Selasa, 12 Agustus 2014

Cerpen Ramadhan, Menjaga Lisan, Menjaga Puasa




Menjaga Lisan, Menjaga Puasa
Oleh : Nuril Islam

Zizi meletakkan mukena miliknya di kursi belajar. Melompat ke atas kasur. Kedua matanya terasa berat. Zizi ingin tidur lagi. Mumpung hari minggu. Suara kokok ayam terdengar bersahutan di luar. Tapi Zizi tidak peduli. Ia mengantuk. Ia ingin tidur.
Pukul 08.00. Matahari bersinar terang di langit biru. Tersenyum lembut pada alam semesta. Liyana, kakak Zizi membangunkan adiknya yang masih tertidur pulas di kamarnya.
“Zi, bangun Zi. Matahari sudah tinggi.”  Kata Liyana.
Zizi mengucek kedua matanya. Memaksa tubuhnya untuk bangun.
“Sudah waktunya buka ya Mbak?” Tanya Zizi. Menguap.
“Masih sepuluh jam lagi bukanya. Ayo bangun. Anak perempuan nggak baik tidur pagi-pagi. Ayo bangun Zi.”
“Aaah, malas Mbak. Lagian juga ini kan hari minggu. Nggak apa-apa kan kalau aku nggak mandi.” Jawab Zizi. Menguap lagi.
“Hari minggu atau nggak kamu harus tetap mandi. Biar bersih. Biar segar. Sudah cepet mandi. Mbak tunggu di luar.” Liyana melangkah keluar kamar.
Sepuluh menit kemudian. Zizi sudah berganti pakaian. Wajahnya terlihat segar. Jilbab biru muda yang ia kenakan membuatnya terlihat cantik.
“Nah, gitu dong. Hari pertama puasa kok malah tidur terus.” Kata Liyana.
Zizi manyun. Mendekati kakaknya yang sedang sibuk merapikan pakaian.
“Zizi kan nggak ada kerjaan Mbak. Jadi Zizi tidur aja. Kan tidurnya orang puasa itu ibadah. Iya kan Bu?” Zizi melirik Ibunya yang keluar dari dapur. Ibu Zizi hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak perempuannya itu.
“Tapi nggak gitu juga kan Zi. Masak tidur sepanjang hari. Lebih baik waktu luang diisi dengan hal-hal yang bermanfaat.” Jawab Liyana.
“Hal-hal yang bermanfaat? Hm?” Zizi mengeryitkan dahi. Berpikir.
“Iya. Contohnya…kamu bantuin Mbak masukin baju-baju ini ke lemari. Nih.” Liyana menyodorkan tumpukan pakaian pada Zizi.
“Yeee, itu mah akal-akalan Mbak Liyana aja.” Zizi melangkah menuju lemari pakaian yang ditunjuk kakaknya. Manyun. Liyana terkekeh karena berhasil mengerjai adiknya.
Waktu berjalan sangat lambat. Zizi melirik ke arah jam di dinding ruang tengah. Zizi menghela napas. Huuhh, baru jam sepuluh. Masih lama bukanya. Hahhhh, nggak kuat.
Zizi meraih remote TV. Berharap dengan menonton TV Zizi melupakan rasa lemas tubuhnya karena puasa.
Acara TVnya membosankan. Nggak ada yang seru, Gerutu Zizi dalam hati.
“Zi, ikut Mbak yuk.” Lamunan Zizi buyar. Menatap wajah kakaknya dengan penuh tanda tanya. Ke mana?
“Mbak mau beli keperluan rumah. Kamu nggak ada acara kan?” Tanya Liyana.
Zizi menggeleng, nggak ada.
“Ya udah yuk. Keburu siang.”
Dua kakak beradik itupun pergi.
Panas, kering, terik dan macet. Zizi mendengus menahan teriknya siang hari. Motor yang dikendarai Liyana berhenti di lampu merah. Asap knalpot kendaraan menyeruak membuat udara semakin kotor. Zizi menutup mulut dan hidungnya dengan ujung jilbabnya. Uuuh, polusi udara.
Lima menit kemudian mereka telah sampai di tempat tujuan. Liyana dan Zizi berjalan beriringan menuju toko. Zizi berjalan mendekati rak parfum. Melihat lihat parfum yang tertata rapi. Tanpa sengaja Zizi menyenggol seseorang di belakangnya.
“Aduh, gimana sih Mbak. Kalau jalan hati-hati dong.” Seorang ibu bertubuh tambun terjatuh ke lantai. Zizi membantu Ibu itu untuk berdiri.
“Maaf Bu. Saya tidak sengaja. Sekali lagi saya minta maaf.” Kata Zizi. Panik. Liyana yang tidak jauh dari tempat Zizi datang mendekat.
“Ada apa Zi?” Tanya Liyana.
“Ini Mbak. Zizi nggak sengaja nabrak Ibu ini.” Zizi menggigit bibir.
“Maafkan adik saya ya Bu. Ibu tidak apa-apa?” Liyana menyalami Ibu itu. Tersenyum. Ibu itu berbicara panjang dengan Liyana. Zizi tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Zizi sibuk dengan pikirannya sendiri.
Kenapa sih hari ini orang-orang pada nyebelin semua? Nggak tahu apa kalau aku puasa. Bikin emosi. Zizi mendengus sebal.
Matahari di atas sana semakin terik. Semilir angin menerbangkan daun-daun yang kering. Siang yang sangat panas.
Sepulang dari toko Liyana mengajak Zizi mampir ke POM bensin. Tidak lama mereka telah sampai. POM bensin penuh sesak dengan kendaraan. Antrian kendaraan mengular panjang.
“Mbak antriannya panjang kayak gini. Pulang aja deh Mbak.” Kata Zizi merajuk.
“Bensinnya udah hampir habis Zi. Nggak mungkin cukup sampai ke rumah. Salah Mbak juga kemarin lupa ngisi.” Jawab Liyana.
Satu jam Liyana dan Zizi mengantri. Tibalah giliran mereka tapi tiba-tiba…
“Eh, eh, kok nyalip. Gimana sih. Kan kita yang antri duluan.” Kata Zizi setengah berteriak. Menatap tajam pengendara motor di depan mereka. Pengendara motor itu pura-pura tidak mendengar. Santai membuka tangki bensin motornya dan berbicara pada petugas POM.
Nyebelin banget sih, Gerutu Zizi.
“Udah Zi. Biarin aja.” Kata Liyana melerai.
“Tapi kan Mbak kita yang antri duluan.”
Zizi terus menggerutu. Menatap sinis pengendara motor yang melewati mereka.
Baru juga hari pertama puasa, udah banyak cobaan kayak gini. Bikin emosi terus. Haahhh, Gerutu Zizi, lagi.
“Penuh Pak.” Kata Liyana pada petugas POM. Tersenyum. Mengabaikan adiknya yang masih manyun.
“Mbak puasa?” Tanya petugas POM.
“Insya allah Pak.”  Jawab Liyana.
“Kalau Mbak yang itu? Puasa juga?” Tanya petugas POM lagi. Menunjuk Zizi yang berdiri di samping kakaknya.
Gadis lima belas tahun itu menoleh.  “Tentu saja Pak.” Kedua alisnya terangkat. Tidak mengerti dengan pertanyaan petugas POM itu.
“Tapi kok marah-marah. Apa ndak batal puasanya?” Kata petugas POM. Tersenyum pada Zizi.
Jleb! Seketika wajah Zizi berubah merah padam. Malu. Semua amarahnya yang menggelembung seketika hilang. Tak berbekas.
Liyana menyerahkan uang pada petugas POM itu. “Terima kasih Pak.”
Petugas POM itu tersenyum pada Liyana dan Zizi. “Mbak yang sabar jangan mudah marah. Nanti pahala puasanya hilang kalau marah-marah terus.”
Liyana menghidupkan mesin motor, tersenyum sekali lagi pada petugas POM dan sekejap menjauh dari antrian yang masih mengular. Zizi tersenyum tipis pada petugas POM. Wajahnya masih merah padam. Menahan malu.
“Benar apa yang dikatakan petugas di POM tadi. Nggak baik marah-marah seperti itu Zi. Kamu kan lagi puasa. Seharusnya kamu lebih bisa menjaga lisan. Puasa itu tidak hanya menahan lapar dan haus tapi juga menahan nafsu. Nafsu amarah, nafsu berbicara yang tidak baik dan nafsu-nafsu lainnya yang bisa mengurangi ibadah puasa kita. Akan lebih baik jika lisan dipergunakan untuk hal-hal yang baik. Seperti tadarrus Al-Qur’an.”
“Kamu sudah besar. Mbak tidak akan bicara panjang lebar tentang puasa. Mbak sebagai kakak kamu hanya ingin mengingatkan agar kamu tidak salah dalam bersikap dan mengambil langkah. Kamu mengerti Zi?” Kata Liyana. Melirik Zizi yang menunduk lewat kaca spion.
Zizi mengangguk pelan. “Iya Mbak.”
[*]

Kudus, 09 Juni 2014

(masuk antologi Munajat dan Kisah Para Muslim, Penerbit Camar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar