Maafkan Aku
Oleh : Nuril Islam
Kukayuh
sepeda dengan tenaga yang masih tersisa. Peluh tiada henti membasahi tubuhku
yang mulai terasa lengket. Siang ini terasa sangat panjang dan matahari tampak
enggan bergeser walau satu senti. Terik matahari yang panas seperti harimau
yang mencari mangsa. Jalan-jalan pun tampak lengang. Mungkin hanya aku yang
berada di jalan ini melewati panasnya siang. Orang-orang mungkin lebih senang
berada di dalam rumah daripada harus menerjang teriknya hari.
Kutambah
tenaga agar aku dapat segera sampai di rumah. Telah terbayang segelas es sirup
dan sepiring nasi putih yang masih panas, sayur bening, dan ikan goreng. Mereka
seakan memanggilku. Cacing dalam perutku pun ikut memprotes. Semakin cepat aku
mengayuh, lelah justru semakin menyergapku. Jalan menuju rumah terasa panjang,
tiada ujungnya. Akhirnya, setelah hampir tiga puluh menit aku bertarung melawan
terik matahari, aku sampai di rumah.
“Alhamdulillah,”
seruku dalam hati.
Rumahku
kecil saja. Temboknya berwarna biru yang sudah kusam. Ada dua jendela di
samping kanan pintu. Di pojok rumah, tertata rapi tanaman dan bunga-bunga yang
sedang bermekaran. Kulihat, seekor ayam sedang asyik mencari makan. Ia gali
tanah dengan cakarnya yang tajam dan mencari makanan yang mungkin dapat ia
temukan. Rumah sederhanaku, tepatnya rumah kedua orangtuaku. Tempatku dan
keluargaku berlindung dari panas dan hujan. Tempat dimana aku dilahirkan dan
dibesarkan. Kugiring sepedaku ke dalam parkiran yang berada di samping rumah.
“Assalamu’alaikum,”
kuucapkan salam saat memasuki rumah.
Hening.
Tak ada jawaban.
“Ah
mungkin ibu sedang di dapur,” pikirku.
Kulangkahkan
kaki menuju kamarku yang sempit. Terdapat banyak almari di sana. Di ujung
terdapat sebuah tempat tidur yang alakadarnya. Bagaimana tidak, tempat tidur
itu hanya berlapis kain lusuh yang sudah sobek di sana-sini. Tidak ada kasur
karena memang tidak diberi kasur. Di situlah aku biasa berbaring melepas lelah
dan merangkai mimpi masa depan. Meski sederhana, aku tetap bersyukur masih
memilikinya karena mungkin di luar sana banyak orang yang tidur beralaskan
koran atau bahkan tidur tanpa alas. Kuletakkan tas sekolahku di atas kasur. Kuambil
pakaian ganti dan segera aku ganti seragam sekolahku. Belum selesai berganti baju,
ibu memanggilku.
“Fira,
ke sini nduk,” panggilnya.
Dengan
langkah gontai, aku menuju dapur.
“Ada
apa bu?”
“Ini
antar ke rumah bulikmu,” Ibu menyerahkan kantong plastik hitam padaku.
“Rizal
sajalah bu. Aku baru pulang sekolah, aku capek bu. Aku juga belum makan.”
Aku
melirik ikan di atas meja yang baru selesai digoreng. Baunya sangat menggoda.
Menggelitik hidungku. Hmmm…
“Oalah
Nduk. Kamu pikir ibumu ini tidak capek, tiap hari harus bangun pagi, masak,
bersih-bersih dan ngurus adikmu, Ima. Kamu itu anak perempuan dan anak pertama
ibu. Seharusnya kamu bisa jadi contoh untuk adik-adikmu.” Ibu berkata panjang
lebar.
“Iya,
Afira tahu bu. Tapi kan ada Rizal. Dia juga sudah tahu jalan ke rumah bulik Tuti.”
Aku
tetap ngeyel.
“Adikmu
itu pergi main, Fir. Kamu itu dimintai tolong kok ya ndak mau. Apa kamu saja yang
masak, biar ibu yang pergi?” ucap ibu mulai marah.
Waduh, aku kan nggak bisa masak.
kalau aku yang masak nanti aku sendiri yang pusing. Nggak ngerti bumbu-bumbu dapur.
Ungkapku dalam hati.
“Gimana?
Kamu yang masak?” Ibu mengulang pertanyaannya.
Dengan
berat hati, aku menuruti ucapan ibu. Kuraih kantong plastik itu dan segera
pergi. Tak kupedulikan cacing-cacing dalam perutku yang sejak tadi minta diisi.
“O
iya Fir. Setelah dari rumah bulik Tuti kamu temani Ima dulu. Dia lagi tidur di
kamar. Takutnya kalau dia bangun, ya nduk?” pinta ibu saat aku mengambil
sepeda.
Aku
menghela nafas, “Ya bu.”
***
Kubuka
pintu kamar dengan perlahan. Aku tidak ingin adikku bangun karena kedatanganku
dan mengganggu mimpinya. Tubuh mungil itu tidur dengan sangat pulas. Kedua
tangan dan kakinya memeluk guling yang entah sudah berapa kali terkena ompol.
Bibirnya bergerak-bergerak seperti mengucapkan sesuatu, bukan berbicara tapi
seperti sedang minum. Ya, mungkin botol minumnya lepas dari mulutnya. Dan kutemukan
botol minum Ima berada di atas bantal tidurnya. Kuraih dan kuisi botol itu
sampai penuh. Kuletakkan kembali di samping Ima, siapa tahu ia terbangun dan
merasa haus. Kurebahkan badanku di samping Ima. Mataku menatap langit-langit
kamar namun pikiranku mengembara menembus atap rumah. Masih terngiang ucapan Ibu
padaku.
“Kamu
itu anak perempuan dan anak pertama ibu. . .”
Hufffh.
Kuhembuskan nafas berat.
Anak pertama. Kenapa ibu selalu
berkata seperti itu jika aku tidak menurut? pikirku.
Aku
memang anak pertama dan aku punya dua orang adik. Adikku yang pertama, Rizal.
Dia duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 3. Anaknya bandel, nakal dan selalu
membuatku marah. Pernah suatu hari ibu marah padaku karena kamar yang
berantakan. Saat itu aku sedang tidur di kamar dan aku mendengar Rizal tertawa
keras. Aku memarahinya dan memintanya berhenti tertawa. Tapi ia justru
melempariku dengan bantal dan guling. Aku yang saat itu kesal membalas dan
melempar bantal dan guling ke arahnya. Dan tiba-tiba ibu datang.
“Masyaallah,
Fira. Apa-apaan ini. Kamar berantakan seperti ini. Kamu sudah besar jangan
seperti anak kecil. Sudah dibersihkan dan jangan main di kamar.”
Itu
yang Ibu katakan padaku. Aku kesal sekali saat itu. Rizal yang menjadi
penyebabnya malah pergi sambil tertawa.
“Ibu
tidak adil.” pekikku pelan.
Adikku
yang kedua namanya Ima. Usianya baru dua tahun. Hubunganku dengannya jauh lebih
baik dibanding dengan Rizal. Mungkin karena kami sama-sama perempuan.
Mataku
terasa berat. Semakin lama semakin berat. Akhirnya aku tertidur di samping Ima.
Aku
mencium sesuatu yang aneh. Seperti. . . bunga melati. Benar, aku mencium bunga
melati. Baunya sangat tajam dihidung. Perlahan, aku membuka mata. Betapa
terkejutnya aku. Aku sudah tidak berada di dalam kamar. Ima yang tadi tidur di
sampingku menghilang. Tempat tidur, almari pakaian, semuanya hilang. Kuedarkan
pandang. Sebuah ruangan besar yang berwarna putih. Ragu-ragu aku melangkahkan
kaki. Semakin jauh kau melangkah, aku semakin bingung. Aku seperti sedang
berputar. Sekelilingku tetap tembok putih. Tiba-tiba seorang laki-laki tua
berjenggot dan mengenakan baju putih panjang datang mendekatiku. Entah dari
arah mana pak tua itu datang.
“Assalamu’alaikum.”
Pak
tua itu menyapaku ramah.
“Wa’alaikum
salam.”
Aku
membalas tersenyum.
“Kamu
Afira?”
“Iya,
saya Afira. Bapak siapa?” tanyaku dengan gugup.
“Ikuti
aku Nak.”
Tanpa
menunggu jawabanku, Pak tua itu berjalan melewatiku. Aku diam di tempatku
berdiri. Aku bingung, tak tahu apa yang harus aku lakukan. Mengikuti Pak tua
itu atau tetap tinggal di sini. Aku tidak mengenal Pak tua itu dan aku juga
tidak tahu di mana aku sekarang. Bagaimana kalau Pak tua itu mencelakaiku? ah,
tidak mungkin. Aku memandangi Pak tua yang berjalan menjauh dariku. Sepertinya Pak
tua itu baik. Sebelah hatiku membela.
“Ikuti
aku Nak.”
Pak
tua itu seakan memahami keraguanku dan mengulang sekali lagi perkataannya yang
membuatku tersadar. Bismillah. Aku
melangkah mengikuti Pak tua itu. Ku buang jauh-jauh pikiran buruk yang terus
menerus muncul di benakku.
“Pak,
maaf. Saya mau bertanya. Ini di mana? dan Bapak mau mengajak saya kemana?”
Aku
bertanya dengan hati-hati. Pak tua itu hanya diam dan terus melangkah.
Jangankan menjawab pertanyaanku, menoleh padaku saja tidak.
Pak
tua itu berjalan ke arah yang tidak ada bedanya. Sekelilingku tetap tembok yang
berwarna putih. Namun tiba-tiba di depan sana ada tiga buah pintu. Tiga pintu yang
berbeda-beda.
Aku
mengedar pandang, tidak ada pintu seperti itu. Pintu yang pertama bentuknya
aneh. Terdapat goresan dan bekas terbakar. Dari dalam pintu terdengar suara
orang menjerit, merintih dan mengerang kesakitan. Sangat menakutkan.
“Seperti
di Neraka saja.” ucapku lirih.
Hah,
neraka? aku ngeri sendiri dengan ucapanku. Pak tua itu masih terus berjalan,
melewati pintu pertama. Seolah Pak tua itu tidak mendengar suara-suara
menakutkan itu. Satu pintu lagi di depan. Pintu itu biasa saja bentuknya. Tidak
ada goresan ataupun bekas terbakar. Pintu ini seperti pintu yang ada di rumah.
Rumah? aku tertegur. Menyadari bahwa aku tidak berada di rumah. Wajah ibu, Ima
dan Rizal berkelebatan di depan mataku. Tiba-tiba aku merindukan mereka. Apakah
ibu khawatir padaku?
“Masuklah.”
Pak
tua itu berkata tiba-tiba. Aku terkejut. Aku memandang pintu yang di tunjuk Pak
tua. Pintu itu berbeda dengan pintu pertama dan kedua. Pintu itu penuh dengan
ukiran-ukiran yang sangat indah, seperti ukiran ayat dalam Al-Qur’an.
Subhanallah. Aku terpesona. Pak tua menyuruhku membuka pintu itu. Sekali lagi
aku memuji kebesaran Allah SWT. Perlahan aku memasuki ruangan itu. Pak tua telah
berlalu meninggalkanku.
Sekarang,
aku berada di sebuah taman yang sangat luas dan indah. Bunga-bunga yang
terlihat cantik, sungai yang jernih, air mancur dan burung-burung yang terbang
di langit biru. Pemandangan yang menyejukkan hati.
“Assalamu’alaikum.”
Terdengar
suara seseorang dari samping kananku.
“Wa’alaikum
salam.”
Aku
menoleh. Wajah itu tersenyum padaku. Sebuah senyum yang telah lama tidak aku
lihat.
“Nenek.”
Aku
mendekati nenek. Kucium punggung tangannya dan memeluknya erat.
“Bagaimana
kabarmu, Fir?”
Nenek
mengelus lembut rambutku yang tergerai di tiup semilir angin.
“Alhamdulillah,
Afira baik nek. Nenek juga sepertinya sehat.”
Nenek
memandangku lembut.
“Oh
ya Nek. Ini tempat apa? indah sekali.”
Nenek
hanya tersenyum.
Krucuk krucuk krucuk.
Aduh,
cacing dalam perutku protes. Aku lapar. Aku baru ingat kalau aku belum makan
sejak tadi.
“Afira
kamu lapar?”
“
Iya nek. Tadi belum makan ” nyengir.
“Ayo
ikut Nenek.”
Kami
berjalan menyusuri hamparan taman bunga yang indah. Nenek berhenti di sebuah
bangku panjang yang berada di pinggir danau. Di atas bangku itu ada rantang
makanan.
“Nah,
makanlah.” Nenek menyodorkan rantang makanan itu padaku. Ragu aku menerima dan
membukanya. Di dalam rantang makanan itu ada nasi yang masih hangat, sayur, dan
ikan lele goreng yang terlihat sangat menggoda dan tak lupa sambal bawang. Menu
yang mantap.
“Wah,
sepertinya enak.” ungkapku gembira.
“Makanlah,
Fir.”
Segera
kulahap semua makanan itu tanpa ada yang tersisa. Tak lupa sebelum makanan aku
membaca do’a.
“Alhamdulillah,
makanannya enak, Nek. Nenek sendiri yang membuatnya?”
Aku
mengusap peluh dengan punggung tangan.
“Tentu
saja. Nenek tahu kalau kamu suka sekali masakan nenek. Apalagi sambal bawang.”
Aku
hanya bisa tersenyum, membenarkan pernyataan nenek.
“Kalau
begitu nenek pergi. Jaga dirimu baik-baik. Jadilah anak yang rajin dan jangan
lupa salat ya, Fir.”
“Nenek
mau kemana? Fira ikut Nek. Aku ingin bersama nenek. Aku tidak mau pulang.
Setiap hari ibu selalu marah padaku. Dimata ibu aku selalu saja salah, tidak
pernah benar. Ya nek?”
Aku
memohon.
“Nenek
tidak bisa mengajakmu, Fir. Belum saatnya. Aku kenal betul siapa ibumu itu. Dia
tidak akan marah kalau kamu tidak berbuat salah. Ibumu marah karena ia sayang
padamu, Fir. Tidak ada seorang ibu yang tidak menyayangi anaknya begitupun
ibumu, Fir. Apakah kamu lebih suka jika ibumu tidak memperhatikanmu? tidak
peduli padamu?”
Aku
hanya diam tertunduk.
“Kamu
sudah besar Fir. Kamu juga punya dua orang adik. Kamu harus bisa memberi contoh
yang baik pada mereka. Ibumu sangat menyayangimu Fir, percaya pada Nenek.”
Nenek melanjutkan.
“Nenek
pergi dulu. Assalamu’alaikum.”
Nenek
melangkah menjauhiku. Semakin lama semakin jauh hingga tidak terlihat lagi.
Tiba-tiba semuanya menjadi gelap.
“Fira,
bangun Nak. Makan dulu. Tadi kamu belum makan kan?”
Suara
ibu membangunkanku.
Kupandangi
sekelilingku. Tak ada danau, bangku panjang, taman bunga, dan Nenek. Semuanya hilang. Aku berada di rumah
sekarang. Ima masih tertidur di sampingku. Dan ibu duduk di depanku.
“Afira,
makan dulu. Kamu belum makan kan? Kamu sudah salat zuhur? ” Ibu bertanya dengan
lembut.
Kuintip
jam di dinding kamar. Pukul 13.30.
Syukurlah. Masih ada waktu. Yang
tadi itu. . . mimpi.
“Fira,
kamu kenapa? kok malah bengong.”
Aku
menatap ibu. Ada sebutir airmata di sudut mataku. Segera aku memeluk ibu dengan
erat seakan aku takut kehilangannya. Ibu yang awalnya terkejut, kemudian
tersenyum dan mengelus rambutku.
“Maafkan
aku ibu. Afira sudah sering membantah dan tidak menurut. Maafkan aku.” ucapku lirih.
Perlahan butiran airmata membasahi pipiku. Di dalam hati kulantunkan sebuah doa
untuk ibu.
Ya, Tuhanku. Ampunilah dosaku dan
dosa ibu ayahku serta sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi dan mendidikku
sewaktu aku masih kecil. Aamiin.
~
0 ~