Selasa, 12 Agustus 2014

Cerpen Islami, Indah pada Waktunya




Indah pada Waktunya
Oleh : Nuril Islam

Siang ini terasa begitu panjang. Matahari bersinar sangat terik, tak seperti biasanya. Kukayuh sepeda dengan sisa tenaga yang kumiliki.
“Hfffh, panas banget.” Sambil menghapus peluh yang mengalir dari balik jilbab, aku bergumam.
“Menyesal rasanya menolak tawaran Linda untuk istirahat di Kosannya. Hahhh, ya sudahlah.”
***
“Assalamu’alaikum. Bu, Nana pulang.” Aku melangkahkan kaki menuju kamar. Sejenak merebahkan tubuh yang letih di atas kasur. Kuhidupkan kipas angin. Seketika kamar menjadi sejuk. Tirai jendelaku bergerak pelan mengikuti angin yang berhembus. Mataku terpejam menikmati sejuknya. Tiba-tiba handphoneku berderit. Ada sms dari Linda.
‘Na, dah nyampe home’.
Dengan malas aku mengirim balasan,
‘Udah. Kenapa? Kangen ya? :p.
Seseorang membuka pintu kamarku, “Sudah pulang, Na?” 
Mbak Hesti, kakakku menyapa tiba-tiba. “Eh, iya mbak. Rebahan di kamar bentar. Capek. Liburan Semesteran Mbak?”
“Enggak. Mau ambil barang yang ketinggalan di kamar.” 
Mbak Hesti melangkah duduk di pinggir kasur, di sampingku. Aku mengangguk dengan mulut membentuk huruf “o”.
“Mbak, bikin es ya. Aku mau dong.”
“Ambil aja di dapur.”
Secepat kilat aku melesat ke dapur. Handphoneku berderit lagi.
‘Pasti Linda’ batinku.
‘I miss you so much, girl’
Geli aku membaca sms sahabatku itu. Dengan menahan tawa aku mengirim sms balasan untuknya.
‘I’m sorry ya Linda sayang. Aku masih suka sama cowok tu’
‘Wkwkwkwkwkwk’
Belum sempat aku mengirim sms balasan pada Linda, ada sms masuk lagi. Dari siapa?
“Na, kue kering yang di lemari bawa ke sini ya.” Mbak Hesti setengah berteriak dari ruang TV.
“Siaap !”
Dengan tergopoh aku berjalan menuju ruang TV. Tangan kanan membawa gelas berisi es buah dan tangan kiri membawa kue kering permintaan Mbak Hesti. Es dan kue kering aku letakkan di atas meja yang ada dihadapan kami.
“Makasih ya, Na.”
Aku tak menyahut ucapan terima kasih Mbak Hesti. Mataku menatap lurus nama yang ada dilayar handphone. Sms dari Reno. Ada apa? Tumben. Tidak biasanya Reno sms aku kalau bukan karena urusan yang penting. Bukankah Laporan Kegiatan Outbond kemarin sudah aku berikan. Lalu??? Logikaku berhenti. Tak mampu menerka ada apa.
“Na. Hey, kamu bengong. Sms dari siapa sich?” Mbak Hesti menyadarkanku.
“Mmm, temen mbak.”
***
Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu. Namun kakiku rasanya kaku. Pikiranku kacau. Dengan malas aku merapikan buku-buku pelajaran ke dalam tas.
“Na, pulang bareng ya.” Linda menoleh padaku. Aku tak merespon.
“Na, pulang bareng ya.” Linda mengulang kembali ucapannya. Kali ini dengan menepuk pundakku, pelan.
“Eh,mm. Gimana Lin?”
“Pulang bareng ya. Kamu kenapa si?”
“Lin, temenin aku bentar ya.”
“ Ke mana? Ke kantin? Aku masih kenyang Na. Atau mau ke Ruang OSIS? Males ah Na. Anak OSIS nyebelin semua.” Linda nyerocos tak memberi cela untukku bicara.
Akhirnya dengan sedikit aku paksa Linda mau menemani aku menemui Reno di kantin sekolah.
Kantin sekolah penuh sesak. Aku memilih duduk di pojok dekat pintu masuk. Sudah satu jam aku menunggu Reno tapi aku belum melihat kedatangannya. Ke mana dia? Apa jangan-jangan dia mengerjaiku? Ah, tidak mungkin. Linda yang dari tadi diam di sampingku mulai bersuara.
“Na, masih lama? Nunggu siapa sich?”
Aku masih sibuk mencoba menghubungi Reno.
“Lin, pesen minum dulu aja.” Kataku pada Linda.
Linda beranjak dari tempat duduknya dan memesan minuman untuk kami berdua pada ibu penjaga kantin. Reno baru datang setelah es teh yang kami pesan sudah habis.
“Assalamu’alaikum, Nana, Linda”
Aku dan Linda menjawab beriringan, “Wa’alaikum salam”.
“Maaf, nunggu lama ya Na. Tadi ada urusan sebentar.”
Linda mencubit lenganku. Ia menatapku dengan wajah penuh tanya. Aku hanya nyengir saja.
“Ada apa Ren ?” Aku langsung bertanya. Berlama-lama ngobrol berdua dengan laki-laki terasa kurang nyaman bagiku. Meski untuk sekarang ini ada Linda menemaniku. Reno yang memilih duduk di sampingku justru diam tanpa kata. Tak biasanya dia seperti ini. Aku menjadi semakin penasaran.
“Ren, Kamu mau bicara apa? Bukankah Laporan Kegiatan Out Bond sudah aku serahkan kemarin.” Aku tidak sabar.
“Ini . . . soal hati Na. Lebih tepatnya hatiku.” Reno menatapku dengan tatapan berbeda. Tak seperti biasanya. Membuatku semakin bingung. Reno seperti mengerti kebingunganku. Perlahan Ia menjelaskan padaku. Menjelaskan perasaan yang diam-diam tumbuh di hatinya. Ia sendiri tak tahu sejak kapan ia mulai mempunyai “rasa” itu padaku. Aku hanya tertunduk. Linda menatap bergantian Reno dan aku. Manggut-manggut tanpa bersuara.
Reno menghela nafas pelan. Seolah beban yang ia pikul selama ini mengambang bersama angin yang lewat diantara kami bertiga. Kantin semakin sepi. Menyisakan kami bertiga dan ibu penjaga kantin. Segerombolan siswi kelas satu yang duduk di seberang meja kami sudah beranjak sejak Reno datang. Suasana benar-benar hening. Kami hanyut dalam pikiran masing-masing. Linda masih dengan kebiasaan barunya, manggut-manggut menatap kami, aku dan Reno bergantian.
“Nana, aku harap apa yang aku katakan ini tidak membuatmu merasa bersalah. Ini bukan sepenuhnya salahmu. Aku tidak ingin kamu terbebani dengan perasaanku ini.”
Terlambat, Ren. Pengakuanmu justru membuatku merasa bersalah.’ Aku bergumam pada diriku sendiri.
***
Hari demi hari telah berlalu. Bunga melati di halaman rumah sudah mulai bermekaran. Wanginya memenuhi tiap sudut rumah. Terkadang aku memetiknya dan meletakkannya di kamar sebagai pengharum ruangan. Hujan masih turun sejak pagi tadi. Langit di atas sana masih berwarna abu-abu. Udara berubah menjadi dingin. Kejadian tempo hari masih membekas dibenakku. Karena sejak kejadian itu kurasakan Reno menghindar dariku. Meski kami masih bertemu di sekolah ataupun di ruang OSIS tapi Reno menjadi lebih pendiam, pasif.
“Tanyakan saja padanya, Na. Daripada kamu senewen kayak gini.” Linda memberi saran padaku di jam istirahat sekolah.
Dan siang itu aku membulatkan niat untuk menemui Reno. Dari Sinta, teman satu kelas Reno aku tahu kalau Reno sedang berada di ruang OSIS. Langkahku terhenti saat aku berada tepat di depan Ruang OSIS. Sepi. Tapi aku melihat sepatu milik Reno, berarti memang Reno ada di dalam.
“Assalamu’alaikum.” Suaraku bergetar. Tak ada jawaban. Mungkin Reno sedang keluar dan meninggalkan sepatunya di sini. Aku melangkah keluar tapi kemudian terhenti. Seseorang dari ruang komputer menjawab salamku.
“Wa’alaikum salam.”  Sebuah langkah mendekatiku. Itu Reno. Aku berusaha tersenyum saat dia berdiri dihadapanku. Reno mengajakku duduk di meja rapat. Aku memilih duduk di dekat jendela, berjarak dua kursi dengan Reno. Kami berdua diam. Aku enggan untuk membuka pembicaraan. Aku melihat keluar jendela yang ada disebelahku. Mendung menyelimuti kotaku siang itu. Hujan akan segera tiba. Angin yang lewat menyisakan kebekuan yang semakin menyesakkan.
“Sepertinya akan hujan.” Reno bersuara. “Ada apa, Na?”
“Seharusnya aku Ren yang bertanya ada apa. Aku merasa. . . kau menjauhiku. Apakah itu benar?” Aku tak berani menatap wajah Reno. Aku mendengar helaan nafas panjang Reno.
“Aku sedang belajar ikhlas, Na. Mengikhlaskan semua perasaan ini pada-Nya. Beberapa hari ini aku memang menjauhimu karena dengan tidak melihatmu aku fikir rasa ini akan menghilang. Tapi, ternyata tidak. Maaf Na aku hanya manusia biasa.”
“Aku tidak menyalahkanmu atas perasaan itu Ren karena rasa menyayangi dan mencintai orang lain itu fitrah kita sebagai manusia. Karena Ia pun Maha Cinta. Pemilik hakiki Cinta Sejati. Namun kita terlalu cepat mengartikan rasa yang belum saatnya hadir. Hingga menjadikan pacaran sebagai jalan pintasnya.”
“Memang terlalu awal aku merasakan semuanya. Dan salahku memupuk dan membiarkannya tumbuh. Sekarang aku harus mencabut paksa dan membuangnya karena perasaan yang tumbuh bukan karena izin-Nya akan membawa penyakit ke dalam hatiku. Aku terus berdo’a pada-Nya agar Ia menjaga diriku dari hal-hal yang membuat-Nya murka padaku. Biarlah semua indah pada waktunya, Na. Mesti sekarang aku harus bersusah payah mendapatkan kembali kesucian hatiku. Aku yakin Ia selalu memperhatikan aku, kamu dan apa yang kita perbuat dan bahkan mengetahui apa yang ada di dalam hati kita, karena Ia Maha Mengetahui.  Suatu hari nanti semua akan menjadi indah dan dengan penuh rasa syukur kita memuji Asma-Nya.”
“Terus istiqomah ya Ren. Semoga kita bisa melewati ini semua dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Allah selalu bersama kita. Apa yang Allah pilihkan bagi hamba-Nya yang beriman adalah pilihan terbaik, meski tampak sulit dan berat. Tetap semangat!”
Kami berdua tersenyum bersama memandangi halaman yang telah basah. Nyanyian hujan yang menentramkan kalbu. Menghapus kegelisahan yang sempat hadir di hati kami.

-Selesai -
Kudus, 03 Oktober 2013

(masuk dalam Antologi event "Cerita Remaja Islami" Pena House)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar