Menjaga Lisan, Menjaga Puasa
Oleh : Nuril Islam
Zizi
meletakkan mukena miliknya di kursi belajar. Melompat ke atas kasur. Kedua
matanya terasa berat. Zizi ingin tidur lagi. Mumpung hari minggu. Suara kokok
ayam terdengar bersahutan di luar. Tapi Zizi tidak peduli. Ia mengantuk. Ia
ingin tidur.
Pukul
08.00. Matahari bersinar terang di langit biru. Tersenyum lembut pada alam
semesta. Liyana, kakak Zizi membangunkan adiknya yang masih tertidur pulas di
kamarnya.
“Zi,
bangun Zi. Matahari sudah tinggi.” Kata
Liyana.
Zizi
mengucek kedua matanya. Memaksa tubuhnya untuk bangun.
“Sudah
waktunya buka ya Mbak?” Tanya Zizi. Menguap.
“Masih
sepuluh jam lagi bukanya. Ayo bangun. Anak perempuan nggak baik tidur
pagi-pagi. Ayo bangun Zi.”
“Aaah,
malas Mbak. Lagian juga ini kan hari minggu. Nggak apa-apa kan kalau aku nggak
mandi.” Jawab Zizi. Menguap lagi.
“Hari
minggu atau nggak kamu harus tetap mandi. Biar bersih. Biar segar. Sudah cepet
mandi. Mbak tunggu di luar.” Liyana melangkah keluar kamar.
Sepuluh
menit kemudian. Zizi sudah berganti pakaian. Wajahnya terlihat segar. Jilbab
biru muda yang ia kenakan membuatnya terlihat cantik.
“Nah,
gitu dong. Hari pertama puasa kok malah tidur terus.” Kata Liyana.
Zizi
manyun. Mendekati kakaknya yang sedang sibuk merapikan pakaian.
“Zizi
kan nggak ada kerjaan Mbak. Jadi Zizi tidur aja. Kan tidurnya orang puasa itu
ibadah. Iya kan Bu?” Zizi melirik Ibunya yang keluar dari dapur. Ibu Zizi hanya
geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak perempuannya itu.
“Tapi
nggak gitu juga kan Zi. Masak tidur sepanjang hari. Lebih baik waktu luang
diisi dengan hal-hal yang bermanfaat.” Jawab Liyana.
“Hal-hal
yang bermanfaat? Hm?” Zizi mengeryitkan dahi. Berpikir.
“Iya.
Contohnya…kamu bantuin Mbak masukin baju-baju ini ke lemari. Nih.” Liyana
menyodorkan tumpukan pakaian pada Zizi.
“Yeee,
itu mah akal-akalan Mbak Liyana aja.” Zizi melangkah menuju lemari pakaian yang
ditunjuk kakaknya. Manyun. Liyana terkekeh karena berhasil mengerjai adiknya.
Waktu
berjalan sangat lambat. Zizi melirik ke arah jam di dinding ruang tengah. Zizi
menghela napas. Huuhh, baru jam sepuluh. Masih lama bukanya. Hahhhh, nggak
kuat.
Zizi
meraih remote TV. Berharap dengan menonton TV Zizi melupakan rasa lemas tubuhnya
karena puasa.
Acara TVnya
membosankan. Nggak ada yang seru, Gerutu Zizi dalam
hati.
“Zi,
ikut Mbak yuk.” Lamunan Zizi buyar. Menatap wajah kakaknya dengan penuh tanda
tanya. Ke mana?
“Mbak
mau beli keperluan rumah. Kamu nggak ada acara kan?” Tanya Liyana.
Zizi
menggeleng, nggak ada.
“Ya
udah yuk. Keburu siang.”
Dua
kakak beradik itupun pergi.
Panas,
kering, terik dan macet. Zizi mendengus menahan teriknya siang hari. Motor yang
dikendarai Liyana berhenti di lampu merah. Asap knalpot kendaraan menyeruak membuat
udara semakin kotor. Zizi menutup mulut dan hidungnya dengan ujung jilbabnya.
Uuuh, polusi udara.
Lima
menit kemudian mereka telah sampai di tempat tujuan. Liyana dan Zizi berjalan
beriringan menuju toko. Zizi berjalan mendekati rak parfum. Melihat lihat parfum
yang tertata rapi. Tanpa sengaja Zizi menyenggol seseorang di belakangnya.
“Aduh,
gimana sih Mbak. Kalau jalan hati-hati dong.” Seorang ibu bertubuh tambun
terjatuh ke lantai. Zizi membantu Ibu itu untuk berdiri.
“Maaf
Bu. Saya tidak sengaja. Sekali lagi saya minta maaf.” Kata Zizi. Panik. Liyana
yang tidak jauh dari tempat Zizi datang mendekat.
“Ada
apa Zi?” Tanya Liyana.
“Ini
Mbak. Zizi nggak sengaja nabrak Ibu ini.” Zizi menggigit bibir.
“Maafkan
adik saya ya Bu. Ibu tidak apa-apa?” Liyana menyalami Ibu itu. Tersenyum. Ibu
itu berbicara panjang dengan Liyana. Zizi tidak tahu apa yang mereka bicarakan.
Zizi sibuk dengan pikirannya sendiri.
Kenapa sih hari ini
orang-orang pada nyebelin semua? Nggak tahu apa kalau aku puasa. Bikin emosi.
Zizi mendengus sebal.
Matahari
di atas sana semakin terik. Semilir angin menerbangkan daun-daun yang kering.
Siang yang sangat panas.
Sepulang
dari toko Liyana mengajak Zizi mampir ke POM bensin. Tidak lama mereka telah
sampai. POM bensin penuh sesak dengan kendaraan. Antrian kendaraan mengular
panjang.
“Mbak
antriannya panjang kayak gini. Pulang aja deh Mbak.” Kata Zizi merajuk.
“Bensinnya
udah hampir habis Zi. Nggak mungkin cukup sampai ke rumah. Salah Mbak juga
kemarin lupa ngisi.” Jawab Liyana.
Satu
jam Liyana dan Zizi mengantri. Tibalah giliran mereka tapi tiba-tiba…
“Eh,
eh, kok nyalip. Gimana sih. Kan kita yang antri duluan.” Kata Zizi setengah
berteriak. Menatap tajam pengendara motor di depan mereka. Pengendara motor itu
pura-pura tidak mendengar. Santai membuka tangki bensin motornya dan berbicara
pada petugas POM.
Nyebelin banget sih,
Gerutu Zizi.
“Udah
Zi. Biarin aja.” Kata Liyana melerai.
“Tapi
kan Mbak kita yang antri duluan.”
Zizi
terus menggerutu. Menatap sinis pengendara motor yang melewati mereka.
Baru juga hari pertama
puasa, udah banyak cobaan kayak gini. Bikin emosi terus. Haahhh,
Gerutu Zizi, lagi.
“Penuh
Pak.” Kata Liyana pada petugas POM. Tersenyum. Mengabaikan adiknya yang masih
manyun.
“Mbak
puasa?” Tanya petugas POM.
“Insya
allah Pak.” Jawab Liyana.
“Kalau
Mbak yang itu? Puasa juga?” Tanya petugas POM lagi. Menunjuk Zizi yang berdiri
di samping kakaknya.
Gadis
lima belas tahun itu menoleh. “Tentu
saja Pak.” Kedua alisnya terangkat. Tidak mengerti dengan pertanyaan petugas
POM itu.
“Tapi
kok marah-marah. Apa ndak batal puasanya?” Kata petugas POM. Tersenyum pada
Zizi.
Jleb!
Seketika wajah Zizi berubah merah padam. Malu. Semua amarahnya yang
menggelembung seketika hilang. Tak berbekas.
Liyana
menyerahkan uang pada petugas POM itu. “Terima kasih Pak.”
Petugas
POM itu tersenyum pada Liyana dan Zizi. “Mbak yang sabar jangan mudah marah.
Nanti pahala puasanya hilang kalau marah-marah terus.”
Liyana
menghidupkan mesin motor, tersenyum sekali lagi pada petugas POM dan sekejap
menjauh dari antrian yang masih mengular. Zizi tersenyum tipis pada petugas
POM. Wajahnya masih merah padam. Menahan malu.
“Benar
apa yang dikatakan petugas di POM tadi. Nggak baik marah-marah seperti itu Zi.
Kamu kan lagi puasa. Seharusnya kamu lebih bisa menjaga lisan. Puasa itu tidak
hanya menahan lapar dan haus tapi juga menahan nafsu. Nafsu amarah, nafsu
berbicara yang tidak baik dan nafsu-nafsu lainnya yang bisa mengurangi ibadah
puasa kita. Akan lebih baik jika lisan dipergunakan untuk hal-hal yang baik. Seperti
tadarrus Al-Qur’an.”
“Kamu
sudah besar. Mbak tidak akan bicara panjang lebar tentang puasa. Mbak sebagai
kakak kamu hanya ingin mengingatkan agar kamu tidak salah dalam bersikap dan
mengambil langkah. Kamu mengerti Zi?” Kata Liyana. Melirik Zizi yang menunduk
lewat kaca spion.
Zizi
mengangguk pelan. “Iya Mbak.”
[*]
Kudus, 09 Juni 2014
(masuk antologi Munajat dan Kisah Para Muslim, Penerbit Camar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar