Selasa, 12 Agustus 2014

Cerpen, Kekuatan Doa Seorang Ibu


Kekuatan Doa Seorang Ibu
Oleh : Nuril Islam

“Ibu, buka pintunya. Ibu!” Aldi menggedor pintu rumah dengan keras.
“Ibu! Buka pintunya.” kata Aldi lagi.
Lama Aldi menunggu, tapi Ibunya tidak kunjung membukakan pintu.
“Ibu, buka pintunya kalau tidak aku dobrak sekarang.” seru Aldi geram. Aldi melangkah mundur beberapa langkah, mengambil ancang-ancang. Aldi telah siap mendobrak pintu namun tiba-tiba…
Kreeek…
Pintu rumah terbuka. Seorang wanita tua keluar dari rumah sederhana itu. Wajahnya terlihat lelah. Wanita itu mendekati Aldi.
“Maafkan Ibu. Tadi Ibu ketiduran.”
“Aaah, alasan. Ibu selalu begitu. Minggir.” Aldi menjawab ketus. Berjalan masuk ke dalam rumah. Menyenggol Ibunya hingga terdorong ke belakang. Ibu Aldi merintih menahan sakit di punggungnya.
“Aldi, kamu dari mana? Kenapa jam segini baru pulang?” tanya Ibu Aldi. Membuntuti Aldi ke dalam rumah. Aldi justru cuek tidak mempedulikan pertanyaan Ibunya itu. Ia melangkah masuk ke kamar. Merebahkan tubuhnya di atas kasur. Tidur.
“Aldi, jawab Ibu. Kamu dari mana Nak? Ibu cemas.” kata Ibu Aldi lagi.
“Sudahlah Bu, itu bukan urusan Ibu. Ibu tidak lihat, aku capek Bu. Pengen tidur. Jadi lebih baik Ibu keluar.” jawab Aldi masih ketus.
“Ya sudah.” Ibu Aldi menghela napas. Melangkah keluar kamar.
Ibu Aldi berdiri mematung di depan pintu kamar Aldi. Sekejap mata Ibu Aldi basah. Ribuan butir air bening menganak sungai dari pelupuk matanya.
“Maafkan Ibu Nak. Ibu tidak bisa menjadi Ibu yang sempurna untuk kamu. Ibu tidak bisa membahagiakan kamu. Kamu harus hidup susah seperti ini. Kalau saja Bapakmu masih bersama kita mungkin hidup kita tidak akan seperti ini Nak. Maafkan Ibu.” ucap Ibu Aldi lirih.
Ibu Aldi pun memutuskan kembali ke kamar. Rasa pegal karena seharian bekerja kembali menyergap raganya yang mulai menua.
Pukul 03.00
Malam semakin mengigil. Suara binatang malam pun tak lagi terdengar. Hanya
suara jam di dinding kamar yang berdenting pelan. Terdengar suara tangisan dari sebelah kamar Aldi. Wajah itu menangis di atas sajadahnya yang lusuh. Air mata tiada hentinya mengalir menganak sungai. Bibirnya tidak berhenti berdzikir, berdoa pada Tuhan Pemilik alam semesta. Satu doa khusus Ia tujukan teruntuk anaknya.
“Ya Allah, berikan hidayah-Mu untuk Aldi. Bimbinglah dia agar kembali pada-Mu. Jadikanlah dia anak yang sholeh dan berbakti kepada kedua orangtuanya. Lindungilah dia di mana pun dia berada. Jauhkanlah dia dari orang-orang jahat dan orang-orang yang mengajaknya kepada keburukan ya Allah. Rabbanaa aatinaa fid-dun-yaa hasanatan wa filaakhirati hasanatan wa qinaa ‘adzaaban-naar. Aamiin.”
*****
Aldi, remaja tanggung itu masih santai di dalam kamarnya. Asyik sendiri bermain handphone. Sedang Ibunya tengah sibuk mencuci pakaian. Ya setiap hari Ibu Aldi bekerja sebagai buruh cuci untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan juga untuk biaya sekolah Aldi. Selain pekerjaannya sebagai pembantu rumah tangga. Ibu Aldi tidak pernah malu ataupun risih karena bagi beliau uang yang didapatkan dari pekerjaannya itu adalah uang halal. Meski itu sempat menjadi penyebab pertengkaran Ibu Aldi dengan Aldi. Aldi merasa malu karena teman-teman sekelasnya selalu mengejek Aldi. Mengatai Aldi sebagai anak pembantu.
“Maafkan Ibu karena pekerjaan Ibu ini kamu menjadi bahan tertawaan di sekolah. Maafkan Ibu, Nak.”
“Makanya Ibu harus berhenti jadi pembantu. Titik.” ucap Aldi keras.
“Tapi… Nak, kalau Ibu berhenti, dari mana Ibu bisa dapat uang? dari mana Ibu bisa beli beras dan lauk untuk kita makan?” mata Ibu Aldi mulai basah. Disekanya butir air mata itu.
“Itu urusan Ibu. Pokoknya aku tidak mau diejek lagi di sekolah.” Aldi berlalu meninggalkan Ibunya sendiri. Membanting tas sekolahnya ke lantai.
Pertengkaran itu tidak semakin besar. Ibu Aldi masih bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan juga sebagai buruh cuci. Keadaan ekonomi yang susah membuat Ibu Aldi tetap mempertahankan pekerjaan itu. Karena beliau sadar mencari pekerjaan itu tidak gampang. Apalagi Ibu Aldi hanya lulusan SD.
Waktu terus berjalan. Aldi telah menyelesaikan studinya. Namun sayang Aldi tidak bisa menebus ijazahnya karena mereka tidak punya cukup uang. Berbulan bulan Aldi menganggur. Tidak ada perusahaan yang mau menerimanya dengan alasan berkas lamaran Aldi yang tidak lengkap. Ketika remaja seusianya sibuk menyiapkan berkas lamaran kerja, Aldi justru tengah asyik nongkrong di pinggir jalan. Saat yang lain bersiap berangkat kerja, Aldi justru masih terlelap tidur karena semalaman begadang. Hari-harinya dihabiskan untuk nongkrong membicarakan hal-hal tidak penting, demi mengusir penat dan jenuh.
*****
Siang itu Aldi mendapat telpon dari kawan lamanya, Budi. Budi mengajak Aldi bekerja dan menjanjikan gaji besar jika Aldi bersedia ikut. Tanpa pikir panjang dan meminta restu Ibunya Aldi setuju dan menerima tawaran pekerjaan itu. Selesai berkemas Aldi segera meluncur ke tempat ia dan Budi janjian. Saat keluar dari kamarnya Aldi berpapasan dengan Ibunya.
“Aldi? kamu mau ke mana?”
“Aldi mau kerja Bu.” Aldi mempercepat langkahnya.
“Tunggu Nak. Kamu mau kerja di mana? kenapa kamu tidak bilang sama Ibu?”
“Aku kerja di mana itu bukan urusan Ibu. Ibu kan seharusnya senang karena aku sekarang nggak akan ngganggur lagi. Dan satu lagi Bu, dengan atau tanpa restu Ibu Aldi akan tetap pergi.” Aldi telah sampai di depan pintu rumahnya. Sebentar memandangi Ibunya. Wajah Ibunya terlihat sedih dan juga lelah.
Tidak, aku tidak akan terpancing dengan wajah memelas Ibu. Ini adalah kesempatan untukku dan aku tidak akan menyia-nyiakannya, gumam Aldi dalam hati. Ia mengarahkan kembali pandangannya ke depan, tempat masa depannya berada.
Handphone di saku celananya bergetar. Sms dari Budi.
Al, aku udah di gang rumah kamu nih. Buruan ke sini.
Cepat Aldi mengirim balasan. Ok. Aku udah OTW kok . Tunggu.
Aldi berlari sepanjang jalan. Mengabaikan teriakan Ibunya.
Benar saja, Budi sudah menunggu Aldi di gang rumah Aldi. Budi bersandar di mobil
yang terlihat mewah. Tampilan Budi juga sangat rapi tidak kalah dengan orang kantoran.
“Hai, Bud. Sorry banget telat. Ada masalah sedikit tadi.” ucap Aldi. Mengajak Budi bersalaman.
“Nggak apa-apa kok. Santai aja Al.”
“Wah, tampilan kamu sekarang beda. Kayak orang kantoran. Sebenarnya kamu kerja di mana sih?” tanya Aldi penasaran.
“Ntar juga kamu tahu sendiri. Kamu juga bisa seperti aku, punya mobil, pakaian keren, uang banyak. Ya udah kita berangkat sekarang udah ditunggu client.” Budi mengajak Aldi masuk ke dalam mobilnya. Sekejap mobil mewah itu meluncur ditengah kepadatan kota. Lima belas kemudian mereka telah sampai di tempat tujuan. Aldi dikenalkan dengan rekan kerjanya. Tugas Aldi mudah saja yaitu hanya mengantarkan barang kepada pemesan. Apa isi barang itu pun Aldi tidak tahu dan tidak mau tahu. Yang penting baginya adalah dia bisa dapat uang.
Dua bulan sudah Aldi bekerja bersama Budi. Uang dari kerjanya itu telah terkumpul lumayan banyak. Sekarang Aldi sudah punya rumah sendiri meski masih terbilang kecil. Tidak apa-apa nanti kalau uangku sudah terkumpul lagi aku akan beli rumah yang lebih besar, ucap Aldi pada dirinya sendiri.
Aldi menilik jam dipergelangan tangannya. Pukul satu siang. Jam tiga nanti Aldi ada janji bertemu dengan seorang client dari luar negeri. Budi mengabari agar Aldi tidak terlambat karena clientnya ini adalah client istimewa. Segera Aldi meluncur ke tempat Aldi dan client itu membuat janji bertemu.
*****
Di rumah Aldi, Ibu Aldi sedang melaksanakan salat zuhur. Kedua tangan keriput itu terangkat ke langit.
“Ya Allah, lindungilah anak hamba, Aldi. Lindungilah dia di mana pun dia berada. Bawalah dia kembali kepada hamba ya Allah. Hamba sangat merindukannya. Hamba sangat merindukannya…” air mata mengalir membasahi mukena dan hati Ibu Aldi. Seorang Ibu yang merindukan anak semata wayangnya.
Setiap hari Ibu Aldi tidak pernah berhenti mendoakan Aldi. Berharap Aldi akan pulang dan mereka bisa bersama seperti dulu lagi.
*****
Pukul tiga tepat client istimewa itu datang. Untung saja Aldi masih bisa bahasa inggris walau sedikit dan bantuan Budi yang kemarin mengajarinya jadi komunikasinya dengan client istimewa itu tidak terlalu menjadi masalah. Pukul tiga lebih lima belas menit pertemuan itu telah selesai. Aldi hendak pamit pulang, namun assisten client itu mencegah.
“Kenapa terburu-buru Tuan? Bagaimana jika Tuan Aldi bergabung bersama kami? Malam ini Boss saya akan mengadakan acara besar di sini. Bagaimana?”
“Tidak, terima kasih. Saya masih ada urusan lain. Sampaikan maaf dan terima kasih kepada Boss Anda untuk undangannya. Semoga acara nanti malam sukses. Saya permisi.” Aldi tersenyum. Melangkah santai meninggalkan tempat itu. Lima langkah Aldi berjalan terdengar suara ledakan dari belakangnya. Ledakan yang sangat hebat. Tubuh Aldi terlempar jauh dan menghantam dinding. Mata Aldi terasa sangat berat dan akhirnya Aldi pingsan.
Sayup-sayup Aldi mendengar suara. Banyak suara di sekelilingnya. Aldi menyipitkan matanya, mengedarkan pandangan. Ruangan tempat ia berada telah porak poranda. Meja, kursi, lampu hias berserakan. Dinding dan kaca hancur. Derap langkah sepatu berdengar sangat jelas.
“Lapor. Buronan berhasil kabur. Tapi kaki tangannya berhasil ditangkap.”
“Bagus. Bawa mereka semua ke markas.”
“Siap.”
Aldi mematung di tempatnya. Tubuh Aldi yang tertimbun puing-puing meja dan kursi membuat keberadaannya tidak terlihat. Dahinya terlipat. Keringat dingin mengucur deras. Jadi client istimewa itu adalah buronan? tanya Aldi. Dua orang bertubuh besar itu melangkah pergi. Pelan-pelan Aldi menyelamatkan diri. Mengendap endap keluar dari tempat itu. Aldi harus  menghubungi Budi dan meminta penjelasan darinya. Pasalnya Budi tidak pernah bilang kalau orang yang ia temui tadi adalah seorang buronan dan dua orang bertubuh tegap itu pastilah polisi. Telpon Aldi tidak diangkat. Aldi semakin resah. Tidak mungkin dia bertahan di sini. Mereka pasti akan menemukan dirinya. Tiba-tiba Aldi teringat kampung halamannya dan Ibunya. Entah kenapa tiba-tiba Aldi merasa sangat merindukan Ibunya. Seakan mereka telah terpisah
ribuan tahun.
*****
Aldi berjalan gontai menuju kampung halamannya. Mobil pinjaman Budi ia tinggalkan di tempat pertemuannya dengan client istimewa itu. Air mata masih terus mengalir dari sudut matanya. Bergunung penyesalan terbeban di kedua pundaknya. Aldi kembali teringat masa lalunya. Masa ketika ia sering marah pada Ibunya, memaki Ibunya dan membentak Ibunya. Rasa penyesalan begitu menghujam batinnya.
“Ibu…Ibu…Ibu.” bibir Aldi tidak berhenti mengucapkan nama Ibunya. Diabaikannya kakinya yang kesemutan, tubuhnya yang letih dan keringat yang terus bercucuran, Aldi ingin bertemu Ibunya. Meminta maaf atas semua kesalahannya.
Setelah lebih dari dua jam berjalan kaki akhirnya Aldi telah sampai di depan rumahnya dulu. Rumah itu masih sama seperti saat terakhir kali Aldi tinggalkan. Aldi menarik napas dan membuangnya pelan. Ragu-ragu Aldi berjalan mendekati rumah itu. Mengetuk pintu.
“Bu, Aldi pulang. Ibu.” ucap Aldi. Namun tidak ada seseorang yang membukakan pintu untuknya.
Apakah Ibu sudah tidak mau bertemu denganku lagi? batin Aldi.
Lama Aldi menunggu. Tiba-tiba Aldi mendengar benda jatuh dari dalam rumah.
“Ibu, ini Aldi Bu. Buka pintunya. Ibu.” ucap Aldi lagi. Mengetuk pintu lebih keras. Aldi memutuskan untuk mendobrak pintu.
Aldi masuk ke dalam rumah yang gelap tanpa cahaya. Aldi menyusuri ruangan dalam kegelapan. Mencari Ibunya. Aldi yakin Ibunya ada di dalam rumah. Terus Aldi memanggil Ibunya.
“Ibu. Ibu. Ibu di mana?”
“Aldi kaukah itu Nak? Uhuk uhuk.”
“Ibu? Ibu di mana? Ini Aldi Bu. Anak Ibu.”
“Ibu di sini Nak. Uhuk uhuk.”
Aldi melangkah masuk ke dalam kamar Ibunya yang gelap.
“Ibu.” Aldi menghambur memeluk Ibunya. Menangis dalam pelukannya.
“Alhamdulillah, kamu pulang Nak.”
“Maafkan Aldi Bu. Maafkan Aldi karena sudah meninggalkan Ibu. Maafkan Aldi Bu.”
“Ibu sudah memaafkanmu Nak. Tidak ada orangtua yang membenci anaknya, Aldi. Ibu senang akhirnya kamu pulang. Uhuk uhuk.”
“Ibu sakit?”
Ibu Aldi menggeleng, “Tidak. Ibu cuma kecapekan saja. Kamu sudah makan Nak?”
“Sudah Bu.” Aldi mengangguk. Mencium punggung tangan Ibunya.
Air mata bahagia mengalir dari sudut mata Ibu Aldi. Beliau sangat bahagia bisa melihat anaknya dan bisa berkumpul bersama lagi dengan anaknya.
“Ya Allah, terima kasih Engkau mengizinkan hamba berkumpul kembali dengan anak hamba, Aldi. Terima kasih Engkau telah memberikan cahaya kasih-Mu untuk anak hamba. Bimbinglah dia agar bisa selalu berada di jalan-Mu ya Allah. Aamiin.”
Adzan magrib menggema seiring matahari yang terbenam di kaki langit. Aldi membimbing Ibunya mengambil wudhu. Kemudian mereka melaksanakan salat magrib bersama. Maha Besar Allah atas segala kuasa-Nya.
[*]
Kudus, 30 Juni 2014

(masuk dalam Antologi event "kekuatan do'a" oleh Mafaza Media)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar