Kemudahan Itu Pasti Datang
Oleh :
Nuril Islam
Mata
bulat coklat itu berbinar. Senyum kecil terlukis di bibir. Tanganku meraba kerudung panjang warna putih yang
sempurna menutupi rambut hitamku. Rasa senang membuncah di dada. Lega. Akhirnya
aku berjilbab. Hal yang seharusnya aku lakukan dari dulu. Aku masihmematut diri
di depan cermin. Berputar-putar, senyum-senyum
sendiri. Ya Rabb, teguhkan hatiku atas apa yang menjadi pilihanku ini.
Pagi
ini aku sibuk mempersiapkan berkas lamaran kerja. Kerja? aku menarik nafas
panjang. Perlahan membuangnya melalui mulut. Selama ini aku berkutat dengan
buku, rumus, soal-soal, tugas dan ujian tapi sekarang aku berada di tempat asing, tempat baru yang tidak aku
kenal. Lingkungan baru, orang-orang
baru, kehidupan baru. Jam di dinding kamar berdenting pelan. Berirama dengan
denyut jantungku. Tak bisa kupungkiri aku gugup. Gugup menerka masa depanku. Entah
bagaimana aku di masa depan? Aku tidak tahu. Aku merapikan kembali jilbab putihku
untuk terakhir kalinya. Sekejap melesat menjemput rahmat-Nya. Mentari tersenyum hangat, menyemangatiku.
Wajah
lelahku bercampur dengan peluh. Tidak ada lagi senyum semangat yang menghiasi
pagiku. Aku kecewa. Benar-benar kecewa. Lamaran kerjaku ditolak. Alasannya?
karena perusahaan mereka tidak menerima karyawan yang berjilbab. Oh Allah, satu
petir merobek harapanku. Mengubahnya menjadi abu. Aku lahir dan tumbuh di negara yang mayoritas penduduknya
adalah muslim, lalu apa maksud semua ini? aku merasa tersisih di kotaku
sendiri. Apa hubungannya jilbabku dengan pekerjaan? aku tidak mengerti.
Memusingkan. Aku teringat ucapan Nasha tempo hari.
“
Kamu yakin? Akan sulit mendapatkan pekerjaan jika . . . ” Kalimat Nasha menggantung.
Ragu jari telunjuknya menunjuk jilbab panjangku. Aku tersenyum tipis. Berfikir
positif. Namun ternyata… itu benar. Apa yang dikatakan Nasha itu benar adanya, tidak
ada perusahaan yang mau memperkerjakan karyawan yang berjilbab. Aku menghela
nafas. Tertunduk. Menatap kosong lantai keramik. Sekejap pandanganku berubah
kabur. Butir butir airmata berdenting di pelupuk mataku. Semilir angin
menyanyikan lagu duka untukku. Suaranya terdengar lirih dan menyesakkan.
Haruskah aku . . . ? Aku menggengam ujung jilbab panjangku. Mencari pegangan.
Haruskah aku melepasnya? Dadaku terasa sesak. Ya Allah, aku harus bagaimana? Tidak.
Aku tidak akan melakukannya. Aku tidak akan melepas jilbabku. Aku sudah
berjanji akan terus mengenakannya. Apapun yang terjadi. Aku menghapus bulir air
bening di ujung mata. Ini bukan akhir semuanya. Aku tidak boleh menyerah. Aku
yakin rizki Allah itu luas, tidak hanya di perusahaan yang menolakku itu. Semangat.
Semangat. Semangat.
Hingga
bulan berikutnya belum ada satu perusahaan yang memanggilku untuk interview. Hahhh, aku bingung. Lama-lama
diam di rumah juga bosan. Jenuh. Tidak ada aktivitas.
“
Sambil nunggu panggilan kerja lebih baik kamu nyambi* kerja di rumah. misal saja menjahit. ” ucap Ayahku suatu hari.
Menjahit? hmmm, kenapa tidak. Berbekal ilmu yang aku dapat sewaktu di SMP dulu
aku mulai kerja menjahit. Aneh memang, aku siswa lulusan SMK dari jurusan
Akuntansi menjadi seorang penjahit. Beberapa tetangga berbisik, mencibirku.
Kata mereka, sayang sekali kalau ijazah sekolahku itu dianggurin. Aku tidak banyak menanggapi. Aku lebih memilih untuk
diam dan tersenyum saja. Terkadang aku berfikir, apa salah menjadi seorang
penjahit? Apa menjadi penjahit itu hina? Ya, aku mengerti. Bagi kebanyakan
orang, jabatan tinggi adalah bukti bahwa sekolahnya itu berguna. Ijazahnya berguna. Kerja di kantoran, pakaian rapi,
bersepatu dan semacamnya. Melihat anaknya bisa bekerja kantoran merupakan
kebanggaan untuk orang tua. Mengangkat martabat keluarga. Akan aku buktikan
bahwa aku pun bisa menjadi kebanggaan.
Bulan
Desember tahun 2013.
Musim penghujan telah tiba. Segerombol awan berbaris rapi
di bawah langit sendu. Dinginnya angin yang berhembus menyejukkan hati.
Mengusir gerahku. Sebutir air hujan jatuh di teras rumah. Sekejap disusul
ribuan butir air hujan yang lain. Kaca jendela kamarku berembun. Kedinginan.
Aku terpaku melihat pemandangan di balik jendela. Diam. Menikmati melodi alam. Senyum
pagi matahari bersembunyi di balik awan. Senyum semangat yang selalu
menghangatkanku. Menghangatkan cita-cita
dan harapanku yang sempat membeku. Satu tahun berlalu sangat cepat. Potongan
kisah masa lalu satu persatu berseliweran di kepalaku. Berputar seperti film
bioskop tanpa aku minta. Terkadang aku tersenyum, menggeleng, sedih. Aku
menghela nafas. Membuat kaca jendela semakin buram. Hujan di luar semakin
deras. Aktivitas pagi ini masih lengang. Padahal jam di pergelangan tanganku
sudah menunjuk pukul sembilan. Beberapa toko masih tertutup rapat. Tapi tidak
dengan toko “ June Cell ”. Toko yang menjual pulsa itu sudah buka sejak pukul
tujuh pagi tadi. Itu toko milikku. Toko kecil sederhana yang mulai aku rintis
sejak enam bulan yang lalu. Modal awal aku dapatkan dari iuran dari ayah, ibu
dan sisa tabungan yang aku miliki. Alhamdulillah,
enam bulan ini semua berjalan lancar. Bangga rasanya bisa jadi seorang
wirausaha meski masih kecil. Aku yakin semua ini adalah jalan hidup yang telah
digariskan oleh Allah. Semua kesulitan dan masalah yang pernah menghampiri
hidupku adalah ujian agar aku menjadi orang yang lebih baik. Setiap masalah
yang ada, Allah selalu menjanjikan jalan keluarnya.
“ Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Kudus, 13 Mei 2014
Catatan
:
Nyambi : bahasa jawa,
kerja sampingan.(masuk dalam Antologi event "Muslimah Tangguh" oleh Pena Indhis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar