Setangkai Mawar Merah
Oleh : Nuril Islam
Angin
membelai lembut wajahku. Membuatku memejamkan mata sejenak. Kuedarkan pandang,
benih-benih padi yang menghijau terhampar luas bak permadani. Daun-daun
bergoyang pelan mengikuti jejak sang angin. Wajahku tertoleh demi melihat
matahari yang lima menit lalu menampakkan wajahnya. Tempat menyenangkan untuk melihat
matahari terbit.
Selamat
pagi.
Matahari
tersenyum hangat padaku. Sehangat cahayanya yang menimpa pohon pisang, pohon
palem, atap rumah dan pucuk-pucuk bunga yang merekah. Menilik handphone di
saku. Sepi. Rio belum memberi kabar sejak kemarin. Menghela nafas. Semoga semua
baik-baik saja.
Peluh
dan keringat memenuhi seluruh tubuhku. Aku bergegas kembali ke rumah. Menyapa
ibu yang sedang asyik dengan taman bunganya.
“
Pagi ibuku yang cantik. ” cekatan tangan ibu merapikan bunga bougenvilnya yang
sedang berbunga.
“
Pagi Nay, sudah selesai olahraga paginya? ”
Aku
mengangguk, “ Aku masuk dulu ya bu. Mau ngadem.
Gerah.”
Aku
melangkah menuju ruang tamu. Merebahkan tubuh sejenak. Kedua bola mataku
tertuju pada setangkai mawar merah di atas meja. Bunga mawar merah dan sepucuk
surat. Dari siapa?
“
Bu, ini bunga mawar buat siapa? ” Aku bertanya pada ibu saat melintas di
depanku.
“
Oh, iya. Tadi ada orang yang mengantar bunga mawar ini. Katanya buat kamu. ”
Dahiku
terlipat. Berfikir keras. Siapa?
“
Coba kamu baca aja suratnya. Ibu mau ke dapur dulu.”
Kucium
bunga mawar merah itu. Harum. Kuraih surat kecil berbentuk hati itu.
Selamat pagi, cinta.
yang merindumu,
Rio.
Handphoneku berdering. Ada telepon masuk.
“
Pagi, Nay. ” Sapaan seseorang yang amat sangat aku kenal.
“
Pagi. Makasih ya buat bunganya. ”
“
Kamu suka? ”
“
Lumayan.”
“
Kok lumayan? ”
“
Lebih indah kalau kamu juga ada di samping aku.”
Senyap
di seberang.
“
Maaf ya Nay, untuk beberapa bulan ini aku tidak bisa bersamamu. Karenanya aku
mengirimkan setangkai bunga mawar itu. Sebagai pengganti kehadiranku. ”
Kugenggam bunga mawar merah itu dan mencium harumnya. Membayangkan wajah dan
senyum Rio.
Kejutan
kecil itu berlanjut hari-hari berikutnya. Setangkai bunga mawar. Ya, hanya
setangkai. Terasa ganjil. Kenapa Rio tidak memberi serangkai bunga mawar
sekaligus, bukan hanya setangkai? Rio hanya tertawa saat aku menanyakan
alasannya.
“
Kau ini lucu sekali Nay. Sama saja kau mengatakan, ‘kenapa tidak mencintai
gadis-gadis lain?’ ” Rio tertawa keras. Mungkin sambil memegang perutnya, entahlah.
“
Iiiih, aku kan cuma nanya kenapa dijawab begitu. ” Aku sewot.
“
Setangkai bunga mawar itu ungkapan perasaanku ke kamu Nay. Bahwa cintaku hanya
satu dan itu hanya kamu. Bukan yang lain. ” Pipiku bersemu merah. Antara malu
dan tersanjung.
Hari
berganti bulan. Bulan berganti tahun. Tak terasa satu tahun sudah aku dan Rio
menjalani hubungan jarak jauh ini. Tak sedikit masalah dan pertengkaran yang
menghiasi hubungan kami. Karena komunikasi yang baik, sikap saling mengerti
dan percaya, semua terlewati tanpa kami
menganggap itu adalah masalah.
Hari
itu, mendung menutupi langit pagi. Memaksa matahari absen bersinar hari itu.
Udara tiba-tiba berubah dingin. Angin bertiup kencang. Menerbangkan daun-daun
kering. Aku duduk termangu di ruang tamu. Menunggu ‘kejutan kecil’ itu. Jam
dinding ruang tamu berdenting merdu. Asyik bersenandung, mengabaikan diriku
yang semakin resah. Hingga siang, ‘kejutan kecil’ itu belum juga datang. Aku
mulai bosan. Di luar, hujan turun deras. Suara gemericiknya menghipnotisku.
Menina-bobokan diriku. Akupun akhirnya tertidur. Sore harinya, aku mencoba
menelpon Rio. Tidak diangkat. Dua kali, hingga lima kali masih belum ada yang
menjawab telponku. Panggilan sibuk. Hatiku tiba-tiba was was.
Tuhan,
jangan biarkan pikiran buruk itu melintas.
Diujung
keputusasaanku, handphoneku berdering. Nama Rio muncul di layar.
“
Halo, Rio. ” Suaraku serak. Menahan air disudut mata.
“
Halo, mbak Nayla. Ini Sinta mbak. Mas Rio…sekarang di Rumah Sakit mbak. Maafkan
Sinta mbak baru mengabari mbak sekarang. Mas Rio melarang Sinta memberitahu
mbak Nayla. ”
Melarang
memberitahuku? Tapi kenapa?
Setelah
obrolan ditelpon terputus, aku meluncur ke Rumah Sakit yang disebut Sinta.
Sepuluh menit akhirnya aku sampai di sana. Terburu-buru melewati koridor dan
tangga Rumah Sakit. Tidak sabar. Berkali-kali aku salah memasuki ruangan. Aku
terlalu panik. Untung saja Sinta melihatku saat aku bertanya pada seorang
cleaning service.
“
Mbak Nayla.” Sinta mendekatiku.
“
Terima kasih ya mbak.” Aku tersenyum pada cleaning service itu. Ia kemudian
pamit, hendak membersihkan ruangan yang lain.
Wajah
itu terlihat sangat damai. Meski sedikit pucat.
“
Rio sakit apa Sin? ” aku berbisik lirih.
“
Kata Dokter mas Rio divonis kanker otak, mbak. ” Sinta menyeka ujung matanya.
“
Kenapa Rio merahasiakan semua ini? ” mataku menatap lekat wajah Rio. Laki-laki
yang sangat aku sayangi itu sedang tertidur pulas. Sedang tangan kanannya
menggenggam setangkai bunga mawar merah. Bunga mawar merah itu? Mataku berair,
membuat kristal-kristal bening.
“
Mas Rio memang memintaku untuk merahasiakannya dari mbak. Bunga mawar merah
itu… tadi pagi, mas Rio memaksa untuk mengantarkan bunga mawar merah itu
langsung ke rumah mbak tapi Ayah dan Ibu melarang. Mas Rio sempat diikat tangan
dan kakinya karena berusaha kabur dari Rumah Sakit. Maaf mbak, Sinta keluar
sebentar ya. ” Aku hanya mengangguk. Aku mendengar Sinta membuka pintu kemudian
ruangan berubah senyap.
Rio
terbangun. Ia menoleh ke arahku. Aku mencoba tersenyum. Dia juga tersenyum.
Tangan kanannya menyerahkan bunga mawar merah itu padaku. Aku menerimanya
dengan canggung.
“
Terima kasih. ”
“
Kau tahu Nay, itu bunga mawar merah ke 365 yang aku berikan padamu. ”
“
Berarti hampir setiap hari kau mampir ke toko bunga hanya untuk membeli
setangkai bunga mawar ini? Tidak punya kerjaan. Dasar! ” Aku mencoba bergurau. Memukul
lengannya dengan bunga mawar merah pemberiannya itu. Membuat kelopak bunga
mawar itu rontok di atas tubuh Rio. Aku kesal, kenapa Rio merahasiakan semua
ini? merahasiakan penyakitnya? kenapa?
“
Maaf Nay, aku tidak mengatakan yang sejujurnya padamu tentang penyakitku. Aku hanya
tidak ingin membebanimu.” Rio meraih jemari tanganku dan menggengamnya erat.
“
Bunga mawar merah itu indah, bukan? sama sepertimu Nay. Selalu indah dimataku.
Setiap hari saat memandangi bunga mawar merah, aku teringat padamu Nay.
Senyummu, wajahmu. ” Rio menarik nafas, “Nayla, apakah kau mencintaiku? ” Bola
mata coklat itu menatapku. Cahaya mata itu redup.
Aku
mengangguk, “ Aku sangat mencintaimu. ”
“
Terima kasih Nay. ”
Tiba-tiba
Rio mencengkeram erat kepalanya. Mengerang. Merintih kesakitan. Bola mata
coklat itu perlahan terpejam. Aku memanggil Rio berulang kali. Tapi, Rio hanya
diam membeku. Aku panik. Cepat aku memanggil suster, dokter, siapapun.
Airmataku beranak sungai. Tak mampu lagi aku bendung. Ayah dan Ibu Rio
mengikuti langkah Dokter. Aku duduk tergugu di depan pintu. Tuhan, aku mohon
jangan ambil dia.
Lima
menit yang sangat menyesakkan. Tanpa kepastian. Langit malam ini terlihat memesona.
Bertabur bintang dan bulan. Namun semua kepedihan ini membuatku mati.
Tulus
cintamu akan selalu abadi di hatiku. Tak akan pernah layu dan mati. Mekar
dengan indahnya sepanjang musim. Biarlah aku bersabar lebih lama lagi. Biarlah
aku menunggu lebih lama lagi. Tidak apa.
Setangkai mawar merah ini, aku mencintaimu…(masuk dalam antologi LDR buku 3, Penerbit Oksana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar