Kisahku
Bab 1
Gadget Baru
Aku baru
saja menghabiskan sepiring nasi goreng yang tadi dibuat Bunda. Hm, lezat! Masakan
Bunda selalu menjadi favoritku. Setelah makan perutku rasanya kenyang dan membuatku
mengantuk. Rasa-rasanya aku ingin kembali ke tempat tidur. Menarik selimut dan
memejamkan mata. Duh, nikmatnya.
Jelas aku
tidak akan bisa melakukannya. Kalau sampai aku nekat, Mbak Anna tidak
segan-segan menyiramkan seember air ke kamarku. Membuat kasur dan tubuhku basah
kuyup. Sudah begitu, Mbak Anna akan terus mengoceh tentang kenapa harus bangun
pagi, mandi pagi dan bla bla bla. Huh! Tidakkah Mbak Anna mengerti, aku hanya
ingin tidur. Sebentar saja.
Kau benar,
Mbak Anna memang orangnya galak. Jadi kau jangan macam-macam dengannya. Kalau tidak,
rasakan sendiri akibatnya. Aku saja sudah menjadi langganan amukannya. Tidak
pagi, siang bahkan tengah malam pun Mbak Anna suka marah-marah padaku.
Apa memang
sikap orang dewasa seperti itu ya? Marah-marah sepanjang waktu. Apa mereka
tidak lelah? Apa mereka tidak bosan?
Huuuh, aku
tidak mau menjadi dewasa. Aku tidak mau seperti Mbak Anna yang suka
marah-marah. Kau juga sama kan?!
Lupakan
tentang Mbak Anna. Aku sekarang sedang galau tahu. Galau tingkat dewa sembilan
belas deh pokoknya. Jangan kau pikir galau itu cuma milik orang dewasa ya. Anak
kecil sepertiku pun bisa galau.
Aku kesal
sekali sama Bunda. Bunda tidak mau membelikan aku gadget baru. Alasannya? Kata
Bunda, aku belum waktunya punya gadget sendiri. Aku masih terlalu kecil. Huuuh,
kesel kesel kesel.
Tapi aku
tidak akan menyerah begitu saja. Aku akan berjuang untuk mendapatkan
keinginanku. Ganbate!!!
Kukatakan
pada Bunda kalau aku akan menggunakan gadget dengan baik. Aku nggak akan macem-macem deh. Janji.
"Ya
udah, Icha pinjem punya Mbak Anna aja," jawab Bunda kalem.
Pinjem Mbak
Anna? Ogah. Paling Mbak Anna nggak akan mau meminjamkan gadgetnya. Mbak Anna kan
peliiiiiiiiiit!
Karena semua
rencanaku untuk merayu Bunda tidak berhasil maka aku melakukan satu rencana
terakhir. Mogok bicara.
Rencananya
selama seminggu, aku tidak akan bicara sepatah kata pun sama Bunda juga Mbak Anna. Aku kuat nggak
ya???
"Icha,
masih marah sama Bunda ya?" suara Bunda memusnahkan lamunanku.
Aku diam.
Malas berbicara pada Bunda. Membuang muka.
"Eh,
kok anak Bunda gitu sih. Cuma gara-gara gadget Icha marah sama Bunda? Duh
sedihnya." Bunda duduk di sampingku. Mengelus kepalaku yang terbungkus
kerudung putih, seragam sekolah.
"Icha
beneran pengen punya gadget baru?" tanya Bunda. Menatapku lamat-lamat.
Aku menoleh.
Mengangguk kuat-kuat. Iya Bunda, Icha pengen punya gadget baru. Boleh ya?
"Ya
udah. Nanti sepulang sekolah kita beli gadget baru buat kamu. Tapi senyum dulu
dong."
Bibirku
menyunggingkan senyum selebar daun kelor.
Horeeeee!
Aku punya gadget baru.
Untuk
beberapa hal cara seperti ini selalu ampuh. Kau mau coba?
Aksi mogok
bicaraku pun akhirnya berakhir dengan kemenangan di tanganku.
Hohoho, senangnya. Hhh, nanti
akan aku tunjukkan gadget baruku pada teman-teman dan juga Mbak Anna. Biar
mereka semua ngiri. Xixixi …
Sepanjang
hari di sekolah aku tidak fokus mendengarkan guru. Aku tidak tenanglah. Tidak
sabar pulang sekolah dan membeli gadget impianku itu. Kenapa hari ini waktu
lambat sekali ya? Rasa-rasanya jam segitu terus. Tidak maju-maju. Bikin sensi.
Huh!
Alhamdulillah,
akhirnya … pulang juga. Harus segera meluncur ke rumah nih. Jurus seribu
langkah. Wuuuuush!
"Bunda
Bunda, kita pergi sekarang kan?"
Aku tengah
menemui Bunda yang sedang sibuk mengemasi sesuatu ke dalam kantong hitam besar.
Aku tidak terlalu memperhatikan bungkusan apa itu. Hatiku sedang diliputi
bahagia full.
Bunda
mengangguk tanpa menoleh padaku. Lalu menyerahkan satu kantong
hitam itu padaku. Bawa ke mobil,
begitu kata Bunda.
Dengan
sekuat tenaga aku berusaha membawa kantong besar itu ke dalam mobil. Kau tahu,
kantong ini berat sekali. Serasa membawa sebongkah batu besar. Tidak usah dibayangkan
kau akan lelah sendiri. Lebih baik kau bantu mengangkatnya ke mobil.
"Kita
mampir ke tempat Mbak Anna dulu, Cha. Nganterin itu." Bunda melirik dua
kantong hitam yang berhasil aku-dengan bantuanmu tentunya-masukkan ke jok
belakang mobil.
Oh, jadi itu
punya Mbak Anna. Paham dah. Mmm, tapi buat apa ya?
Ok ok
kembali ke tujuan awal. Beli gadget baru. Huh, nggak sabar. Ayo Bunda cepat
bawa mobilnya kalau perlu ngebut biar bisa cepat sampai tujuan. Ups, yang ini
jangan ditiru ya. Dengan alasan apapun, ngebut itu tidak baik. Membahayakan
keselamatanmu dan juga orang lain. Peace!
Seperti yang
tadi Bunda bilang, kami tidak langsung membeli gadget untukku, Bunda
akan mampir dulu sebentar.
Mengantarkan dua kantong hitam berisi ‘batu’ pada Mbak Anna.
Di ujung
sana Mbak Anna sudah menunggu di samping gerbang sebuah rumah. Rumah itu
sederhana saja. Kalau aku menyebut bangunan itu sebagai rumah tua. Bagaimana
tidak, pagarnya saja sudah berkarat. Dinding-dindingnya kusam dan sepertinya
sudah lama tidak dicat. Halamannya lumayan rapi sih. Banyak tanaman bunga.
Mbak Anna
terlihat lega saat melihat kedatangan kami. Segera ia membukakan gerbang agar
kami bisa masuk. Bertiga kami mengeluarkan kantong-kantong itu dari dalam
mobil.
Olala, dari
punggung Mbak Anna entah dari mana muncullah segerombol anak-anak kecil. Mereka
berlari mengerubuti kami. Menawarkan diri membantu dua kantong hitam besar itu.
Satu alisku terangkat. Kau serius adik kecil? Ini berat lho. Seorang anak
laki-laki kurus menyeringai ke arahku.
"Tenang
saja Mbak. Kami kuat kok. Cuma dua kantong ini," ucapnya dengan penuh
percaya diri.
Aih, belagu
sekali dia. Anak kurus kering seperti dia mana mungkin kuat mengangkat
kantong-kantong itu, debatku dalam hati.
Namun
seketika aku terperangah. Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Bocah
itu benar-benar mengangkat kantong itu. Seorang diri. Aku antara takjub, kagum
dan juga tidak percaya.
"Panjul
biasa jadi kuli di pasar jadi kau tidak usah heran. Mengangkat kau juga Panjul
kuat, Cha. Hehehe …" Mbak Anna terkekeh di sampingku.
Apanya yang
lucu? Aku melirik Mbak Anna. Huh, dasar Mbak Anna gariiing!
Bocah itu
membuatku penasaran. Kubuntuti dia yang tergopoh masuk ke dalam rumah yang
ternyata rumah baca itu. Setelah kukorek-korek akhirnya aku mendapat beberapa
informasi tentang bocah kurus kering itu.
Namanya
Panjul. Umurnya sembilan tahun. Kelas tiga SD. Ibunya seorang buruh cuci
sedangkan Bapak Panjul seorang kuli bangunan yang sedang cuti lantaran job yang
sepi. Panjul punya tiga adik yang masih kecil. Rahman, Rahim dan Malik.
Yang
membuatku sangat tertarik pada bocah sembilan tahun itu adalah profesinya yang
tidak lazim. Dia dengan tubuhnya yang kurus kering bekerja sebagai kuli pasar.
Itu dia lakukan setiap hari sepulang sekolah. Aku tidak sanggup membayangkan
bagaimana tubuh kecilnya itu harus mengangkat beban berat.
"Kak,
minum dulu." Panjul menyodorkan gelas berisi air putih padaku. Tersenyum
tulus. Kuterima gelas itu dalam diam. Mengikuti langkahnya masuk ke dalam. Aku
duduk di sebelah Bunda sedangkan Panjul bergabung dengan teman-teman di sudut
lain. Urusan ini membuatku lupa pada gadget. Ah, itu bisa diurus nanti. Ini
jauh lebih menarik.
Seharian aku
dan Bunda menghabiskan waktu di rumah baca itu. Baru kutahu, ternyata Mbak Anna
salah satu relawan di tempat itu. Sekitar pukul lima sore aku, Bunda dan Mbak
Anna pamit pulang. Aneh deh, rasa-rasanya aku kok pengen lebih lama di sini ya?
Aku senang bisa menghabiskan waktu bersama anak-anak itu dan juga Panjul.
“Sering-sering
datang kemari ya, Mbak.”
Panjul telah
berdiri di sampingku. Tersenyum lebar memperlihatkan deretan giginya
yang menguning. Aku menjawabnya
dengan anggukan. Iya, aku akan sering datang kemari.
Sepanjang
perjalanan pulang pun aku lebih banyak diam. Menyimak penjelasan dan cerita
Mbak Anna tentang rumah baca itu dan para penghuninya.
“Oh iya,
Bunda hampir lupa. Gadgetnya Icha.” Tiba-tiba Bunda mengerem mobil. Membuatku
dan juga Mbak Anna terdorong ke depan. Bunda, hati-hati dong! Aku manyun.
“Bunda minta
maaf ya, Cha. Ya udah sekarang kita pergi beli gadget kamu ya. Mumpung belum
gelap.”
“Nggak usah,
Bunda. Icha berubah pikiran. Icha nggak jadi beli gadget,” ucapku kalem. Bunda
dan Mbak Anna melongo mendengar kalimatku itu. Eh, kenapa? Memangnya salah?
“Kamu
serius, Cha?” Mbak Anna masih menatapku tidak percaya.
Aku
mengangguk. Ya, aku sangat serius.
“Bukannya
kemarin kamu kekeh pengen dibeliin gadget baru. Terus kenapa tiba-tiba
kamu berubah begini?”
Hm, ucapan
Mbak Anna benar juga ya. Kenapa aku berubah pikiran ya? Hm. Mungkin karena bocah itu. Iya Panjul siapa lagi. Melihatnya
membuatku tidak lagi bernafsu membeli gadget impianku itu.
Lha apa
hubungannya? Ada hubungannya lah tapi kalau aku jelaskan akan panjaaang jadi
terima aja jawabanku ya. Ok?! Maksa sedikit nggak apa-apa kan? Hehehe
Fiuuuh, untung saja Mbak Anna tidak banyak
tanya lagi. Aku lagi malas menjelaskan. Toh, bagus juga kan kalau aku tidak
jadi beli gadget baru itu. Uangnya bisa digunakan untuk hal yang lebih
bermanfaat.
Tiba-tiba
aku punya ide nih. Hehehe …
“Eh, Bunda.
Uang untuk beli gadget itu boleh Icha minta?”
Bunda
menoleh sekilas.
“Buat apa,
Cha. Bukannya tadi kamu bilang nggak jadi beli gadget.”
“Hayooo, mau
buat apa?” Mbak Anna menunjuk-nunjuk penuh curiga.
Aduh, gimana
ya bilangnya? Bingung nih.
“Icha mau … mmm
… Sini deh Bun Icha bisikin biar nggak kedengeran Mbak Anna. Wek!” kujulurkan
lidah ke arah Mbak Anna dan membisikkan rencanaku pada Bunda.
“Gimana
menurut Bunda?”
Bunda
mengangguk-angguk. Semoga saja itu pertanda baik.
“Ya … Bunda
sih setuju saja. Mbak Anna beneran nggak boleh tahu nih?” Bunda melirik Mbak
Anna yang sewot karena aku tidak mau memberitahunya. Lucu deh lihat ekspresi muka
Mbak Anna seperti itu. Hahaha …
Mbak Anna terus
melotot ke arahku dan Bunda. Aku tersenyum bahagia. Biar saja Mbak Anna
penasaran dan kau! Jangan coba-coba mengatakannya pada Mbak Anna!
***** Bersambung *****
Kudus,
5 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar