Rabu, 05 November 2014

Kisahku : Bab 1

Kisahku
Bab 1
Gadget Baru

Aku baru saja menghabiskan sepiring nasi goreng yang tadi dibuat Bunda. Hm, lezat! Masakan Bunda selalu menjadi favoritku. Setelah makan perutku rasanya kenyang dan membuatku mengantuk. Rasa-rasanya aku ingin kembali ke tempat tidur. Menarik selimut dan memejamkan mata. Duh, nikmatnya.
Jelas aku tidak akan bisa melakukannya. Kalau sampai aku nekat, Mbak Anna tidak segan-segan menyiramkan seember air ke kamarku. Membuat kasur dan tubuhku basah kuyup. Sudah begitu, Mbak Anna akan terus mengoceh tentang kenapa harus bangun pagi, mandi pagi dan bla bla bla. Huh! Tidakkah Mbak Anna mengerti, aku hanya ingin tidur. Sebentar saja.
Kau benar, Mbak Anna memang orangnya galak. Jadi kau jangan macam-macam dengannya. Kalau tidak, rasakan sendiri akibatnya. Aku saja sudah menjadi langganan amukannya. Tidak pagi, siang bahkan tengah malam pun Mbak Anna suka marah-marah padaku.
Apa memang sikap orang dewasa seperti itu ya? Marah-marah sepanjang waktu. Apa mereka tidak lelah? Apa mereka tidak bosan?
Huuuh, aku tidak mau menjadi dewasa. Aku tidak mau seperti Mbak Anna yang suka marah-marah. Kau juga sama kan?!
Lupakan tentang Mbak Anna. Aku sekarang sedang galau tahu. Galau tingkat dewa sembilan belas deh pokoknya. Jangan kau pikir galau itu cuma milik orang dewasa ya. Anak kecil sepertiku pun bisa galau.
Aku kesal sekali sama Bunda. Bunda tidak mau membelikan aku gadget baru. Alasannya? Kata Bunda, aku belum waktunya punya gadget sendiri. Aku masih terlalu kecil. Huuuh, kesel kesel kesel.
Tapi aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku akan berjuang untuk mendapatkan keinginanku. Ganbate!!!
Kukatakan pada Bunda kalau aku akan menggunakan gadget dengan baik. Aku nggak akan macem-macem deh. Janji.
"Ya udah, Icha pinjem punya Mbak Anna aja," jawab Bunda kalem.
Pinjem Mbak Anna? Ogah. Paling Mbak Anna nggak akan mau meminjamkan gadgetnya. Mbak Anna kan peliiiiiiiiiit!
Karena semua rencanaku untuk merayu Bunda tidak berhasil maka aku melakukan satu rencana terakhir. Mogok bicara.
Rencananya selama seminggu, aku tidak akan bicara sepatah kata pun sama Bunda juga Mbak Anna. Aku kuat nggak ya???
"Icha, masih marah sama Bunda ya?" suara Bunda memusnahkan lamunanku.
Aku diam. Malas berbicara pada Bunda. Membuang muka.
"Eh, kok anak Bunda gitu sih. Cuma gara-gara gadget Icha marah sama Bunda? Duh sedihnya." Bunda duduk di sampingku. Mengelus kepalaku yang terbungkus kerudung putih, seragam sekolah.
"Icha beneran pengen punya gadget baru?" tanya Bunda. Menatapku lamat-lamat.
Aku menoleh. Mengangguk kuat-kuat. Iya Bunda, Icha pengen punya gadget baru. Boleh ya?
"Ya udah. Nanti sepulang sekolah kita beli gadget baru buat kamu. Tapi senyum dulu dong."
Bibirku menyunggingkan senyum selebar daun kelor.
Horeeeee! Aku punya gadget baru.
Untuk beberapa hal cara seperti ini selalu ampuh. Kau mau coba?
Aksi mogok bicaraku pun akhirnya berakhir dengan kemenangan di tanganku.
Hohoho, senangnya. Hhh, nanti akan aku tunjukkan gadget baruku pada teman-teman dan juga Mbak Anna. Biar mereka semua ngiri. Xixixi …
Sepanjang hari di sekolah aku tidak fokus mendengarkan guru. Aku tidak tenanglah. Tidak sabar pulang sekolah dan membeli gadget impianku itu. Kenapa hari ini waktu lambat sekali ya? Rasa-rasanya jam segitu terus. Tidak maju-maju. Bikin sensi. Huh!
Alhamdulillah, akhirnya … pulang juga. Harus segera meluncur ke rumah nih. Jurus seribu langkah. Wuuuuush!
"Bunda Bunda, kita pergi sekarang kan?"
Aku tengah menemui Bunda yang sedang sibuk mengemasi sesuatu ke dalam kantong hitam besar. Aku tidak terlalu memperhatikan bungkusan apa itu. Hatiku sedang diliputi bahagia full.
Bunda mengangguk tanpa menoleh padaku. Lalu menyerahkan satu kantong
hitam itu padaku. Bawa ke mobil, begitu kata Bunda.
Dengan sekuat tenaga aku berusaha membawa kantong besar itu ke dalam mobil. Kau tahu, kantong ini berat sekali. Serasa membawa sebongkah batu besar. Tidak usah dibayangkan kau akan lelah sendiri. Lebih baik kau bantu mengangkatnya ke mobil.
"Kita mampir ke tempat Mbak Anna dulu, Cha. Nganterin itu." Bunda melirik dua kantong hitam yang berhasil aku-dengan bantuanmu tentunya-masukkan ke jok belakang mobil.
Oh, jadi itu punya Mbak Anna. Paham dah. Mmm, tapi buat apa ya?
Ok ok kembali ke tujuan awal. Beli gadget baru. Huh, nggak sabar. Ayo Bunda cepat bawa mobilnya kalau perlu ngebut biar bisa cepat sampai tujuan. Ups, yang ini jangan ditiru ya. Dengan alasan apapun, ngebut itu tidak baik. Membahayakan keselamatanmu dan juga orang lain. Peace!
Seperti yang tadi Bunda bilang, kami tidak langsung membeli gadget untukku, Bunda
akan mampir dulu sebentar. Mengantarkan dua kantong hitam berisi ‘batu’ pada Mbak Anna.
Di ujung sana Mbak Anna sudah menunggu di samping gerbang sebuah rumah. Rumah itu sederhana saja. Kalau aku menyebut bangunan itu sebagai rumah tua. Bagaimana tidak, pagarnya saja sudah berkarat. Dinding-dindingnya kusam dan sepertinya sudah lama tidak dicat. Halamannya lumayan rapi sih. Banyak tanaman bunga.
Mbak Anna terlihat lega saat melihat kedatangan kami. Segera ia membukakan gerbang agar kami bisa masuk. Bertiga kami mengeluarkan kantong-kantong itu dari dalam mobil.
Olala, dari punggung Mbak Anna entah dari mana muncullah segerombol anak-anak kecil. Mereka berlari mengerubuti kami. Menawarkan diri membantu dua kantong hitam besar itu. Satu alisku terangkat. Kau serius adik kecil? Ini berat lho. Seorang anak laki-laki kurus menyeringai ke arahku.
"Tenang saja Mbak. Kami kuat kok. Cuma dua kantong ini," ucapnya dengan penuh percaya diri.
Aih, belagu sekali dia. Anak kurus kering seperti dia mana mungkin kuat mengangkat kantong-kantong itu, debatku dalam hati.
Namun seketika aku terperangah. Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Bocah itu benar-benar mengangkat kantong itu. Seorang diri. Aku antara takjub, kagum dan juga tidak percaya.
"Panjul biasa jadi kuli di pasar jadi kau tidak usah heran. Mengangkat kau juga Panjul kuat, Cha. Hehehe …" Mbak Anna terkekeh di sampingku.
Apanya yang lucu? Aku melirik Mbak Anna. Huh, dasar Mbak Anna gariiing!
Bocah itu membuatku penasaran. Kubuntuti dia yang tergopoh masuk ke dalam rumah yang ternyata rumah baca itu. Setelah kukorek-korek akhirnya aku mendapat beberapa informasi tentang bocah kurus kering itu.
Namanya Panjul. Umurnya sembilan tahun. Kelas tiga SD. Ibunya seorang buruh cuci sedangkan Bapak Panjul seorang kuli bangunan yang sedang cuti lantaran job yang sepi. Panjul punya tiga adik yang masih kecil. Rahman, Rahim dan Malik.
Yang membuatku sangat tertarik pada bocah sembilan tahun itu adalah profesinya yang tidak lazim. Dia dengan tubuhnya yang kurus kering bekerja sebagai kuli pasar. Itu dia lakukan setiap hari sepulang sekolah. Aku tidak sanggup membayangkan bagaimana tubuh kecilnya itu harus mengangkat beban berat.
"Kak, minum dulu." Panjul menyodorkan gelas berisi air putih padaku. Tersenyum tulus. Kuterima gelas itu dalam diam. Mengikuti langkahnya masuk ke dalam. Aku duduk di sebelah Bunda sedangkan Panjul bergabung dengan teman-teman di sudut lain. Urusan ini membuatku lupa pada gadget. Ah, itu bisa diurus nanti. Ini jauh lebih menarik.
Seharian aku dan Bunda menghabiskan waktu di rumah baca itu. Baru kutahu, ternyata Mbak Anna salah satu relawan di tempat itu. Sekitar pukul lima sore aku, Bunda dan Mbak Anna pamit pulang. Aneh deh, rasa-rasanya aku kok pengen lebih lama di sini ya? Aku senang bisa menghabiskan waktu bersama anak-anak itu dan juga Panjul.
“Sering-sering datang kemari ya, Mbak.”
Panjul telah berdiri di sampingku. Tersenyum lebar memperlihatkan deretan giginya
yang menguning. Aku menjawabnya dengan anggukan. Iya, aku akan sering datang kemari.
Sepanjang perjalanan pulang pun aku lebih banyak diam. Menyimak penjelasan dan cerita Mbak Anna tentang rumah baca itu dan para penghuninya.
“Oh iya, Bunda hampir lupa. Gadgetnya Icha.” Tiba-tiba Bunda mengerem mobil. Membuatku dan juga Mbak Anna terdorong ke depan. Bunda, hati-hati dong! Aku manyun.
“Bunda minta maaf ya, Cha. Ya udah sekarang kita pergi beli gadget kamu ya. Mumpung belum gelap.”
“Nggak usah, Bunda. Icha berubah pikiran. Icha nggak jadi beli gadget,” ucapku kalem. Bunda dan Mbak Anna melongo mendengar kalimatku itu. Eh, kenapa? Memangnya salah?
“Kamu serius, Cha?” Mbak Anna masih menatapku tidak percaya.
Aku mengangguk. Ya, aku sangat serius.
“Bukannya kemarin kamu kekeh pengen dibeliin gadget baru. Terus kenapa tiba-tiba
kamu berubah begini?”
Hm, ucapan Mbak Anna benar juga ya. Kenapa aku berubah pikiran ya? Hm. Mungkin karena  bocah itu. Iya Panjul siapa lagi. Melihatnya membuatku tidak lagi bernafsu membeli gadget impianku itu.
Lha apa hubungannya? Ada hubungannya lah tapi kalau aku jelaskan akan panjaaang jadi terima aja jawabanku ya. Ok?! Maksa sedikit nggak apa-apa kan? Hehehe
 Fiuuuh, untung saja Mbak Anna tidak banyak tanya lagi. Aku lagi malas menjelaskan. Toh, bagus juga kan kalau aku tidak jadi beli gadget baru itu. Uangnya bisa digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat.
Tiba-tiba aku punya ide nih. Hehehe …
“Eh, Bunda. Uang untuk beli gadget itu boleh Icha minta?”
Bunda menoleh sekilas.
“Buat apa, Cha. Bukannya tadi kamu bilang nggak jadi beli gadget.”
“Hayooo, mau buat apa?” Mbak Anna menunjuk-nunjuk penuh curiga.
Aduh, gimana ya bilangnya? Bingung nih.
“Icha mau … mmm … Sini deh Bun Icha bisikin biar nggak kedengeran Mbak Anna. Wek!” kujulurkan lidah ke arah Mbak Anna dan membisikkan rencanaku pada Bunda.
“Gimana menurut Bunda?”
Bunda mengangguk-angguk. Semoga saja itu pertanda baik.
“Ya … Bunda sih setuju saja. Mbak Anna beneran nggak boleh tahu nih?” Bunda melirik Mbak Anna yang sewot karena aku tidak mau memberitahunya. Lucu deh lihat ekspresi muka Mbak Anna seperti itu. Hahaha …
Mbak Anna terus melotot ke arahku dan Bunda. Aku tersenyum bahagia. Biar saja Mbak Anna penasaran dan kau! Jangan coba-coba mengatakannya pada Mbak Anna!

*****  Bersambung  *****

Kudus, 5 November 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar