Pelangi untuk Raisa
Oleh : Nuril Islam
"Bagaimana dok? Putri saya sakit apa?"
seorang lelaki berkaca mata bertanya pada sang dokter. Wajahnya terlihat
tegang.
"Berdasarkan tes yang telah dilakukan putri
Anda, putri Anda positif mengidap leukimia," tutur sang dokter.
Lelaki berkaca mata itu tertunduk lesu setelah
mendengar jawaban dari dokter. Matanya mengembun dan pandangannya kabur. Dia
benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Putri
kesayangannya terkena leukimia.
"Yang sabar Pak." Sang dokter berusaha
menenangkan.
Percuma. Lelaki berkaca mata itu terlanjur menangis.
Tersedu dalam penyesalan.
****** $ ******
"Perhatian, anak-anak. Hari ini kita kedatangan
teman baru. Namanya Raisa. Siswi pindahan dari kota. Ibu minta kalian bersikap
baik padanya dan menjalin persahabatan dengan Raisa. Mengerti semua?"
tanya sang guru. Memandang seluruh penghuni kelas.
"Mengerti, Bu." Semua siswa menjawab
bersamaan.
"Nah, Raisa sekarang kamu bisa duduk."
Gadis berjilbab itu mengangguk. Berjalan pelan
menuju satu-satunya bangku yang kosong di kelas itu.
"Hai, aku Raisa. Kamu?" Raisa mengulurkan
tangan. Mengajak berkenalan seseorang yang duduk di sebelahnya.
Hampir dua menit Raisa mengulurkan tangannya namun
orang disebelahnya itu tetap tidak merespon, justru terlihat cuek dan mungkin malah
terganggu dengan kehadiran Raisa di sebelahnya. Akhirnya Raisa menarik kembali
tangannya sambil manyun. Huh menyebalkan, gerutu Raisa dalam hati.
Raisa tipikal orang yang mudah bergaul jadi tidak
heran jika dia mudah akrab dengan semua teman sekelasnya, kecuali dengan
makhluk cuek yang di duduk sebelahnya.
"Oh dia, namanya Agam. Dia memang pendiam dan
cenderung cuek. Jadi kamu nggak perlu ambil pusing sama sikapnya. Meskipun aneh
sebenarnya dia baik kok," terang Winda, wajahnya berbinar mengikuti gerak tangan
Bu kantin yang meletakkan sepiring bakwan goreng ke meja mereka. Sekejap sepiring
bakwan goreng itu telah berpindah ke dalam perut Winda.
Saat itu Raisa, Winda dan Sisil sedang menikmati
menu makan siang mereka di kantin
sekolah.
Tidak sengaja Raisa melihat bayangan tubuh makhluk cuek itu dan karena
penasaran
Raisa
bertanya pada Winda.
"Dia anak rohis lho, Sa. Ketua rohis
malah." Sisil menyahuti. Merapikan jilbabnya yang mencang-mencong.
"Dia itu berwibawa, tegas, baik dan ramah.
Idaman banget deh pokoknya," tambah Sisil.
Raisa menyruput habis es teh miliknya. Berfikir.
Dia baik, ramah, dan apa tadi Sisil bilang? Berwibawa?
Makhluk cuek itu? Oh, aku rasa tidak. Raisa menggeleng. Berbicara pada dirinya sendiri.
Winda dan Sisil sedang asyik dengan makanan mereka sehingga mereka tidak
menyadari sikap aneh Raisa itu.
****** $ ******
Senin pagi yang cerah. Raisa tengah bersiap untuk
berangkat sekolah. Diraihnya tas sekolahnya. Namun langkah Raisa tiba-tiba
terhenti. Ekor matanya menatap bayangan wajahnya di cermin. Setetes cairan
merah meleleh dari hidungnya. Raisa tergeragap. Mencari tissue dan segera
menghapus noda merah itu. Raisa tidak ingin Ayahnya tahu.
Pukul setengah tujuh Raisa sudah sampai ke sekolah.
Raisa tersenyum. Mencium punggung tangan Ayahnya sebelum turun dari mobil.
"Raisa masuk ya Yah. Ayah hati-hati di jalan.
Jangan ngebut." Raisa terkekeh.
"Iya. Kamu juga. Belajar yang rajin dan jangan
capek-capek. Nanti pulang sekolah Ayah jemput."
Raisa mengangguk. Turun dari mobil. Melambai pada
Ayahnya.
"Da, Yah."
Saat melangkah menuju kelas Raisa melihat si makhluk
cuek, Agam dan Sisil sedang menempelkan sesuatu di mading sekolah.
"Mereka sedang apa ya?"
Penasaran Raisa mempercepat langkahnya.
"Apa itu, Sil?" tanyanya setelah berdiri
di samping Sisil. Agam sudah berlalu dari tempat mading.
"Eh, Raisa. Ini lho. Anak-anak rohis mau
mengadakan bakti sosial. Kami membuka pendaftaran untuk murid-murid yang ingin
ikut. Makin banyak orang kan makin seru. Ya nggak, Sa?"
Raisa hanya mengangguk. Mata lentiknya terus menatap
dan membaca pengumuman
yang
baru ditempelkan Sisil itu. Raisa tertegun dengan tulisan di bagian paling
bawah pengumuman itu.
"Setiap siswa yang ingin ikut, diwajibkan untuk
membuat surat pernyataan persetujuan
dari
orang tua masing-masing."
Surat pernyataan orang tua? Ah, Ayah pasti tidak
akan mengizinkan. Tapi aku ingin ikut. Hm, bagaimana ya caranya?
Raisa sibuk berfikir. Mencari cara agar Ayahnya
memberikannya izin untuk mengikuti bakti sosial itu. Saat itulah dari arah
belakang, Winda berjalan mengendap-endap. Dia ingin mengejutkan kedua
sahabatnya, Sisil dan Raisa.
"DOR!!!" seru Winda.
Seketika Raisa dan Sisil melonjak kaget. Raisa
bahkan sampai merasa sangat pusing setelah dikagetkan oleh Winda. Hampir saja rubuh.
"Kamu sih, Wind. Jahil banget sih. Lihatkan
sekarang. Kamu nggak apa-apa, Sa?" Sisil merangkul pundak Raisa. Untunglah
Sisil sigap kalau tidak mungkin Raisa sudah terjatuh ke lantai.
"E … E … Aku nggak sengaja. Aku nggak bermaksud
untuk …"
"Sudahlah, Wind. Aku nggak apa-apa kok."
Raisa menyentuh punggung tangan sahabatnya itu. Tersenyum tipis. Wajah Raisa
pucat dan keringat dingin meleleh dari balik jilbabnya.
Bel masuk berbunyi. Raisa pun akhirnya dipapah ke
ruang UKS.
Saat bel istirahat, Winda dan Sisil meluncur ke
ruang UKS. Memastikan kondisi Raisa. Di tengah jalan, mereka berpapasan dengan
Agam.
"Kebetulan kamu di sini, Sil. Aku minta tolong
…"
"Eh, Gam. Minta tolongnya ntar aja ya. Aku lagi
buru-buru nih," potong Sisil.
Dahi Agam berkerut. Memandangi Winda dan Sisil
bergantian.
"Sekarang Raisa ada di UKS. Nah, kami berdua
mau menjenguk dia. Gitu lho Gam," jelas Winda.
"Memangnya Raisa kenapa? Pantas saja tadi tidak
ada di kelas."
"Entahlah. Tadi pagi tiba-tiba saja Raisa
pusing. Sudah dulu ya. Keburu bel masuk nih. Assalamu'alaikum," ucap Sisil sambil menarik tangan Winda menjauh
dari Agam.
Sedangkan di ruang UKS Raisa tengah menangis.
Meratapi nasib hidupnya. Dia merasa hidupnya itu tidak berguna. Dia hanya
menyusahkan Ayah dan teman-temannya. Karena penyakit yang dia derita, dia tidak
pernah punya teman. Dia tidak pernah bisa pergi hangout, belajar bareng, berlibur dan hal menyenangkan lainnya.
Setiap hari sepulang sekolah, Raisa harus di rumah. Belajar sendiri, membaca
buku, bermain gitar, minum obat, chek up. Begitu-begitu saja hidupnya. Raisa
menghela napas. Ketika itu pintu ruang UKS diketuk dan muncullah Winda dan
Sisil.
Mungkin merekalah yang aku punya sekarang, batin
Raisa. Air matanya meleleh.
"Lho, Sa. Kamu kok nangis? Kenapa? Kamu masih
pusing?" tanya Sisil cemas. Sisil dan Winda setengah berlari ke samping
ranjang Raisa.
"Nggak kok. Aku cuma terharu saja. Karena
kalian mau menjenguk aku."
Mereka bertiga pun berpelukan.
"Kami akan selalu menemanimu, Sa. Kita kan
sahabat," ucap Winda.
Satu bayangan mengamati mereka dari balik jendela
UKS.
****** $ ******
Hari bakti sosial itu pun tiba. Raisa bisa bernapas
lega karena akhirnya dia berhasil membujuk Ayahnya untuk menandatangani surat
pernyataan itu. Tapi Raisa tidak akan lupa pada pesan Ayah padanya.
"Jangan telat makan. Jangan capek-capek dan bla
bla bla" yang hanya dijawab Raisa dengan anggukan kepala.
Pukul 06.30 pagi, para anggota rohis dan siswa relawan
berkumpul di sekolah. Pukul tujuh tepat mereka berangkat menggunakan bis
sewaan.
Selama perjalanan itu Raisa memanfaatkan waktu
sebaik-baiknya. Memandangi pemandangan dari luar jendela. Bercanda dengan kedua
sahabatnya bahkan Raisa tidak sungkan untuk bernyanyi diiringi petikan gitar
dari jari lentiknya.
Agam termangu memandangi Raisa. Matanya terus
menatap Raisa yang tertawa lebar bersama teman-teman yang lain.
"Woi, Bro!!!" Satyo yang duduk di sebelah
Agam menepuk bahu Agam cukup keras. Karena ditepuk begitu Agam meringis dan
mendelik pada Satyo.
"Ngeliatin siapa sih? Ah, aku tahu. Lo
ngeliatin si Raisa ya, Gam. Cie cie …"
Agam berusaha mengelak pernyataan Satyo itu namun
entah kenapa hatinya seakan membenarkannya. Apa aku memang …? Cepat Agam
menepisnya dan balik menatap Satyo lebih garang. Satyo mengkerut.
"Eh, Gam. Tapi kalau dilihat-lihat Raisa cantik
juga lho. Hehehe …"
Agam menimpuk Satyo dengan buku bacaan di tangannya.
Satyo meringis dan kemudian tidak bersuara lagi.
Menjelang magrib, acara bakti sosial itu baru
selesai. Agam dan yang lain mampir ke sebuah mushola kecil yang tidak jauh dari
tempat mereka melakukan bakti sosial.
"Karena sudah mau masuk waktu salat magrib,
untuk itu kita salat dulu di sini baru
setelah
itu kita melanjutkan perjalanan. Yang laki-laki bisa mengikuti saya, yang
perempuan bisa mengikuti rekanita Desi." Agam mengajak rombongan laki-laki
mengambil wudhu.
Khusyuk mereka mendirikan salat magrib. Salat
berjama'ah itu diimami oleh seorang
pemuka
desa yang sudah sepuh. Meski begitu, bacaannya sangat tartil dan menyejukkan
hati. Raisa bahkan sampai menangis dalam salatnya.
"Aduh, Wind. Sil. Kepalaku pusing banget. Aduh
…" Raisa meraba tubuh siapapun untuk berpegangan. Menjatuhkan mukena yang
tadi dikenakannya. Jamaah putri pun mengerubuni Raisa yang tiba-tiba jatuh
tersungkur dengan hidung yang mengeluarkan darah.
"Sa, hidungmu berdarah. Sil, gimana nih?"
Winda membaringkan tubuh Raisa dalam pangkuannya dan menghapus cairan merah
yang terus keluar.
Mata Raisa berkedip-kedip, mencoba tetap membuka
matanya. Patah-patah Raisa menggelengkan kepalanya, "Tidak apa-apa. Ini
cuma mimisan biasa kok."
Sisil mengeluarkan tissue dari sakunya dan
membersihkan bekas merah di hidung Raisa. Memang dasar Winda yang heboh, dia
pun berteriak keras membuat jamaah laki-laki terganggu.
"Ada apa sih, Wind? Ini mushola jadi jaga
mulutmu itu. Bicara pelan saja kenapa?!" Teo memarahi Winda. Dia tidak
melihat Raisa yang setengah pingsan dalam pangkuan Winda.
"Kau tidak lihat. Nih! Raisa pingsan. Kamu
cepet panggil Agam. Cepet!" Perintah Winda.
Sedetik Teo melihat sosok tubuh yang terbaring lemah
di pangkuan Winda. Tanpa disuruh dua kali, Teo segera memanggil Agam. Akhirnya,
Agam dan dibantu seorang teman mengangat tubuh Raisa ke atas bis.
"Kita langsung ke rumah sakit saja Pak,"
pinta Agam pada Pak Sopir.
Raisa menarik lengang baju Agam. Menggelengkan
kepalanya. Cairan merah itu kembali menetes. Meninggalkan noda di jilbab Raisa.
"Tidak, Sa. Kamu harus ke rumah sakit.
Sekalipun kau menolak, aku akan tetap membawamu ke rumah sakit. Ini kedua
kalinya kau seperti ini kan? Lalu kenapa kau biarkan? Kau tidak sayang pada
tubuhmu?" Agam berkata dengan suara tinggi. Membuat semua penghuni bis
terbungkam. Winda dan Sisil pun mengangguk, setuju dengan Agam.
Raisa mendesah pasrah. Raisa tidak menyangka,
makhluk cuek seperti Agam ternyata perhatian padanya.
Berita tentang Raisa yang pingsan itu pun sampai
pada Ayah Raisa. Ayah Raisa yang memang sejak awal tidak setuju dengan
permintaan Raisa itu hanya bisa menyesali keputusannya yang mengizinkan Raisa
pergi. Segera Ayah Raisa meluncur menuju rumah sakit tempat Raisa di rawat.
Air mata itu tidak sanggup dibendung. Deras mengalir
di pipi tegas Ayah Raisa. Membuat kaca mata Ayah Raisa basah. Lembut Raisa
menghapusnya. Tersenyum menenangkan hati Ayahnya.
"Ayah sudah menduga hal ini. Ayah takut
kehilangan kamu, sayang." Ayah Raisa membelai rambut Raisa yang tergerai.
"Raisa hanya ingin merasakan sesuatu yang baru,
Ayah. Raisa ingin memanfaatkan waktu hidup Raisa yang tidak lama ini untuk
hal-hal baik sebelum ajal menjemput Raisa. Ayah selalu bilang kan, kalau kita
harus berbuat baik pada orang lain. Dengan begitu barulah kita menjadi orang
yang bermanfaat."
Ayah Raisa akhirnya tersenyum, mengangguk.
Setiap hari, ruang rawat Raisa tidak pernah sepi.
Selalu saja ada yang menjenguk. Rekan kerja Ayah Raisa, tetangga, teman
sekelas, teman bakti sosial dan masih banyak lagi. Winda dan Sisil menjadi
pengunjung rutin rumah sakit. Agam pun tiba-tiba menjadi sangat rajin menjenguk
Raisa. Membawakan buah, boneka, buku dan entah apalagi. Raisa sampai heran
dengan perubahan Agam yang mendadak itu.
"Kenapa kau merahasiakan penyakitmu dari kami,
Sa?" tanya Agam. Raisa dan Agam tengah berbincang di taman rumah sakit. Menghirup
udara sore. Raisa sudah diizinkan keluar ruangan oleh dokter tapi belum
diizinkan pulang.
"Untuk apa? Aku tidak ingin membebani orang
lain dengan penyakitku." Raisa membelai bulu boneka teddy, pemberian Agam.
"Justru dengan tidak mengatakannya, kau
membebani orang lain. Kalau sejak awal aku tahu kau sakit …" Agam menelah
ludah sebelum melanjutkan kalimatnya, "Pasti aku tidak akan mengizinkanmu
untuk ikut acara bakti sosial itu." Agam menatap Raisa tajam. Rasa marah,
sedih dan menyesal menumpuk di sudut matanya.
Raisa
mengalihkan pandangannya dari boneka teddy yang dipangkunya. Menyeringai pada
Agam.
"Apakah seorang pesakitan sepertiku tidak boleh
mendapatkan kebebasan?! Bertahun-tahun aku terkurung di dalam rumah. Tidak
boleh mengikuti kegiatan apapun. Aku jenuh. Aku ingin sesuatu yang baru. Aku
tahu kalau hidupku tidak lama lagi. Aku sadar jika ajal akan segera menjemputku
. Karena itulah, Gam sebelum semua itu terjadi, sebelum aku pergi untuk
selamanya aku ingin melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk orang lain walaupun
hanya hal kecil."
Mata Raisa berkaca. Namun Raisa tidak mau menangis
apalagi di depan Agam.
Keduanya
pun akhirnya terdiam. Hanyut dengan pikiran masing-masing. Raisa memeluk erat
boneka
teddynya. Terus berusaha untuk tidak menangis.
"Sa, lihat itu." Agam memandang ke langit
biru. Menunjuk lingkaran berwarna-warni di sela pepohonan hijau. Raisa
mendongak, penasaran. Matanya memburu ke arah yang ditunjuk Agam. Tepat di atas
pohon akasia itu, pelangi melengkung dengan indahnya.
"Kau suka?" tanya Agam. Raisa mengangguk. Memandang takjup lengkungan warna-warni itu.
"Tapi, aku rasa … Aku tidak akan bisa
melihatnya lagi setelah hari ini." Raisa tersenyum kecut.
"Jangan berkata begitu. Hidup ataupun matinya
seseorang, hanya Tuhanlah yang tahu. Mulai besok, aku akan membawakan pelangi
untukmu." Agam tersenyum penuh arti.
Ucapan Agam itu bukan bualan. Keesokan harinya,
sepulang sekolah Agam membawa pelangi, tepatnya lukisan pelangi untuk Raisa.
Raisa menerimanya dengan hati bahagia. Lukisan Agam itu sangat indah. Jauh lebih
indah dari pelangi yang dilihatnya kemarin bersama Agam di taman rumah sakit.
****** $ ******
Mobil hitam mengkilap itu berhenti tepat di depan
sebuah pemakaman umum. Seorang pemuda turun membawa gulungan kertas. Pemuda itu
melangkah masuk ke dalam makam dan tersenyum ramah pada penjaga makam yang
ditemuinya.
Langkahnya terhenti. Pemuda itu berjongkok. Mengusap
batu nisan di depannya yang berembun. Menaburkan bunga di atas pusara. Pemuda
itu kembali mengusap permukaan nisan itu. Mengeja dengan hati teriris nama yang
terpahat di sana. RAISA PUTRI. Sejenak dia menengadahkan tangan, berdoa untuk
Raisa.
"Apa kabar, Sa? Maaf seminggu ini aku tidak
menengokmu. Ah ya, aku punya sesuatu untukmu. Semoga kau suka." Agam,
pemuda itu merentangkan kertas yang dibawanya.
"Lukisan ini aku buat di pantai indrayanti.
Cantik kan, Sa."
Beberapa menit Agam terdiam. Menatap lekat nama
Raisa di batu nisan. Menghela napas pelan. Dia merentangkan lukisan pelangi itu
di atas pusara Raisa.
"Aku pamit ya, Sa. Besok aku akan datang lagi.
Membawa pelangi kesukaanmu. Seperti biasanya." Agam tersenyum, mengusap sekali
lagi batu nisan Raisa dan kemudian beranjak pergi dari pemakaman itu.
Kematian bisa membuat seseorang berpisah dengan orang yang dicintainya, tapi kematian tidak akan bisa menghilangkan rasa cinta yang
tertancap kuat di hati.
Kudus, 10 November 2014