Origami
Sepasang Merpati
Oleh
: Nuril Islam
“Yeee,
punyaku sudah jadi!” Ian berseru senang. Mengangkat tinggi-tinggi origami
bentuk senjata ninja miliknya. Aku manyun. Memandanginya dengan perasaan iri.
“Aku
menyerah,” ucapku kesal. Membuang sembarangan kertas origami warna merah jambu.
Melipat kedua tangan.
“Ah,
kamu Re. Begitu saja sudah menyerah. Payah!” Kata Ian. Kembali duduk di
sampingku. Mengambil kertas origami yang kubuang.
Ya,
aku memang payah. Berkali-kali Ian mengajari membuat origami tapi tetap saja
aku tidak bisa. Padahal kelihatannya origami itu mudah, tapi setelah aku
mencoba membuatnya ternyata sulit. Aku semakin kesal karena Ian tertawa melihat
hasil origamiku yang tidak berbentuk.
“Kalau
manyun begitu kamu semakin mirip dengan si Duck, hahaha.” Ian tertawa. Si Duck
adalah bebek peliharaan Kang Asep, penjaga kantin sekolah.
Aku
diam. Tidak mengindahkan ejekan Ian itu. Aku kesal tapi malu juga. Ah,
entahlah. Aku beranjak dan meninggalkan Ian yang masih tertawa bahkan tawanya semakin
kencang.
Hai, namaku
Rere dan dia adalah sahabatku, Ian. Kami berdua adalah penghuni panti Cahaya
Kasih. Meski kami tidak memiliki orang tua, tapi kami memiliki Bu Hana. Beliau
adalah pengurus panti sekaligus orang tua bagi kami. Beliaulah yang mengajarkan
kami untuk selalu tersenyum dan bersyukur meski kehidupan kami tidak sama
seperti anak-anak yang lain. Bu Hana adalah malaikat bagiku.
Aku
dan Ian bersekolah di SMP Nusa Bangsa. Tidak jauh dari panti. Tingkat akhir. Di
sekolah kami termasuk siswa yang pintar lho. Aku rangking kedua dan Ian selalu
rangking pertama (huh!). Aku dan Ian bersahabat baik tapi untuk urusan
pendidikan kami saling bersaing menjadi yang terbaik. Tapi kami selalu bersaing
dengan sportif kok.
Aku
paling suka bernyanyi dan Avril Lavigne adalah penyanyi favoritku. Aku bahkan mengoleksi
banyak kaset Avril Lavigne. Kaset-kaset itu kudapatkan dengan susah payah.
Menyisihkan uang jajan berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan agar bisa membeli
kaset itu.
Sedangkan
Ian paling suka membuat origami. Jika kau ingin melihat koleksi origami milik
Ian, tengoklah kamarnya. Berbagai origami dengan macam bentuk dan ukuran bertebaran
di setiap sudut kamarnya. Ikan, bunga, katak, burung, dan entah apalagi.
Yang
paling menarik adalah origami sepasang burung merpati. Origami itu berbeda dan
terlihat istimewa. Jika origami yang lain di digantung di langit-langit kamar
atau disusun menjadi tirai, origami sepasang burung merpati itu di letakkan di
dalam toples kaca yang tertutup. Kenapa coba? Kan tidak mungkin merpati kertas
itu terbang. Aneh betul Ian itu.
Terdengar
seseorang mengetuk pintu kamarku. Satu kepala mengintip dari baliknya.
“Kamu
masih marah?” Ian. Aku memandangnya sepintas. Pura-pura membaca buku.
“Jangan
marah gitu dong, Re. Aku kan cuma bercanda.”
Aku
masih diam. Siapa juga yang tidak kesal. Ditertawakan seperti itu hanya karena
aku tidak bisa membuat origami. OMG, hellouw!
“Sebagai
permintaan maaf, aku buatkan origami buat kamu deh. Ya?” bujuk Ian. Melompat ke
atas ranjangku. Membuatku bergoyang. Huh, dasar Ian.
Ah,
basi. Terlalu sering Ian membuatkan aku origami.
“Atau
kamu mau origami yang ada di kamarku. Pilih aja, Re. Tapi kamu maafin aku ya?
Please?” kata Ian bersungguh-sungguh. Menatapku penuh harap.
Aku
mendesah. Menutup buku yang sama sekali tidak kubaca.
“Aku
mau origami yang di toples itu.” Kataku tenang.
Tanpa
kuduga, Ian menggelengkan kepalanya. Menolak permintaanku. Padahal tidak
pernah sekalipun Ian menolak
permintaanku. Kenapa? Apakah origami itu sangat berarti
untuknya?
“Maaf,
Re. Aku tidak bisa. Aku tidak bisa memberikan origami itu.” Ian berlari keluar
dari kamarku. Aku mencegah tapi Ian terus berlari ke kamarnya. Mengunci pintu.
“Ian?
Ian?” Aku mengetok pintu. Tapi aku tidak mendengar suara dari dalam. Apa Ian
marah? Atau mungkin membenciku? Tiba-tiba aku merasa menyesal. Mengutuki diri
sendiri.
“Ada
apa, Re?” Bu Hana menggenggam pundakku. Aku tersenyum getir. Bola mataku
berkaca. Sepertinya aku akan menangis. Dan benar, air mataku pecah saat kuceritakan
semua pada Bu Hana. Aku benar-benar takut Ian akan membenciku.
“Kita
biarkan saja Ian sendiri dulu. Nah, sekarang lebih baik kamu bantu kakak-kakak
di dapur. Nanti malam ada tamu istimewa.”
Tamu
istimewa? Dahiku terlipat. Siapa?
Kulangkahkan
kaki menuju dapur. Sekali kumenoleh ke arah kamar Ian. Berharap Ian keluar dan
mau menemuiku. Tapi pintu kamar Ian masih tetap tertutup. Aku menghela napas
pelan. Melanjutkan langkah menuju dapur.
Siang
segera berganti malam. Rumah panti kami malam ini terlihat sangat berbeda.
Lampu-lampu dan pita-pita menghiasi setiap ruangan. Malam ini kami akan
kedatangan tamu istimewa. Siapa? Aku juga tidak tahu.
Aku
merapikan dress warna merah muda yang kukenakan. Tersenyum memandangi wajahku
di depan cermin. Sekejap menuju ruang tamu bergabung dengan yang lain. Menanti
tamu istimewa itu.
Ian? Dia
sudah keluar dari kamarnya. Memandangku sepintas kemudian berbaris bersama
teman laki-lakinya. Aku tersenyum kecut melihatnya. Berjalan dengan wajah
tertunduk ke arah baris anak perempuan.
Tiga
puluh menit kemudian.
Terdengar
deru suara mobil memasuki halaman panti. Anak-anak panti berlarian
keluar. Ingin segera
melihat tamu istimewa itu. Tapi aku terdiam di tempatku. Memandang Ian. Iapun
memandang ke arahku. Ragu-ragu aku melangkah mendekatinya. Berdiri tepat di
depannya. Menjulurkan tangan.
“Maafkan
aku.” Wajahku tertunduk.
Ian
menyambut uluran tanganku. Aku tersenyum cerah. Mengangkat wajah.
“Kita
baikan?” tanyaku. Ian tersenyum.
“Tapi,
mulai malam ini semua akan berubah. Semua tidak akan sama lagi, Re.”
Aku
melipat dahi. Tidak mengerti dengan kalimat Ian. Belum sempat kutanyakan maksud
kalimat Ian itu, Bu Hana meminta kami untuk berbaris kembali.
Sepasang
suami isteri memasuki ruang tamu. Bergantian bersalaman dengan kami. Si
laki-laki mengenakan jas warna hitam, rambutnya tersisir rapi. Sedang si
perempuan mengenakan gaun warna merah marun. Rambutnya yang panjang tergerai
dibelai kipas angin ruangan. Cantik sekali. Siapakah mereka? tanyaku dalam
hati. Jawaban itu baru kudapatkan setengah jam kemudian. Kami akan makan malam
bersama dulu dengan tamu istimewa itu.
Mbok
Inah, Kak Mira dan yang lain hilir mudir menyajikan hidangan di atas meja. Meja
panjang itupun segera penuh dengan makanan yang menggugah selera. Kulihat Bu
Hana mempersilakan tamu istimewa itu untuk mencicipi makanan yang disediakan.
Satu
jam kemudian.
Mereka
adalah Bapak Andi dan Ibu Hena. Mereka adalah orang tua kandung Ian. Tujuan mereka
datang ke panti tak lain untuk menjemput Ian pulang bersama mereka.
“Setelah
sekian lama mencari, akhirnya kami menemukan putra kami yang hilang. Ian.”
Suara Pak Andi menghentak kesadaranku. Melemparku ke dalam jurang yang dalam
dan gelap.
“Dan
terima kasih untuk Bu Hana yang telah merawat anak kami dengan baik.” Bu Hena
memeluk Ian dengan penuh sayang.
Air
mataku berjatuhan. Membasahi dress merah mudaku. Aku masih tidak percaya dengan
apa yang telah kudengar.
“Kami
berencana untuk membawa Ian ke Ausie. Melanjutkan pendidikannya di sana.”
Air
mataku semakin deras berjatuhan. Ausie? Itu berarti aku tidak akan bertemu
dengan Ian lagi? Bertahun-tahun kami selalu bersama. Pergi berdua, belajar
bersama, bercanda, tertawa. Dan sekarang aku harus melihat kenyataan bahwa Ian
akan pergi. Meninggalkanku sendiri.
Aku
berlari menjauh dari keramaian. Mencari tempat untuk menyendiri. Aku berhenti di
tempat remang di halaman belakang. Tempat ini pun akhirnya hanya akan menjadi
kenangan.
Aku
menangis. Tersedu. Menatap tanah berpasir yang membuat sepatuku kotor. Aku
tidak peduli.
Bulan di
atas sana sedang purnama. Bulatnya yang elok menatapku nanar. Seharusnya malam
ini indah. Lihatlah, bintang gemintang membentuk gugusan yang sangat memesona. Namun
di mataku semua terlihat sangat menyakitkan. Apa artinya semua ini jika Ian
pergi.
“Aku
tahu, kamu pasti di sini.” Aku menoleh. Ian berdiri di bawah daun pintu. Melangkah
mendekat.
“Maafkan
aku, Re,” kata Ian memecah sepi yang tercipta.
“Untuk
apa?”
“Untuk
semuanya. Aku akan pergi. Bukan sehari atau sebulan. Mungkin bertahun-tahun.”
Aku
diam. Menggigit bibir. Jangan pergi, Ian. Jangan tinggalkan aku.
“Aku janji
akan rajin menghubungimu.” Ian menolehkan wajahnya. Menatapku.
Tapi
semua tidak akan menyenangkan lagi. Jawabku lewat tatapan mata.
“Ya,
setelah aku pergi kamu pasti tidak akan menemukan teman seganteng, sepintar
dan sekeren aku. Iya kan?”
Ian nyengir. Menyenggol pundakku. Aku tersenyum getir. Ya, itu benar. Kamu memang
sahabatku yang paling ganteng, pintar dan keren. Aku mengakuinya
sekarang.
“Nah, ini untukmu.” Ian menyerahkan bungkusan
kotak padaku.
Apa
ini? Tanyaku. Mengerutkan dahi. Ian mengisyaratkan untuk membukanya. Ternyata
isi kotak itu adalah origami burung merpati yang aku minta. Ah, bukankah Ian bilang
tidak akan memberikannya?
“Aku
memberikan satu origami burung merpati itu padamu dan pasangannya aku simpan di
toples yang baru. Seperti hakikatnya, burung merpati akan selalu tahu ke mana
ia harus pulang. Sejauh apapun ia terbang ia tidak pernah tersesat untuk pulang.
Dan aku akan segera kembali karena di sinilah rumahku. Bersama Bu Hana,
adik-adik panti dan tentu saja kamu, Re.” Ian tersenyum. Senyum Ian laksana
setitik embun yang menyejukkan. Menghalau segala resah dan sedihku.
“Promise?”
ucapku. Mengacungkan jari kelingking ke arahnya.
“Promise!”
Balas Ian. Menyatukan jari kelingkingnya dengan jariku.
Aku
pun bisa mengiringi kepergiaan Ian dengan hati lapang. Aku yakin suatu hari
nanti Ian akan kembali membawa warna baru dalam hidupku. Sama seperti yang
selama ini ia lakukan. Mewarnai duniaku dengan origami miliknya.
Beberapa
tahun kemudian.
Usiaku
sekarang 22 tahun. Aku menjadi tenaga pengajar di salah satu taman kanak-kanak
di dekat panti. Bersama Bu Hana, aku memajukan panti asuhan. Bukan hanya tempat
untuk menampung anak-anak terlantar. Aku membangun sekolah gratis dan rumah
membaca untuk anak-anak. Alhamdulillah, semua berjalan baik dan lancar. Aku
merasa senang bisa membantu mereka. Rasanya itu … amazing. Melihat senyum lepas yang terkembang dari bibir-bibir
mungil itu lelahku serasa hilang.
Satu
hal lagi yang menarik. Aku sudah bisa membuat origami. Ya, sejak Ian pergi
entah kenapa aku bertekat untuk membuat kerajinan tangan itu. Siang dan malam
aku memelototi buku tata cara membuat origami. Aku ingin bisa membuat origami.
Kenapa? Karena dengan
membuat
origami aku merasa Ian berada di dekatku. Bersamaku.
Hari
semakin sore. Senja semakin matang. Terlihat satu dua burung terbang menuju
arah
terbenamnya
matahari. Aku menikmati pemandangan itu dari teras panti. Ditemani secangkir
teh
hangat dan buku tebal di pangkuanku. Lagu best
years of our lives yang dinyanyikan Avril berdentum merdu. Setiap liriknya
mengingatkanku pada Ian. Ah, lagi-lagi dia. Bertahun-tahun lamanya aku tidak
bisa sempurna melupakan Ian. Meski tengil dan sering menertawakanku, Ian adalah
sahabat yang baik dan spesial one for me.
Seseorang
menggedor gerbang pagar panti. Aku berdiri. Menemui orang itu. Membukakan
gerbang. Seorang laki-laki berkaca mata tersenyum ke arahku. Aku membalas
tersenyum.
“Kamu
masih ingat denganku, Rere?” tanya laki-laki itu. Aku menggeleng. Aku berusaha mengingat
tapi sungguh aku tidak ingat siapa dia. Temanku yang mana? SDkah? SMPkah?
SMAkah? Ah, aku benar-benar tidak ingat. Laki-laki berkaca mata itu tersenyum
misterius. Mengeluarkan sesuatu dari dalam tas punggungnya.
“Mungkin
kamu ingat ini.” Dia menyodorkan toples bening berisikan burung kertas padaku.
Aku
ternganga. Jelas aku ingat benda itu. Aku bahkan masih menyimpan pasangan
burung kertas itu. Laki-laki ini … Apakah dia Ian? Orang yang selama ini aku
rindukan?
“Apa
kabar, Re? Aku pulang.”
Aku tidak
bisa menahan air mataku untuk jatuh. Aku menangis. Origami burung merpati itu
telah kembali dengan pasangannya. Bersama kepulangan Ian.
“Aku
ingin mengatakan sesuatu yang seharusnya aku katakan sejak dulu. Aku … Aku
mencintaimu, Re. Maukah kamu menikah denganku?” ucap Ian. Mengeluarkan sepasang
cincin emas. Ada ukiran burung merpati di tengahnya.
Aku
mendekap mulut. Tak sanggup berucap.
Tuhan,
apakah ini nyata?
Pelan
aku mengangguk. Tanda kumenerima lamarannya. Ian tersenyum dan memelukku.
Burung
merpati akan selalu kembali pulang, sekalipun itu hanyalah burung kertas.
[*]
Kudus, 28 September 2014