Minggu, 10 Agustus 2014

Cerpen, Sepucuk Surat Untuk Cintaku




Sepucuk Surat Untuk Cintaku
Oleh : Nuril Islam

Dalam menjalani sebuah hubungan, rasa saling percaya itu sangatlah penting. Dengan rasa saling percaya itulah suatu hubungan akan awet, tidak kadaluarsa. Seperti halnya aku yang percaya sepenuhnya padamu lelakiku. Tidak secuilpun aku meragukan cintamu kepadaku. Dan aku yakin kau pun sama percayanya padaku. Benar, kan?

Selamat pagi cinta. Apa kabarmu hari ini? apakah semalam kau tidur nyenyak? apakah kau memimpikan aku?
Lagi-lagi, aku berdialog dengan bayanganmu. Seolah aku sedang bersamamu. Menghabiskan sarapan di meja makan seperti pagi yang dulu telah kita lewati bersama.
Hari ini adalah hari ke lima puluh sejak kau pergi ke tanah rantau. Meninggalkan aku, cintamu di tanah kelahiranmu ini. Kau tahu cinta, setiap malamku terasa sangat menyesakkan. Sulit rasanya diriku untuk memejamkan mata walau hanya sekejap. Aku mengkhawatirkanmu cinta.
Apakah kau tidur nyenyak? apakah kau kedinginan? apakah kau baik-baik saja? Aku hanya bisa menatap kosong langit malam yang bertabur bintang. Kau ingat, dulu kita sering duduk berdua di teras rumah sederhana kita. Memandangi langit berbintang bersama. Bercerita tentang keluarga kecil kita. Entah kenapa aku merindukan saat-saat itu. Saat bersamamu, menyandarkan kepalaku di bahu kekarmu. Yang kemudian kau memelukku, membuatku merasa sangat nyaman.
Aku selalu berdo’a agar kau baik-baik saja di sana. Aku akan meminta pada Tuhan untuk menjagamu dua puluh empat jam nonstop cinta. Meminta agar Dia menjaga setiap langkahmu yang menjejak di tanah orang. Aku akan menunggumu kembali cinta. Percayalah. Aku akan bertahan demi cintaku padamu. Demi mimpi indah kita.
Aku sempat meragukan kemampuanku sendiri. Aku sempat merasa pesimis dengan keadaan kita. Apakah aku mampu bertahan? dengan tenang kau menjawab, “ini adalah ujian untuk kita, sayang. Bertahanlah. Aku akan segera kembali padamu. Aku janji.”
Kalimatmu itu bagaikan oase di tengah gurun pasir, begitu menyejukkanku. Ya, mungkin kau benar cinta. Mungkin ini adalah ujian untuk kita. Ujian untuk menguatkan anugerah rasa yang diizinkan Tuhan hadir di hati kita.
Baiklah cinta, aku akan bertahan dan aku minta bantulah aku agar aku bisa melewati ini semua. Tetaplah menasehatiku dengan kata-kata bijakmu. Tetaplah rajin menghubungiku agar rasa curiga dan cemburu tidak mengompori untuk memusuhimu. Aku yakin, bersamamu semua akan terasa sangat mudah.  
Seperti kata pepatah, semakin tinggi pohon semakin kencang angin yang berhembus. Aku mendapatkan kabar burung tentangmu cinta. Kabar yang sejujurnya tidak ingin aku dengar, tidak ingin aku tahu. Tapi rasa penasaranku jauh lebih besar dibandingkan rasa takutku.
Apakah kabar itu?
Katanya kau telah memiliki cinta yang lain di sana. Airmataku seketika tumpah mendengar kabar itu. Tetesan airmata yang jatuh membawa serta rasa sakit yang hinggap di hati. Aku tidak bisa berpikir dengan jernih. Aku seolah membenarkan kabar itu. Toh, tidak ada yang tahu pasti apa yang kau lakukan di sana. Apa yang kau kerjakan di sana.
Benarkah cintaku telah berpindah ke lain hati? Perih rasanya aku membayangkan kemungkinan itu.
Dan untuk pertama kalinya aku merasa cemburu. Rasa cemburu yang sempurna membakar seluruh raga dan hatiku. Dan itu semakin terasa perih saat aku tidak bisa menghubungimu untuk menanyakan kebenaran berita itu. Dua hingga lima kali aku terus menghubungimu. Tapi yang menjawab bukan kau melainkan operator telpon bersuara khas itu. Kau ke mana cinta? kenapa kau tidak menjawab telponku? Tidakkah kau tahu, aku di sini dihinggapi rasa cemburu level lima belas.
Pagi, siang dan malam aku resah menanti penjelasanmu. Tapi penjelasan itu tak kunjung kau berikan dan aku memutuskan untuk berhenti berpikir buruk tentangmu dan tentang kabar itu. Aku pasrah karena aku merasa lelah curiga padamu. Aku mencoba mengikhlaskan semuanya pada Tuhan. Biarlah Dia yang menunjukkan jalan padaku cinta.
Saat menulis surat ini pun, airmataku berlinang karena rasa rinduku padamu cinta. Juga karena kabar terkutuk itu yang semakin hari semakin mempersempit gerak langkahku. Aku tetap berharap kau akan menjelaskan dan mengatakan bahwa kabar itu tidak benar. Bahwa kabar itu bohong. Bahwa kau tetap lelakiku yang dulu, yang selalu mencintaiku. Aku akan menunggu saat itu.
Lelakiku, aku akan tetap bertahan di sini dengan segenap cinta yang kupunya dan akan terus kujaga keutuhannya untukmu.
Dari aku yang merindumu,

[ * ]
Kudus, 09 Agustus 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar