Senin, 10 November 2014

Cerpen : Pelangi untuk Raisa



Pelangi untuk Raisa
Oleh : Nuril Islam

"Bagaimana dok? Putri saya sakit apa?" seorang lelaki berkaca mata bertanya pada sang dokter. Wajahnya terlihat tegang.
"Berdasarkan tes yang telah dilakukan putri Anda, putri Anda positif mengidap leukimia," tutur sang dokter.
Lelaki berkaca mata itu tertunduk lesu setelah mendengar jawaban dari dokter. Matanya mengembun dan pandangannya kabur. Dia benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Putri kesayangannya terkena leukimia.
"Yang sabar Pak." Sang dokter berusaha menenangkan.
Percuma. Lelaki berkaca mata itu terlanjur menangis. Tersedu dalam penyesalan.
****** $ ******
"Perhatian, anak-anak. Hari ini kita kedatangan teman baru. Namanya Raisa. Siswi pindahan dari kota. Ibu minta kalian bersikap baik padanya dan menjalin persahabatan dengan Raisa. Mengerti semua?" tanya sang guru. Memandang seluruh penghuni kelas.
"Mengerti, Bu." Semua siswa menjawab bersamaan.
"Nah, Raisa sekarang kamu bisa duduk."
Gadis berjilbab itu mengangguk. Berjalan pelan menuju satu-satunya bangku yang kosong di kelas itu.
"Hai, aku Raisa. Kamu?" Raisa mengulurkan tangan. Mengajak berkenalan seseorang yang duduk di sebelahnya.
Hampir dua menit Raisa mengulurkan tangannya namun orang disebelahnya itu tetap tidak merespon, justru terlihat cuek dan mungkin malah terganggu dengan kehadiran Raisa di sebelahnya. Akhirnya Raisa menarik kembali tangannya sambil manyun. Huh menyebalkan, gerutu Raisa dalam hati.
Raisa tipikal orang yang mudah bergaul jadi tidak heran jika dia mudah akrab dengan semua teman sekelasnya, kecuali dengan makhluk cuek yang di duduk sebelahnya.
"Oh dia, namanya Agam. Dia memang pendiam dan cenderung cuek. Jadi kamu nggak perlu ambil pusing sama sikapnya. Meskipun aneh sebenarnya dia baik kok," terang Winda, wajahnya berbinar mengikuti gerak tangan Bu kantin yang meletakkan sepiring bakwan goreng ke meja mereka. Sekejap sepiring bakwan goreng itu telah berpindah ke dalam perut Winda.
Saat itu Raisa, Winda dan Sisil sedang menikmati menu makan siang mereka di kantin
sekolah. Tidak sengaja Raisa melihat bayangan tubuh makhluk cuek itu dan karena penasaran
Raisa bertanya pada Winda.
"Dia anak rohis lho, Sa. Ketua rohis malah." Sisil menyahuti. Merapikan jilbabnya yang mencang-mencong.
"Dia itu berwibawa, tegas, baik dan ramah. Idaman banget deh pokoknya," tambah Sisil.
Raisa menyruput habis es teh miliknya. Berfikir.
Dia baik, ramah, dan apa tadi Sisil bilang? Berwibawa? Makhluk cuek itu? Oh, aku rasa tidak. Raisa menggeleng. Berbicara pada dirinya sendiri. Winda dan Sisil sedang asyik dengan makanan mereka sehingga mereka tidak menyadari sikap aneh Raisa itu.
****** $ ******
Senin pagi yang cerah. Raisa tengah bersiap untuk berangkat sekolah. Diraihnya tas sekolahnya. Namun langkah Raisa tiba-tiba terhenti. Ekor matanya menatap bayangan wajahnya di cermin. Setetes cairan merah meleleh dari hidungnya. Raisa tergeragap. Mencari tissue dan segera menghapus noda merah itu. Raisa tidak ingin Ayahnya tahu.
Pukul setengah tujuh Raisa sudah sampai ke sekolah. Raisa tersenyum. Mencium punggung tangan Ayahnya sebelum turun dari mobil.
"Raisa masuk ya Yah. Ayah hati-hati di jalan. Jangan ngebut." Raisa terkekeh.
"Iya. Kamu juga. Belajar yang rajin dan jangan capek-capek. Nanti pulang sekolah Ayah jemput."
Raisa mengangguk. Turun dari mobil. Melambai pada Ayahnya.
"Da, Yah."
Saat melangkah menuju kelas Raisa melihat si makhluk cuek, Agam dan Sisil sedang menempelkan sesuatu di mading sekolah.
"Mereka sedang apa ya?"
Penasaran Raisa mempercepat langkahnya.
"Apa itu, Sil?" tanyanya setelah berdiri di samping Sisil. Agam sudah berlalu dari tempat mading.
"Eh, Raisa. Ini lho. Anak-anak rohis mau mengadakan bakti sosial. Kami membuka pendaftaran untuk murid-murid yang ingin ikut. Makin banyak orang kan makin seru. Ya nggak, Sa?"
Raisa hanya mengangguk. Mata lentiknya terus menatap dan membaca pengumuman
yang baru ditempelkan Sisil itu. Raisa tertegun dengan tulisan di bagian paling bawah pengumuman itu.
"Setiap siswa yang ingin ikut, diwajibkan untuk membuat surat pernyataan persetujuan
dari orang tua masing-masing."
Surat pernyataan orang tua? Ah, Ayah pasti tidak akan mengizinkan. Tapi aku ingin ikut. Hm, bagaimana ya caranya?
Raisa sibuk berfikir. Mencari cara agar Ayahnya memberikannya izin untuk mengikuti bakti sosial itu. Saat itulah dari arah belakang, Winda berjalan mengendap-endap. Dia ingin mengejutkan kedua sahabatnya, Sisil dan Raisa.
"DOR!!!" seru Winda.
Seketika Raisa dan Sisil melonjak kaget. Raisa bahkan sampai merasa sangat pusing setelah dikagetkan oleh Winda. Hampir saja rubuh.
"Kamu sih, Wind. Jahil banget sih. Lihatkan sekarang. Kamu nggak apa-apa, Sa?" Sisil merangkul pundak Raisa. Untunglah Sisil sigap kalau tidak mungkin Raisa sudah terjatuh ke lantai.
"E … E … Aku nggak sengaja. Aku nggak bermaksud untuk …"
"Sudahlah, Wind. Aku nggak apa-apa kok." Raisa menyentuh punggung tangan sahabatnya itu. Tersenyum tipis. Wajah Raisa pucat dan keringat dingin meleleh dari balik jilbabnya.
Bel masuk berbunyi. Raisa pun akhirnya dipapah ke ruang UKS.
Saat bel istirahat, Winda dan Sisil meluncur ke ruang UKS. Memastikan kondisi Raisa. Di tengah jalan, mereka berpapasan dengan Agam.
"Kebetulan kamu di sini, Sil. Aku minta tolong …"
"Eh, Gam. Minta tolongnya ntar aja ya. Aku lagi buru-buru nih," potong Sisil.
Dahi Agam berkerut. Memandangi Winda dan Sisil bergantian.
"Sekarang Raisa ada di UKS. Nah, kami berdua mau menjenguk dia. Gitu lho Gam," jelas Winda.
"Memangnya Raisa kenapa? Pantas saja tadi tidak ada di kelas."
"Entahlah. Tadi pagi tiba-tiba saja Raisa pusing. Sudah dulu ya. Keburu bel masuk nih. Assalamu'alaikum,"  ucap Sisil sambil menarik tangan Winda menjauh dari Agam.
Sedangkan di ruang UKS Raisa tengah menangis. Meratapi nasib hidupnya. Dia merasa hidupnya itu tidak berguna. Dia hanya menyusahkan Ayah dan teman-temannya. Karena penyakit yang dia derita, dia tidak pernah punya teman. Dia tidak pernah bisa pergi hangout, belajar bareng, berlibur dan hal menyenangkan lainnya. Setiap hari sepulang sekolah, Raisa harus di rumah. Belajar sendiri, membaca buku, bermain gitar, minum obat, chek up. Begitu-begitu saja hidupnya. Raisa menghela napas. Ketika itu pintu ruang UKS diketuk dan muncullah Winda dan Sisil.
Mungkin merekalah yang aku punya sekarang, batin Raisa. Air matanya meleleh.
"Lho, Sa. Kamu kok nangis? Kenapa? Kamu masih pusing?" tanya Sisil cemas. Sisil dan Winda setengah berlari ke samping ranjang Raisa.
"Nggak kok. Aku cuma terharu saja. Karena kalian mau menjenguk aku."
Mereka bertiga pun berpelukan.
"Kami akan selalu menemanimu, Sa. Kita kan sahabat," ucap Winda.
Satu bayangan mengamati mereka dari balik jendela UKS.
****** $ ******
Hari bakti sosial itu pun tiba. Raisa bisa bernapas lega karena akhirnya dia berhasil membujuk Ayahnya untuk menandatangani surat pernyataan itu. Tapi Raisa tidak akan lupa pada pesan Ayah padanya.
"Jangan telat makan. Jangan capek-capek dan bla bla bla" yang hanya dijawab Raisa dengan anggukan kepala.
Pukul 06.30 pagi, para anggota rohis dan siswa relawan berkumpul di sekolah. Pukul tujuh tepat mereka berangkat menggunakan bis sewaan.
Selama perjalanan itu Raisa memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Memandangi pemandangan dari luar jendela. Bercanda dengan kedua sahabatnya bahkan Raisa tidak sungkan untuk bernyanyi diiringi petikan gitar dari jari lentiknya.
Agam termangu memandangi Raisa. Matanya terus menatap Raisa yang tertawa lebar bersama teman-teman yang lain.
"Woi, Bro!!!" Satyo yang duduk di sebelah Agam menepuk bahu Agam cukup keras. Karena ditepuk begitu Agam meringis dan mendelik pada Satyo.
"Ngeliatin siapa sih? Ah, aku tahu. Lo ngeliatin si Raisa ya, Gam. Cie cie …"
Agam berusaha mengelak pernyataan Satyo itu namun entah kenapa hatinya seakan membenarkannya. Apa aku memang …? Cepat Agam menepisnya dan balik menatap Satyo lebih garang. Satyo mengkerut.
"Eh, Gam. Tapi kalau dilihat-lihat Raisa cantik juga lho. Hehehe …"
Agam menimpuk Satyo dengan buku bacaan di tangannya. Satyo meringis dan kemudian tidak bersuara lagi.
Menjelang magrib, acara bakti sosial itu baru selesai. Agam dan yang lain mampir ke sebuah mushola kecil yang tidak jauh dari tempat mereka melakukan bakti sosial.
"Karena sudah mau masuk waktu salat magrib, untuk itu kita salat dulu di sini baru
setelah itu kita melanjutkan perjalanan. Yang laki-laki bisa mengikuti saya, yang perempuan bisa mengikuti rekanita Desi." Agam mengajak rombongan laki-laki mengambil wudhu.
Khusyuk mereka mendirikan salat magrib. Salat berjama'ah itu diimami oleh seorang
pemuka desa yang sudah sepuh. Meski begitu, bacaannya sangat tartil dan menyejukkan hati. Raisa bahkan sampai menangis dalam salatnya.
"Aduh, Wind. Sil. Kepalaku pusing banget. Aduh …" Raisa meraba tubuh siapapun untuk berpegangan. Menjatuhkan mukena yang tadi dikenakannya. Jamaah putri pun mengerubuni Raisa yang tiba-tiba jatuh tersungkur dengan hidung yang mengeluarkan darah.
"Sa, hidungmu berdarah. Sil, gimana nih?" Winda membaringkan tubuh Raisa dalam pangkuannya dan menghapus cairan merah yang terus keluar.
Mata Raisa berkedip-kedip, mencoba tetap membuka matanya. Patah-patah Raisa menggelengkan kepalanya, "Tidak apa-apa. Ini cuma mimisan biasa kok."
Sisil mengeluarkan tissue dari sakunya dan membersihkan bekas merah di hidung Raisa. Memang dasar Winda yang heboh, dia pun berteriak keras membuat jamaah laki-laki terganggu.
"Ada apa sih, Wind? Ini mushola jadi jaga mulutmu itu. Bicara pelan saja kenapa?!" Teo memarahi Winda. Dia tidak melihat Raisa yang setengah pingsan dalam pangkuan Winda.
"Kau tidak lihat. Nih! Raisa pingsan. Kamu cepet panggil Agam. Cepet!" Perintah Winda.
Sedetik Teo melihat sosok tubuh yang terbaring lemah di pangkuan Winda. Tanpa disuruh dua kali, Teo segera memanggil Agam. Akhirnya, Agam dan dibantu seorang teman mengangat tubuh Raisa ke atas bis.
"Kita langsung ke rumah sakit saja Pak," pinta Agam pada Pak Sopir.
Raisa menarik lengang baju Agam. Menggelengkan kepalanya. Cairan merah itu kembali menetes. Meninggalkan noda di jilbab Raisa.
"Tidak, Sa. Kamu harus ke rumah sakit. Sekalipun kau menolak, aku akan tetap membawamu ke rumah sakit. Ini kedua kalinya kau seperti ini kan? Lalu kenapa kau biarkan? Kau tidak sayang pada tubuhmu?" Agam berkata dengan suara tinggi. Membuat semua penghuni bis terbungkam. Winda dan Sisil pun mengangguk, setuju dengan Agam.  
Raisa mendesah pasrah. Raisa tidak menyangka, makhluk cuek seperti Agam ternyata perhatian padanya.
Berita tentang Raisa yang pingsan itu pun sampai pada Ayah Raisa. Ayah Raisa yang memang sejak awal tidak setuju dengan permintaan Raisa itu hanya bisa menyesali keputusannya yang mengizinkan Raisa pergi. Segera Ayah Raisa meluncur menuju rumah sakit tempat Raisa di rawat.
Air mata itu tidak sanggup dibendung. Deras mengalir di pipi tegas Ayah Raisa. Membuat kaca mata Ayah Raisa basah. Lembut Raisa menghapusnya. Tersenyum menenangkan hati Ayahnya.
"Ayah sudah menduga hal ini. Ayah takut kehilangan kamu, sayang." Ayah Raisa membelai rambut Raisa yang tergerai.
"Raisa hanya ingin merasakan sesuatu yang baru, Ayah. Raisa ingin memanfaatkan waktu hidup Raisa yang tidak lama ini untuk hal-hal baik sebelum ajal menjemput Raisa. Ayah selalu bilang kan, kalau kita harus berbuat baik pada orang lain. Dengan begitu barulah kita menjadi orang yang bermanfaat."
Ayah Raisa akhirnya tersenyum, mengangguk.
Setiap hari, ruang rawat Raisa tidak pernah sepi. Selalu saja ada yang menjenguk. Rekan kerja Ayah Raisa, tetangga, teman sekelas, teman bakti sosial dan masih banyak lagi. Winda dan Sisil menjadi pengunjung rutin rumah sakit. Agam pun tiba-tiba menjadi sangat rajin menjenguk Raisa. Membawakan buah, boneka, buku dan entah apalagi. Raisa sampai heran dengan perubahan Agam yang mendadak itu.
"Kenapa kau merahasiakan penyakitmu dari kami, Sa?" tanya Agam. Raisa dan Agam tengah berbincang di taman rumah sakit. Menghirup udara sore. Raisa sudah diizinkan keluar ruangan oleh dokter tapi belum diizinkan pulang.
"Untuk apa? Aku tidak ingin membebani orang lain dengan penyakitku." Raisa membelai bulu boneka teddy, pemberian Agam.
"Justru dengan tidak mengatakannya, kau membebani orang lain. Kalau sejak awal aku tahu kau sakit …" Agam menelah ludah sebelum melanjutkan kalimatnya, "Pasti aku tidak akan mengizinkanmu untuk ikut acara bakti sosial itu." Agam menatap Raisa tajam. Rasa marah, sedih dan menyesal menumpuk di sudut matanya.
 Raisa mengalihkan pandangannya dari boneka teddy yang dipangkunya. Menyeringai pada Agam.
"Apakah seorang pesakitan sepertiku tidak boleh mendapatkan kebebasan?! Bertahun-tahun aku terkurung di dalam rumah. Tidak boleh mengikuti kegiatan apapun. Aku jenuh. Aku ingin sesuatu yang baru. Aku tahu kalau hidupku tidak lama lagi. Aku sadar jika ajal akan segera menjemputku . Karena itulah, Gam sebelum semua itu terjadi, sebelum aku pergi untuk selamanya aku ingin melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk orang lain walaupun hanya hal kecil."
Mata Raisa berkaca. Namun Raisa tidak mau menangis apalagi di depan Agam.
Keduanya pun akhirnya terdiam. Hanyut dengan pikiran masing-masing. Raisa memeluk erat
boneka teddynya. Terus berusaha untuk tidak menangis.
"Sa, lihat itu." Agam memandang ke langit biru. Menunjuk lingkaran berwarna-warni di sela pepohonan hijau. Raisa mendongak, penasaran. Matanya memburu ke arah yang ditunjuk Agam. Tepat di atas pohon akasia itu, pelangi melengkung dengan indahnya.
"Kau suka?" tanya Agam. Raisa mengangguk.  Memandang takjup lengkungan warna-warni itu.
"Tapi, aku rasa … Aku tidak akan bisa melihatnya lagi setelah hari ini." Raisa tersenyum kecut.
"Jangan berkata begitu. Hidup ataupun matinya seseorang, hanya Tuhanlah yang tahu. Mulai besok, aku akan membawakan pelangi untukmu." Agam tersenyum penuh arti.
Ucapan Agam itu bukan bualan. Keesokan harinya, sepulang sekolah Agam membawa pelangi, tepatnya lukisan pelangi untuk Raisa. Raisa menerimanya dengan hati bahagia. Lukisan Agam itu sangat indah. Jauh lebih indah dari pelangi yang dilihatnya kemarin bersama Agam di taman rumah sakit.
****** $ ******
Mobil hitam mengkilap itu berhenti tepat di depan sebuah pemakaman umum. Seorang pemuda turun membawa gulungan kertas. Pemuda itu melangkah masuk ke dalam makam dan tersenyum ramah pada penjaga makam yang ditemuinya.
Langkahnya terhenti. Pemuda itu berjongkok. Mengusap batu nisan di depannya yang berembun. Menaburkan bunga di atas pusara. Pemuda itu kembali mengusap permukaan nisan itu. Mengeja dengan hati teriris nama yang terpahat di sana. RAISA PUTRI. Sejenak dia menengadahkan tangan, berdoa untuk Raisa.
"Apa kabar, Sa? Maaf seminggu ini aku tidak menengokmu. Ah ya, aku punya sesuatu untukmu. Semoga kau suka." Agam, pemuda itu merentangkan kertas yang dibawanya.
"Lukisan ini aku buat di pantai indrayanti. Cantik kan, Sa."
Beberapa menit Agam terdiam. Menatap lekat nama Raisa di batu nisan. Menghela napas pelan. Dia merentangkan lukisan pelangi itu di atas pusara Raisa.
"Aku pamit ya, Sa. Besok aku akan datang lagi. Membawa pelangi kesukaanmu. Seperti biasanya." Agam tersenyum, mengusap sekali lagi batu nisan Raisa dan kemudian beranjak pergi dari pemakaman itu.

Kematian bisa membuat seseorang berpisah dengan orang yang dicintainya, tapi kematian tidak akan bisa menghilangkan rasa cinta yang tertancap kuat di hati.
                                


Kudus, 10 November 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar