Senin, 11 Agustus 2014

Setangkai Mawar Merah



Setangkai Mawar Merah
Oleh : Nuril Islam

Angin membelai lembut wajahku. Membuatku memejamkan mata sejenak. Kuedarkan pandang, benih-benih padi yang menghijau terhampar luas bak permadani. Daun-daun bergoyang pelan mengikuti jejak sang angin. Wajahku tertoleh demi melihat matahari yang lima menit lalu menampakkan wajahnya. Tempat menyenangkan untuk melihat matahari terbit.
Selamat pagi.
Matahari tersenyum hangat padaku. Sehangat cahayanya yang menimpa pohon pisang, pohon palem, atap rumah dan pucuk-pucuk bunga yang merekah. Menilik handphone di saku. Sepi. Rio belum memberi kabar sejak kemarin. Menghela nafas. Semoga semua baik-baik saja.
Peluh dan keringat memenuhi seluruh tubuhku. Aku bergegas kembali ke rumah. Menyapa ibu yang sedang asyik dengan taman bunganya.
“ Pagi ibuku yang cantik. ” cekatan tangan ibu merapikan bunga bougenvilnya yang sedang berbunga.
“ Pagi Nay, sudah selesai olahraga paginya? ”
Aku mengangguk, “ Aku masuk dulu ya bu. Mau ngadem. Gerah.”
Aku melangkah menuju ruang tamu. Merebahkan tubuh sejenak. Kedua bola mataku tertuju pada setangkai mawar merah di atas meja. Bunga mawar merah dan sepucuk surat. Dari siapa?
“ Bu, ini bunga mawar buat siapa? ” Aku bertanya pada ibu saat melintas di depanku.
“ Oh, iya. Tadi ada orang yang mengantar bunga mawar ini. Katanya buat kamu. ”
Dahiku terlipat. Berfikir keras. Siapa?
“ Coba kamu baca aja suratnya. Ibu mau ke dapur dulu.”
Kucium bunga mawar merah itu. Harum. Kuraih surat kecil berbentuk hati itu.

Selamat pagi, cinta.

                            yang merindumu,
                            Rio.

Handphoneku berdering. Ada telepon masuk.
“ Pagi, Nay. ” Sapaan seseorang yang amat sangat aku kenal.
“ Pagi. Makasih ya buat bunganya. ”
“ Kamu suka? ”
“ Lumayan.”
“ Kok lumayan? ”
“ Lebih indah kalau kamu juga ada di samping aku.”
Senyap di seberang.
“ Maaf ya Nay, untuk beberapa bulan ini aku tidak bisa bersamamu. Karenanya aku mengirimkan setangkai bunga mawar itu. Sebagai pengganti kehadiranku. ” Kugenggam bunga mawar merah itu dan mencium harumnya. Membayangkan wajah dan senyum Rio.
Kejutan kecil itu berlanjut hari-hari berikutnya. Setangkai bunga mawar. Ya, hanya setangkai. Terasa ganjil. Kenapa Rio tidak memberi serangkai bunga mawar sekaligus, bukan hanya setangkai? Rio hanya tertawa saat aku menanyakan alasannya.
“ Kau ini lucu sekali Nay. Sama saja kau mengatakan, ‘kenapa tidak mencintai gadis-gadis lain?’ ” Rio tertawa keras. Mungkin sambil memegang perutnya, entahlah.
“ Iiiih, aku kan cuma nanya kenapa dijawab begitu. ” Aku sewot.
“ Setangkai bunga mawar itu ungkapan perasaanku ke kamu Nay. Bahwa cintaku hanya satu dan itu hanya kamu. Bukan yang lain. ” Pipiku bersemu merah. Antara malu dan tersanjung.  
Hari berganti bulan. Bulan berganti tahun. Tak terasa satu tahun sudah aku dan Rio menjalani hubungan jarak jauh ini. Tak sedikit masalah dan pertengkaran yang menghiasi hubungan kami. Karena komunikasi yang baik, sikap saling mengerti dan  percaya, semua terlewati tanpa kami menganggap itu adalah masalah.
Hari itu, mendung menutupi langit pagi. Memaksa matahari absen bersinar hari itu. Udara tiba-tiba berubah dingin. Angin bertiup kencang. Menerbangkan daun-daun kering. Aku duduk termangu di ruang tamu. Menunggu ‘kejutan kecil’ itu. Jam dinding ruang tamu berdenting merdu. Asyik bersenandung, mengabaikan diriku yang semakin resah. Hingga siang, ‘kejutan kecil’ itu belum juga datang. Aku mulai bosan. Di luar, hujan turun deras. Suara gemericiknya menghipnotisku. Menina-bobokan diriku. Akupun akhirnya tertidur. Sore harinya, aku mencoba menelpon Rio. Tidak diangkat. Dua kali, hingga lima kali masih belum ada yang menjawab telponku. Panggilan sibuk. Hatiku tiba-tiba was was.
Tuhan, jangan biarkan pikiran buruk itu melintas.
Diujung keputusasaanku, handphoneku berdering. Nama Rio muncul di layar.
“ Halo, Rio. ” Suaraku serak. Menahan air disudut mata.
“ Halo, mbak Nayla. Ini Sinta mbak. Mas Rio…sekarang di Rumah Sakit mbak. Maafkan Sinta mbak baru mengabari mbak sekarang. Mas Rio melarang Sinta memberitahu mbak Nayla. ”
Melarang memberitahuku? Tapi kenapa?
Setelah obrolan ditelpon terputus, aku meluncur ke Rumah Sakit yang disebut Sinta. Sepuluh menit akhirnya aku sampai di sana. Terburu-buru melewati koridor dan tangga Rumah Sakit. Tidak sabar. Berkali-kali aku salah memasuki ruangan. Aku terlalu panik. Untung saja Sinta melihatku saat aku bertanya pada seorang cleaning  service.
“ Mbak Nayla.” Sinta mendekatiku.
“ Terima kasih ya mbak.” Aku tersenyum pada cleaning service itu. Ia kemudian pamit, hendak membersihkan ruangan yang lain.
Wajah itu terlihat sangat damai. Meski sedikit pucat.
“ Rio sakit apa Sin? ” aku berbisik lirih.
“ Kata Dokter mas Rio divonis kanker otak, mbak. ” Sinta menyeka ujung matanya.
“ Kenapa Rio merahasiakan semua ini? ” mataku menatap lekat wajah Rio. Laki-laki yang sangat aku sayangi itu sedang tertidur pulas. Sedang tangan kanannya menggenggam setangkai bunga mawar merah. Bunga mawar merah itu? Mataku berair, membuat kristal-kristal bening.
“ Mas Rio memang memintaku untuk merahasiakannya dari mbak. Bunga mawar merah itu… tadi pagi, mas Rio memaksa untuk mengantarkan bunga mawar merah itu langsung ke rumah mbak tapi Ayah dan Ibu melarang. Mas Rio sempat diikat tangan dan kakinya karena berusaha kabur dari Rumah Sakit. Maaf mbak, Sinta keluar sebentar ya. ” Aku hanya mengangguk. Aku mendengar Sinta membuka pintu kemudian ruangan berubah senyap.
Rio terbangun. Ia menoleh ke arahku. Aku mencoba tersenyum. Dia juga tersenyum. Tangan kanannya menyerahkan bunga mawar merah itu padaku. Aku menerimanya dengan canggung.
“ Terima kasih. ”
“ Kau tahu Nay, itu bunga mawar merah ke 365 yang aku berikan padamu. ”
“ Berarti hampir setiap hari kau mampir ke toko bunga hanya untuk membeli setangkai bunga mawar ini? Tidak punya kerjaan. Dasar! ” Aku mencoba bergurau. Memukul lengannya dengan bunga mawar merah pemberiannya itu. Membuat kelopak bunga mawar itu rontok di atas tubuh Rio. Aku kesal, kenapa Rio merahasiakan semua ini? merahasiakan penyakitnya? kenapa?
“ Maaf Nay, aku tidak mengatakan yang sejujurnya padamu tentang penyakitku. Aku hanya tidak ingin membebanimu.” Rio meraih jemari tanganku dan menggengamnya erat.
“ Bunga mawar merah itu indah, bukan? sama sepertimu Nay. Selalu indah dimataku. Setiap hari saat memandangi bunga mawar merah, aku teringat padamu Nay. Senyummu, wajahmu. ” Rio menarik nafas, “Nayla, apakah kau mencintaiku? ” Bola mata coklat itu menatapku. Cahaya mata itu redup.
Aku mengangguk, “ Aku sangat mencintaimu. ”
“ Terima kasih Nay. ”
Tiba-tiba Rio mencengkeram erat kepalanya. Mengerang. Merintih kesakitan. Bola mata coklat itu perlahan terpejam. Aku memanggil Rio berulang kali. Tapi, Rio hanya diam membeku. Aku panik. Cepat aku memanggil suster, dokter, siapapun. Airmataku beranak sungai. Tak mampu lagi aku bendung. Ayah dan Ibu Rio mengikuti langkah Dokter. Aku duduk tergugu di depan pintu. Tuhan, aku mohon jangan ambil dia.
Lima menit yang sangat menyesakkan. Tanpa kepastian. Langit malam ini terlihat memesona. Bertabur bintang dan bulan. Namun semua kepedihan ini membuatku mati.

Tulus cintamu akan selalu abadi di hatiku. Tak akan pernah layu dan mati. Mekar dengan indahnya sepanjang musim. Biarlah aku bersabar lebih lama lagi. Biarlah aku menunggu lebih lama lagi. Tidak apa.
Setangkai mawar merah ini, aku mencintaimu…

(masuk dalam antologi LDR buku 3, Penerbit Oksana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar