Indah pada Waktunya
Oleh : Nuril Islam
Siang
ini terasa begitu panjang. Matahari bersinar sangat terik, tak seperti
biasanya. Kukayuh sepeda dengan sisa tenaga yang kumiliki.
“Hfffh,
panas banget.” Sambil menghapus peluh yang mengalir dari balik jilbab, aku
bergumam.
“Menyesal
rasanya menolak tawaran Linda untuk istirahat di Kosannya. Hahhh, ya sudahlah.”
***
“Assalamu’alaikum.
Bu, Nana pulang.” Aku melangkahkan kaki menuju kamar. Sejenak merebahkan tubuh yang
letih di atas kasur. Kuhidupkan kipas angin. Seketika kamar menjadi sejuk.
Tirai jendelaku bergerak pelan mengikuti angin yang berhembus. Mataku terpejam
menikmati sejuknya. Tiba-tiba handphoneku berderit. Ada sms dari Linda.
‘Na, dah nyampe home’.
Dengan
malas aku mengirim balasan,
‘Udah. Kenapa? Kangen ya?
:p’.
Seseorang
membuka pintu kamarku, “Sudah pulang, Na?”
Mbak Hesti, kakakku menyapa tiba-tiba. “Eh, iya mbak. Rebahan di kamar bentar. Capek. Liburan Semesteran Mbak?”
Mbak Hesti, kakakku menyapa tiba-tiba. “Eh, iya mbak. Rebahan di kamar bentar. Capek. Liburan Semesteran Mbak?”
“Enggak.
Mau ambil barang yang ketinggalan di kamar.”
Mbak Hesti melangkah duduk di pinggir kasur, di sampingku. Aku mengangguk dengan mulut membentuk huruf “o”.
Mbak Hesti melangkah duduk di pinggir kasur, di sampingku. Aku mengangguk dengan mulut membentuk huruf “o”.
“Mbak,
bikin es ya. Aku mau dong.”
“Ambil
aja di dapur.”
Secepat
kilat aku melesat ke dapur. Handphoneku berderit lagi.
‘Pasti
Linda’ batinku.
‘I miss you so much,
girl’
Geli
aku membaca sms sahabatku itu. Dengan menahan tawa aku mengirim sms balasan untuknya.
‘I’m sorry ya Linda
sayang. Aku masih suka sama cowok tu’
‘Wkwkwkwkwkwk’
Belum
sempat aku mengirim sms balasan pada Linda, ada sms masuk lagi. Dari siapa?
“Na,
kue kering yang di lemari bawa ke sini ya.” Mbak Hesti setengah berteriak dari
ruang TV.
“Siaap
!”
Dengan
tergopoh aku berjalan menuju ruang TV. Tangan kanan membawa gelas berisi es
buah dan tangan kiri membawa kue kering permintaan Mbak Hesti. Es dan kue
kering aku letakkan di atas meja yang ada dihadapan kami.
“Makasih
ya, Na.”
Aku
tak menyahut ucapan terima kasih Mbak Hesti. Mataku menatap lurus nama yang ada
dilayar handphone. Sms dari Reno. Ada apa? Tumben. Tidak biasanya Reno sms aku
kalau bukan karena urusan yang penting. Bukankah Laporan Kegiatan Outbond
kemarin sudah aku berikan. Lalu??? Logikaku berhenti. Tak mampu menerka ada apa.
“Na.
Hey, kamu bengong. Sms dari siapa sich?” Mbak Hesti menyadarkanku.
“Mmm,
temen mbak.”
***
Bel pulang
sekolah sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu. Namun kakiku rasanya kaku.
Pikiranku kacau. Dengan malas aku merapikan buku-buku pelajaran ke dalam tas.
“Na, pulang
bareng ya.” Linda menoleh padaku. Aku tak merespon.
“Na, pulang
bareng ya.” Linda mengulang kembali ucapannya. Kali ini dengan menepuk
pundakku, pelan.
“Eh,mm. Gimana
Lin?”
“Pulang bareng
ya. Kamu kenapa si?”
“Lin, temenin
aku bentar ya.”
“ Ke mana? Ke kantin?
Aku masih kenyang Na. Atau mau ke Ruang OSIS? Males ah Na. Anak OSIS nyebelin
semua.” Linda nyerocos tak memberi cela untukku bicara.
Akhirnya dengan
sedikit aku paksa Linda mau menemani aku menemui Reno di kantin sekolah.
Kantin sekolah penuh
sesak. Aku memilih duduk di pojok dekat pintu masuk. Sudah satu jam aku
menunggu Reno tapi aku belum melihat kedatangannya. Ke mana dia? Apa jangan-jangan
dia mengerjaiku? Ah, tidak mungkin. Linda yang dari tadi diam di sampingku
mulai bersuara.
“Na,
masih lama? Nunggu siapa sich?”
Aku
masih sibuk mencoba menghubungi Reno.
“Lin,
pesen minum dulu aja.” Kataku pada Linda.
Linda
beranjak dari tempat duduknya dan memesan minuman untuk kami berdua pada ibu
penjaga kantin. Reno baru datang setelah es teh yang kami pesan sudah habis.
“Assalamu’alaikum,
Nana, Linda”
Aku
dan Linda menjawab beriringan, “Wa’alaikum salam”.
“Maaf,
nunggu lama ya Na. Tadi ada urusan sebentar.”
Linda
mencubit lenganku. Ia menatapku dengan wajah penuh tanya. Aku hanya nyengir
saja.
“Ada
apa Ren ?” Aku langsung bertanya. Berlama-lama ngobrol berdua dengan laki-laki
terasa kurang nyaman bagiku. Meski untuk sekarang ini ada Linda menemaniku.
Reno yang memilih duduk di sampingku justru diam tanpa kata. Tak biasanya dia
seperti ini. Aku menjadi semakin penasaran.
“Ren,
Kamu mau bicara apa? Bukankah Laporan Kegiatan Out Bond sudah aku serahkan
kemarin.” Aku tidak sabar.
“Ini
. . . soal hati Na. Lebih tepatnya hatiku.” Reno menatapku dengan tatapan
berbeda. Tak seperti biasanya. Membuatku semakin bingung. Reno seperti mengerti
kebingunganku. Perlahan Ia menjelaskan padaku. Menjelaskan perasaan yang
diam-diam tumbuh di hatinya. Ia sendiri tak tahu sejak kapan ia mulai mempunyai
“rasa” itu padaku. Aku hanya tertunduk. Linda menatap bergantian Reno dan aku.
Manggut-manggut tanpa bersuara.
Reno
menghela nafas pelan. Seolah beban yang ia pikul selama ini mengambang bersama
angin yang lewat diantara kami bertiga. Kantin semakin sepi. Menyisakan kami
bertiga dan ibu penjaga kantin. Segerombolan siswi kelas satu yang duduk di seberang
meja kami sudah beranjak sejak Reno datang. Suasana benar-benar hening. Kami
hanyut dalam pikiran masing-masing. Linda masih dengan kebiasaan barunya,
manggut-manggut menatap kami, aku dan Reno bergantian.
“Nana,
aku harap apa yang aku katakan ini tidak membuatmu merasa bersalah. Ini bukan
sepenuhnya salahmu. Aku tidak ingin kamu terbebani dengan perasaanku ini.”
‘Terlambat, Ren. Pengakuanmu justru membuatku
merasa bersalah.’ Aku bergumam pada diriku sendiri.
***
Hari
demi hari telah berlalu. Bunga melati di halaman rumah sudah mulai bermekaran.
Wanginya memenuhi tiap sudut rumah. Terkadang aku memetiknya dan meletakkannya
di kamar sebagai pengharum ruangan. Hujan masih turun sejak pagi tadi. Langit
di atas sana masih berwarna abu-abu. Udara berubah menjadi dingin. Kejadian
tempo hari masih membekas dibenakku. Karena sejak kejadian itu kurasakan Reno
menghindar dariku. Meski kami masih bertemu di sekolah ataupun di ruang OSIS
tapi Reno menjadi lebih pendiam, pasif.
“Tanyakan
saja padanya, Na. Daripada kamu senewen kayak gini.” Linda memberi saran padaku
di jam istirahat sekolah.
Dan
siang itu aku membulatkan niat untuk menemui Reno. Dari Sinta, teman satu kelas
Reno aku tahu kalau Reno sedang berada di ruang OSIS. Langkahku terhenti saat
aku berada tepat di depan Ruang OSIS. Sepi. Tapi aku melihat sepatu milik Reno,
berarti memang Reno ada di dalam.
“Assalamu’alaikum.”
Suaraku bergetar. Tak ada jawaban. Mungkin Reno sedang keluar dan meninggalkan
sepatunya di sini. Aku melangkah keluar tapi kemudian terhenti. Seseorang dari
ruang komputer menjawab salamku.
“Wa’alaikum
salam.” Sebuah langkah mendekatiku. Itu
Reno. Aku berusaha tersenyum saat dia berdiri dihadapanku. Reno mengajakku
duduk di meja rapat. Aku memilih duduk di dekat jendela, berjarak dua kursi
dengan Reno. Kami berdua diam. Aku enggan untuk membuka pembicaraan. Aku
melihat keluar jendela yang ada disebelahku. Mendung menyelimuti kotaku siang itu.
Hujan akan segera tiba. Angin yang lewat menyisakan kebekuan yang semakin
menyesakkan.
“Sepertinya
akan hujan.” Reno bersuara. “Ada apa, Na?”
“Seharusnya
aku Ren yang bertanya ada apa. Aku merasa. . . kau menjauhiku. Apakah itu
benar?” Aku tak berani menatap wajah Reno. Aku mendengar helaan nafas panjang
Reno.
“Aku
sedang belajar ikhlas, Na. Mengikhlaskan semua perasaan ini pada-Nya. Beberapa hari ini aku memang
menjauhimu karena dengan tidak melihatmu aku fikir rasa ini akan menghilang.
Tapi, ternyata tidak. Maaf Na aku hanya manusia biasa.”
“Aku
tidak menyalahkanmu atas perasaan itu Ren karena rasa menyayangi dan mencintai
orang lain itu fitrah kita sebagai manusia. Karena Ia pun Maha Cinta. Pemilik
hakiki Cinta Sejati. Namun kita terlalu cepat mengartikan rasa yang belum
saatnya hadir. Hingga menjadikan pacaran sebagai jalan pintasnya.”
“Memang
terlalu awal aku merasakan semuanya. Dan salahku memupuk dan membiarkannya
tumbuh. Sekarang aku harus mencabut paksa dan membuangnya karena perasaan yang
tumbuh bukan karena izin-Nya akan
membawa penyakit ke dalam hatiku. Aku terus berdo’a pada-Nya agar Ia menjaga diriku dari hal-hal yang membuat-Nya murka padaku. Biarlah semua indah
pada waktunya, Na. Mesti sekarang aku harus bersusah payah mendapatkan kembali
kesucian hatiku. Aku yakin Ia selalu memperhatikan aku, kamu dan apa yang kita
perbuat dan bahkan mengetahui apa yang ada di dalam hati kita, karena Ia Maha
Mengetahui. Suatu hari nanti semua akan
menjadi indah dan dengan penuh rasa syukur kita memuji Asma-Nya.”
“Terus
istiqomah ya Ren. Semoga kita bisa melewati ini semua dengan penuh kesabaran
dan keikhlasan. Allah selalu bersama kita. Apa yang Allah pilihkan bagi
hamba-Nya yang beriman adalah pilihan terbaik, meski tampak sulit dan berat.
Tetap semangat!”
Kami
berdua tersenyum bersama memandangi halaman yang telah basah. Nyanyian hujan
yang menentramkan kalbu. Menghapus kegelisahan yang sempat hadir di hati kami.
-Selesai -
Kudus, 03 Oktober 2013(masuk dalam Antologi event "Cerita Remaja Islami" Pena House)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar