Selasa, 12 Agustus 2014

Cerpen, Kemudahan Itu Pasti Datang




Kemudahan Itu Pasti Datang
Oleh : Nuril Islam

Mata bulat coklat itu berbinar. Senyum kecil terlukis di bibir.  Tanganku meraba kerudung panjang warna putih yang sempurna menutupi rambut hitamku. Rasa senang membuncah di dada. Lega. Akhirnya aku berjilbab. Hal yang seharusnya aku lakukan dari dulu. Aku masihmematut diri di depan cermin. Berputar-putar, senyum-senyum sendiri. Ya Rabb, teguhkan hatiku atas apa yang menjadi pilihanku ini.
Pagi ini aku sibuk mempersiapkan berkas lamaran kerja. Kerja? aku menarik nafas panjang. Perlahan membuangnya melalui mulut. Selama ini aku berkutat dengan buku, rumus, soal-soal, tugas dan ujian tapi sekarang aku berada di tempat asing, tempat baru yang tidak aku kenal. Lingkungan baru, orang-orang baru, kehidupan baru. Jam di dinding kamar berdenting pelan. Berirama dengan denyut jantungku. Tak bisa kupungkiri aku gugup. Gugup menerka masa depanku. Entah bagaimana aku di masa depan? Aku tidak tahu. Aku merapikan kembali jilbab putihku untuk terakhir kalinya. Sekejap melesat menjemput rahmat-Nya. Mentari tersenyum hangat, menyemangatiku.
Wajah lelahku bercampur dengan peluh. Tidak ada lagi senyum semangat yang menghiasi pagiku. Aku kecewa. Benar-benar kecewa. Lamaran kerjaku ditolak. Alasannya? karena perusahaan mereka tidak menerima karyawan yang berjilbab. Oh Allah, satu petir merobek harapanku. Mengubahnya menjadi abu. Aku lahir dan tumbuh di negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim, lalu apa maksud semua ini? aku merasa tersisih di kotaku sendiri. Apa hubungannya jilbabku dengan pekerjaan? aku tidak mengerti. Memusingkan. Aku teringat ucapan Nasha tempo hari.
“ Kamu yakin? Akan sulit mendapatkan pekerjaan jika . . . ” Kalimat Nasha menggantung. Ragu jari telunjuknya menunjuk jilbab panjangku. Aku tersenyum tipis. Berfikir positif. Namun ternyata… itu benar. Apa yang dikatakan Nasha itu benar adanya, tidak ada perusahaan yang mau memperkerjakan karyawan yang berjilbab. Aku menghela nafas. Tertunduk. Menatap kosong lantai keramik. Sekejap pandanganku berubah kabur. Butir butir airmata berdenting di pelupuk mataku. Semilir angin menyanyikan lagu duka untukku. Suaranya terdengar lirih dan menyesakkan. Haruskah aku . . . ? Aku menggengam ujung jilbab panjangku. Mencari pegangan. Haruskah aku melepasnya? Dadaku terasa sesak. Ya Allah, aku harus bagaimana? Tidak. Aku tidak akan melakukannya. Aku tidak akan melepas jilbabku. Aku sudah berjanji akan terus mengenakannya. Apapun yang terjadi. Aku menghapus bulir air bening di ujung mata. Ini bukan akhir semuanya. Aku tidak boleh menyerah. Aku yakin rizki Allah itu luas, tidak hanya di perusahaan yang menolakku itu. Semangat. Semangat. Semangat.
Hingga bulan berikutnya belum ada satu perusahaan yang memanggilku untuk interview. Hahhh, aku bingung. Lama-lama diam di rumah juga bosan. Jenuh. Tidak ada aktivitas.
“ Sambil nunggu panggilan kerja lebih baik kamu nyambi* kerja di rumah. misal saja menjahit. ” ucap Ayahku suatu hari. Menjahit? hmmm, kenapa tidak. Berbekal ilmu yang aku dapat sewaktu di SMP dulu aku mulai kerja menjahit. Aneh memang, aku siswa lulusan SMK dari jurusan Akuntansi menjadi seorang penjahit. Beberapa tetangga berbisik, mencibirku. Kata mereka, sayang sekali kalau ijazah sekolahku itu dianggurin. Aku tidak banyak menanggapi. Aku lebih memilih untuk diam dan tersenyum saja. Terkadang aku berfikir, apa salah menjadi seorang penjahit? Apa menjadi penjahit itu hina? Ya, aku mengerti. Bagi kebanyakan orang, jabatan tinggi adalah bukti bahwa sekolahnya itu berguna. Ijazahnya berguna. Kerja di kantoran, pakaian rapi, bersepatu dan semacamnya. Melihat anaknya bisa bekerja kantoran merupakan kebanggaan untuk orang tua. Mengangkat martabat keluarga. Akan aku buktikan bahwa aku pun bisa menjadi kebanggaan.
Bulan Desember tahun 2013. 
Musim penghujan telah tiba. Segerombol awan berbaris rapi di bawah langit sendu. Dinginnya angin yang berhembus menyejukkan hati. Mengusir gerahku. Sebutir air hujan jatuh di teras rumah. Sekejap disusul ribuan butir air hujan yang lain. Kaca jendela kamarku berembun. Kedinginan. Aku terpaku melihat pemandangan di balik jendela. Diam. Menikmati melodi alam. Senyum pagi matahari bersembunyi di balik awan. Senyum semangat yang selalu menghangatkanku. Menghangatkan cita-cita dan harapanku yang sempat membeku. Satu tahun berlalu sangat cepat. Potongan kisah masa lalu satu persatu berseliweran di kepalaku. Berputar seperti film bioskop tanpa aku minta. Terkadang aku tersenyum, menggeleng, sedih. Aku menghela nafas. Membuat kaca jendela semakin buram. Hujan di luar semakin deras. Aktivitas pagi ini masih lengang. Padahal jam di pergelangan tanganku sudah menunjuk pukul sembilan. Beberapa toko masih tertutup rapat. Tapi tidak dengan toko “ June Cell ”. Toko yang menjual pulsa itu sudah buka sejak pukul tujuh pagi tadi. Itu toko milikku. Toko kecil sederhana yang mulai aku rintis sejak enam bulan yang lalu. Modal awal aku dapatkan dari iuran dari ayah, ibu dan sisa tabungan yang aku miliki. Alhamdulillah, enam bulan ini semua berjalan lancar. Bangga rasanya bisa jadi seorang wirausaha meski masih kecil. Aku yakin semua ini adalah jalan hidup yang telah digariskan oleh Allah. Semua kesulitan dan masalah yang pernah menghampiri hidupku adalah ujian agar aku menjadi orang yang lebih baik. Setiap masalah yang ada, Allah selalu menjanjikan jalan keluarnya.
“ Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” 

Kudus, 13 Mei 2014

Catatan :
Nyambi : bahasa jawa, kerja sampingan.

(masuk dalam Antologi event "Muslimah Tangguh" oleh Pena Indhis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar