TUJUH BELAS AGUSTUS
Jam berapa sih nih, gumamku.
Aku meraih handphone-ku yang tergeletak di atas meja. Pukul 06.00. Sudah pagi
ternyata. Segera kulangkahkan kaki keluar kamar. Mataku menyibak seluruh
ruangan. Sepi.
Pada ke mana? Dahiku
berlipat saling merapat. Aku melangkah menuju dapur. Kudapati di sana Ibuku
sedang sibuk memasak. Lalu aku melangkah lagi menuju kamar adik-adikku. Si Mia,
adik ketigaku sedang merapikan seragam merah putihnya.
“Mau ke mana? ini hari
minggu kan? masih masuk sekolah?” tanyaku heran. Dahiku masih merapat.
“Upacara kak. Kan hari
ini tujuh belas Agustus.” jawab Mia datar.
Eh, hari ini tujuh
belas Agustus ya? Tepat enam puluh sembilan tahun yang lalu, Indonesia, tanah
airku menikmati kemerdekaannya. Bagaimana bisa aku lupa. Empat tahun nggak
sekolah aku jadi nggak lagi peka dengan perayaan di negaraku. Aku menepuk
jidatku yang cukup lebar. Penyakit lupaku semakin hari semakin parah saja.
Waduuuh.
Upacara tujuh belasan.
Empat tahun yang lalu aku terakhir mengikuti upacara bendera. Aku kangen deh.
Berdiri di atas rumput yang menghijau, siswa-siswi yang berbaris rapi, guru-guru,
petugas upacara, pengibaran bendera, paduan suara. Pengen lagi. Ups! ya sih,
berdiri di lapangan itu bikin pegel, capeknya itu di sini (nunjuk kaki) tapi
suasana upacara itu salah satu momen yang tidak bisa aku lupakan. Unforgettable
experiense to me.
Tujuh belasan itu
identik dengan lomba-lomba. Waktu aku masih kecil, aku sering mengikuti
perlombaan tujuh belasan. Mulai dari masukin pensil ke dalam botol, lomba
masukin benang ke dalam jarum, lomba makan kerupuk, lomba kelereng. Seru
banget. Deg-degan dan juga seneng kalau bisa menang. Meski aku selalu saja
kalah. Nasib, nasib. Hemmm.
Setiap lomba itu
seperti perjuangan para pejuang kemerdekaan dalam mewujudkan Indonesia Merdeka
dan menang saat lomba itu seperti rasa puas para pejuang saat mendapatkan
kemerdekaan untuk Tanah Air Indonesia. Benar begitu?
Kalau pejuang zaman
dulu menggunakan rambu runcing, senapan untuk membela tanah air kalau sekarang
masihkah seperti itu? sebentar aku bayangin dulu ye. Misalkan saja aku membawa
senapan di tengah jalan dengan wajah dicorat-coret dan mengenakan pakaian seperti
tentara, gimana ya? aku malah lebih mirip orang setengah waras yang biasa
berkeliaran di pinggir jalan dibanding sebagai seorang pejuang. Ya iyalah. Sudah
tidak zamannya membela negara dengan mengangkat senjata. Lalu dengan apa?
bingung sendiri mau nanya sapa siapa. Soalnya aku lagi sendiri. Nggak ada
seorangpun di sampingku, di depanku, apalagi di belakangku. Angin aja nggak
lewat apa lagi manusia. Salah-salah makhluk dari alam lain yang menjawab. Hiiii,
sey(r)em. Kabuuuur…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar