Kekuatan Doa Seorang Ibu
Oleh : Nuril Islam
“Ibu, buka pintunya. Ibu!” Aldi menggedor pintu
rumah dengan keras.
“Ibu! Buka pintunya.” kata Aldi lagi.
Lama Aldi menunggu, tapi Ibunya tidak kunjung
membukakan pintu.
“Ibu, buka pintunya kalau tidak aku dobrak
sekarang.” seru Aldi geram. Aldi melangkah mundur beberapa langkah, mengambil
ancang-ancang. Aldi telah siap mendobrak pintu namun tiba-tiba…
Kreeek…
Pintu rumah terbuka. Seorang wanita tua keluar
dari rumah sederhana itu. Wajahnya terlihat lelah. Wanita itu mendekati Aldi.
“Maafkan Ibu. Tadi Ibu ketiduran.”
“Aaah, alasan. Ibu selalu begitu. Minggir.” Aldi
menjawab ketus. Berjalan masuk ke dalam rumah. Menyenggol Ibunya hingga
terdorong ke belakang. Ibu Aldi merintih menahan sakit di punggungnya.
“Aldi, kamu dari mana? Kenapa jam segini baru
pulang?” tanya Ibu Aldi. Membuntuti Aldi ke dalam rumah. Aldi justru cuek tidak
mempedulikan pertanyaan Ibunya itu. Ia melangkah masuk ke kamar. Merebahkan
tubuhnya di atas kasur. Tidur.
“Aldi, jawab Ibu. Kamu dari mana Nak? Ibu cemas.”
kata Ibu Aldi lagi.
“Sudahlah Bu, itu bukan urusan Ibu. Ibu tidak
lihat, aku capek Bu. Pengen tidur. Jadi lebih baik Ibu keluar.” jawab Aldi
masih ketus.
“Ya sudah.” Ibu Aldi menghela napas. Melangkah
keluar kamar.
Ibu Aldi berdiri mematung di depan pintu kamar
Aldi. Sekejap mata Ibu Aldi basah. Ribuan butir air bening menganak sungai dari
pelupuk matanya.
“Maafkan Ibu Nak. Ibu tidak bisa menjadi Ibu yang
sempurna untuk kamu. Ibu tidak bisa membahagiakan kamu. Kamu harus hidup susah
seperti ini. Kalau saja Bapakmu masih bersama kita mungkin hidup kita tidak
akan seperti ini Nak. Maafkan Ibu.” ucap Ibu Aldi lirih.
Ibu Aldi pun memutuskan kembali ke kamar. Rasa
pegal karena seharian bekerja kembali menyergap raganya yang mulai menua.
Pukul 03.00
Malam semakin mengigil. Suara binatang malam pun tak
lagi terdengar. Hanya
suara jam di dinding kamar yang berdenting pelan. Terdengar suara
tangisan dari sebelah kamar Aldi. Wajah itu menangis di atas sajadahnya yang
lusuh. Air mata tiada hentinya mengalir menganak sungai. Bibirnya tidak
berhenti berdzikir, berdoa pada Tuhan Pemilik alam semesta. Satu doa khusus Ia
tujukan teruntuk anaknya.
“Ya Allah, berikan hidayah-Mu untuk Aldi.
Bimbinglah dia agar kembali pada-Mu. Jadikanlah dia anak yang sholeh dan
berbakti kepada kedua orangtuanya. Lindungilah dia di mana pun dia berada.
Jauhkanlah dia dari orang-orang jahat dan orang-orang yang mengajaknya kepada
keburukan ya Allah. Rabbanaa aatinaa fid-dun-yaa hasanatan wa filaakhirati
hasanatan wa qinaa ‘adzaaban-naar. Aamiin.”
*****
Aldi, remaja tanggung itu masih santai di dalam
kamarnya. Asyik sendiri bermain handphone. Sedang Ibunya tengah sibuk mencuci
pakaian. Ya setiap hari Ibu Aldi bekerja sebagai buruh cuci untuk mencukupi
kebutuhan sehari-hari dan juga untuk biaya sekolah Aldi. Selain pekerjaannya
sebagai pembantu rumah tangga. Ibu Aldi tidak pernah malu ataupun risih karena
bagi beliau uang yang didapatkan dari pekerjaannya itu adalah uang halal. Meski
itu sempat menjadi penyebab pertengkaran Ibu Aldi dengan Aldi. Aldi merasa malu
karena teman-teman sekelasnya selalu mengejek Aldi. Mengatai Aldi sebagai anak
pembantu.
“Maafkan Ibu karena pekerjaan Ibu ini kamu
menjadi bahan tertawaan di sekolah. Maafkan Ibu, Nak.”
“Makanya Ibu harus berhenti jadi pembantu.
Titik.” ucap Aldi keras.
“Tapi… Nak, kalau Ibu berhenti, dari mana Ibu
bisa dapat uang? dari mana Ibu bisa beli beras dan lauk untuk kita makan?” mata
Ibu Aldi mulai basah. Disekanya butir air mata itu.
“Itu urusan Ibu. Pokoknya aku tidak mau diejek
lagi di sekolah.” Aldi berlalu meninggalkan Ibunya sendiri. Membanting tas
sekolahnya ke lantai.
Pertengkaran itu tidak semakin besar. Ibu Aldi
masih bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan juga sebagai buruh cuci.
Keadaan ekonomi yang susah membuat Ibu Aldi tetap mempertahankan pekerjaan itu.
Karena beliau sadar mencari pekerjaan itu tidak gampang. Apalagi Ibu Aldi hanya
lulusan SD.
Waktu terus berjalan. Aldi telah menyelesaikan
studinya. Namun sayang Aldi tidak bisa menebus ijazahnya karena mereka tidak
punya cukup uang. Berbulan bulan Aldi menganggur. Tidak ada perusahaan yang mau
menerimanya dengan alasan berkas lamaran Aldi yang tidak lengkap. Ketika remaja
seusianya sibuk menyiapkan berkas lamaran kerja, Aldi justru tengah asyik
nongkrong di pinggir jalan. Saat yang lain bersiap berangkat kerja, Aldi justru
masih terlelap tidur karena semalaman begadang. Hari-harinya dihabiskan untuk
nongkrong membicarakan hal-hal tidak penting, demi mengusir penat dan jenuh.
*****
Siang itu Aldi mendapat telpon dari kawan
lamanya, Budi. Budi mengajak Aldi bekerja dan menjanjikan gaji besar jika Aldi
bersedia ikut. Tanpa pikir panjang dan meminta restu Ibunya Aldi setuju dan
menerima tawaran pekerjaan itu. Selesai berkemas Aldi segera meluncur ke tempat
ia dan Budi janjian. Saat keluar dari kamarnya Aldi berpapasan dengan Ibunya.
“Aldi? kamu mau ke mana?”
“Aldi mau kerja Bu.” Aldi mempercepat langkahnya.
“Tunggu Nak. Kamu mau kerja di mana? kenapa kamu
tidak bilang sama Ibu?”
“Aku kerja di mana itu bukan urusan Ibu. Ibu kan
seharusnya senang karena aku sekarang nggak akan ngganggur lagi. Dan satu lagi
Bu, dengan atau tanpa restu Ibu Aldi akan tetap pergi.” Aldi telah sampai di
depan pintu rumahnya. Sebentar memandangi Ibunya. Wajah Ibunya terlihat sedih
dan juga lelah.
Tidak, aku
tidak akan terpancing dengan wajah memelas Ibu. Ini adalah kesempatan untukku
dan aku tidak akan menyia-nyiakannya, gumam Aldi dalam hati. Ia mengarahkan kembali
pandangannya ke depan, tempat masa depannya berada.
Handphone di saku celananya bergetar. Sms dari
Budi.
Al, aku
udah di gang rumah kamu nih. Buruan ke sini.
Cepat Aldi mengirim balasan. Ok. Aku udah OTW kok . Tunggu.
Aldi berlari sepanjang jalan. Mengabaikan
teriakan Ibunya.
Benar saja, Budi sudah menunggu Aldi di gang
rumah Aldi. Budi bersandar di mobil
yang terlihat mewah. Tampilan Budi juga sangat rapi tidak kalah dengan
orang kantoran.
“Hai, Bud. Sorry banget telat. Ada masalah
sedikit tadi.” ucap Aldi. Mengajak Budi bersalaman.
“Nggak apa-apa kok. Santai aja Al.”
“Wah, tampilan kamu sekarang beda. Kayak orang
kantoran. Sebenarnya kamu kerja di mana sih?” tanya Aldi penasaran.
“Ntar juga kamu tahu sendiri. Kamu juga bisa
seperti aku, punya mobil, pakaian keren, uang banyak. Ya udah kita berangkat
sekarang udah ditunggu client.” Budi mengajak Aldi masuk ke dalam mobilnya.
Sekejap mobil mewah itu meluncur ditengah kepadatan kota. Lima belas kemudian
mereka telah sampai di tempat tujuan. Aldi dikenalkan dengan rekan kerjanya. Tugas
Aldi mudah saja yaitu hanya mengantarkan barang kepada pemesan. Apa isi barang
itu pun Aldi tidak tahu dan tidak mau tahu. Yang penting baginya adalah dia
bisa dapat uang.
Dua bulan sudah Aldi bekerja bersama Budi. Uang
dari kerjanya itu telah terkumpul lumayan banyak. Sekarang Aldi sudah punya
rumah sendiri meski masih terbilang kecil. Tidak
apa-apa nanti kalau uangku sudah terkumpul lagi aku akan beli rumah yang lebih
besar, ucap Aldi pada dirinya sendiri.
Aldi menilik jam dipergelangan tangannya. Pukul satu
siang. Jam tiga nanti Aldi ada janji bertemu dengan seorang client dari luar
negeri. Budi mengabari agar Aldi tidak terlambat karena clientnya ini adalah
client istimewa. Segera Aldi meluncur ke tempat Aldi dan client itu membuat
janji bertemu.
*****
Di rumah Aldi, Ibu Aldi sedang melaksanakan salat
zuhur. Kedua tangan keriput itu terangkat ke langit.
“Ya Allah, lindungilah anak hamba, Aldi.
Lindungilah dia di mana pun dia berada. Bawalah dia kembali kepada hamba ya
Allah. Hamba sangat merindukannya. Hamba sangat merindukannya…” air mata
mengalir membasahi mukena dan hati Ibu Aldi. Seorang Ibu yang merindukan anak
semata wayangnya.
Setiap hari Ibu Aldi tidak pernah berhenti
mendoakan Aldi. Berharap Aldi akan pulang dan mereka bisa bersama seperti dulu
lagi.
*****
Pukul tiga tepat client istimewa itu datang.
Untung saja Aldi masih bisa bahasa inggris walau sedikit dan bantuan Budi yang
kemarin mengajarinya jadi komunikasinya dengan client istimewa itu tidak
terlalu menjadi masalah. Pukul tiga lebih lima belas menit pertemuan itu telah
selesai. Aldi hendak pamit pulang, namun assisten client itu mencegah.
“Kenapa terburu-buru Tuan? Bagaimana jika Tuan
Aldi bergabung bersama kami? Malam ini Boss saya akan mengadakan acara besar di
sini. Bagaimana?”
“Tidak, terima kasih. Saya masih ada urusan lain.
Sampaikan maaf dan terima kasih kepada Boss Anda untuk undangannya. Semoga
acara nanti malam sukses. Saya permisi.” Aldi tersenyum. Melangkah santai
meninggalkan tempat itu. Lima langkah Aldi berjalan terdengar suara ledakan
dari belakangnya. Ledakan yang sangat hebat. Tubuh Aldi terlempar jauh dan
menghantam dinding. Mata Aldi terasa sangat berat dan akhirnya Aldi pingsan.
Sayup-sayup Aldi mendengar suara. Banyak suara di
sekelilingnya. Aldi menyipitkan matanya, mengedarkan pandangan. Ruangan tempat
ia berada telah porak poranda. Meja, kursi, lampu hias berserakan. Dinding dan
kaca hancur. Derap langkah sepatu berdengar sangat jelas.
“Lapor. Buronan berhasil kabur. Tapi kaki
tangannya berhasil ditangkap.”
“Bagus. Bawa mereka semua ke markas.”
“Siap.”
Aldi mematung di tempatnya. Tubuh Aldi yang
tertimbun puing-puing meja dan kursi membuat keberadaannya tidak terlihat.
Dahinya terlipat. Keringat dingin mengucur deras. Jadi client istimewa itu adalah buronan? tanya Aldi. Dua orang
bertubuh besar itu melangkah pergi. Pelan-pelan Aldi menyelamatkan diri.
Mengendap endap keluar dari tempat itu. Aldi harus menghubungi Budi dan meminta penjelasan
darinya. Pasalnya Budi tidak pernah bilang kalau orang yang ia temui tadi
adalah seorang buronan dan dua orang bertubuh tegap itu pastilah polisi. Telpon
Aldi tidak diangkat. Aldi semakin resah. Tidak mungkin dia bertahan di sini.
Mereka pasti akan menemukan dirinya. Tiba-tiba Aldi teringat kampung halamannya
dan Ibunya. Entah kenapa tiba-tiba Aldi merasa sangat merindukan Ibunya. Seakan
mereka telah terpisah
ribuan tahun.
*****
Aldi berjalan gontai menuju kampung halamannya. Mobil
pinjaman Budi ia tinggalkan di tempat pertemuannya dengan client istimewa itu. Air
mata masih terus mengalir dari sudut matanya. Bergunung penyesalan terbeban di
kedua pundaknya. Aldi kembali teringat masa lalunya. Masa ketika ia sering
marah pada Ibunya, memaki Ibunya dan membentak Ibunya. Rasa penyesalan begitu
menghujam batinnya.
“Ibu…Ibu…Ibu.” bibir Aldi tidak berhenti
mengucapkan nama Ibunya. Diabaikannya kakinya yang kesemutan, tubuhnya yang
letih dan keringat yang terus bercucuran, Aldi ingin bertemu Ibunya. Meminta
maaf atas semua kesalahannya.
Setelah lebih dari dua jam berjalan kaki akhirnya
Aldi telah sampai di depan rumahnya dulu. Rumah itu masih sama seperti saat
terakhir kali Aldi tinggalkan. Aldi menarik napas dan membuangnya pelan. Ragu-ragu
Aldi berjalan mendekati rumah itu. Mengetuk pintu.
“Bu, Aldi pulang. Ibu.” ucap Aldi. Namun tidak
ada seseorang yang membukakan pintu untuknya.
Apakah Ibu
sudah tidak mau bertemu denganku lagi? batin Aldi.
Lama Aldi menunggu. Tiba-tiba Aldi mendengar
benda jatuh dari dalam rumah.
“Ibu, ini Aldi Bu. Buka pintunya. Ibu.” ucap Aldi
lagi. Mengetuk pintu lebih keras. Aldi memutuskan untuk mendobrak pintu.
Aldi masuk ke dalam rumah yang gelap tanpa
cahaya. Aldi menyusuri ruangan dalam kegelapan. Mencari Ibunya. Aldi yakin
Ibunya ada di dalam rumah. Terus Aldi memanggil Ibunya.
“Ibu. Ibu. Ibu di mana?”
“Aldi kaukah itu Nak? Uhuk uhuk.”
“Ibu? Ibu di mana? Ini Aldi Bu. Anak Ibu.”
“Ibu di sini Nak. Uhuk uhuk.”
Aldi melangkah masuk ke dalam kamar Ibunya yang
gelap.
“Ibu.” Aldi menghambur memeluk Ibunya. Menangis
dalam pelukannya.
“Alhamdulillah, kamu pulang Nak.”
“Maafkan Aldi Bu. Maafkan Aldi karena sudah
meninggalkan Ibu. Maafkan Aldi Bu.”
“Ibu sudah memaafkanmu Nak. Tidak ada orangtua
yang membenci anaknya, Aldi. Ibu senang akhirnya kamu pulang. Uhuk uhuk.”
“Ibu sakit?”
Ibu Aldi menggeleng, “Tidak. Ibu cuma kecapekan
saja. Kamu sudah makan Nak?”
“Sudah Bu.” Aldi mengangguk. Mencium punggung
tangan Ibunya.
Air mata bahagia mengalir dari sudut mata Ibu
Aldi. Beliau sangat bahagia bisa melihat anaknya dan bisa berkumpul bersama
lagi dengan anaknya.
“Ya Allah, terima kasih Engkau mengizinkan hamba
berkumpul kembali dengan anak hamba, Aldi. Terima kasih Engkau telah memberikan
cahaya kasih-Mu untuk anak hamba. Bimbinglah dia agar bisa selalu berada di
jalan-Mu ya Allah. Aamiin.”
Adzan magrib menggema seiring matahari yang
terbenam di kaki langit. Aldi membimbing Ibunya mengambil wudhu. Kemudian
mereka melaksanakan salat magrib bersama. Maha Besar Allah atas segala
kuasa-Nya.
[*]
Kudus, 30 Juni 2014(masuk dalam Antologi event "kekuatan do'a" oleh Mafaza Media)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar