantik, Kiki
tetap baik hati dan suka menolong. Semua binatang senang bermain dan berteman dengan
Kiki. Kiki merasa menemukan keluarga barunya. Matahari, serangga, bunga-bunga,
mereka adalah keluarga bagi Kiki. Kiki tidak lagi merasa kesepian dan sedih.
Tuhan tidak akan
mengubah nasib dari makhluk-Nya hingga makhluk-Nya merubah keadaan dirinya
sendiri. Kiki, yang dulu dianggap sebagai binatang yang menjijikkan berubah
menjadi kupu-kupu yang cantik. Itulah buah dari kesabaran Kiki selama ini.
(SELESAI)
(SELESAI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar