Selasa, 12 Agustus 2014

Cerpen, Maafkan Aku



Maafkan Aku
Oleh : Nuril Islam
Kukayuh sepeda dengan tenaga yang masih tersisa. Peluh tiada henti membasahi tubuhku yang mulai terasa lengket. Siang ini terasa sangat panjang dan matahari tampak enggan bergeser walau satu senti. Terik matahari yang panas seperti harimau yang mencari mangsa. Jalan-jalan pun tampak lengang. Mungkin hanya aku yang berada di jalan ini melewati panasnya siang. Orang-orang mungkin lebih senang berada di dalam rumah daripada harus menerjang teriknya hari.
Kutambah tenaga agar aku dapat segera sampai di rumah. Telah terbayang segelas es sirup dan sepiring nasi putih yang masih panas, sayur bening, dan ikan goreng. Mereka seakan memanggilku. Cacing dalam perutku pun ikut memprotes. Semakin cepat aku mengayuh, lelah justru semakin menyergapku. Jalan menuju rumah terasa panjang, tiada ujungnya. Akhirnya, setelah hampir tiga puluh menit aku bertarung melawan terik matahari, aku sampai di rumah.
“Alhamdulillah,” seruku dalam hati.
Rumahku kecil saja. Temboknya berwarna biru yang sudah kusam. Ada dua jendela di samping kanan pintu. Di pojok rumah, tertata rapi tanaman dan bunga-bunga yang sedang bermekaran. Kulihat, seekor ayam sedang asyik mencari makan. Ia gali tanah dengan cakarnya yang tajam dan mencari makanan yang mungkin dapat ia temukan. Rumah sederhanaku, tepatnya rumah kedua orangtuaku. Tempatku dan keluargaku berlindung dari panas dan hujan. Tempat dimana aku dilahirkan dan dibesarkan. Kugiring sepedaku ke dalam parkiran yang berada di samping rumah.
“Assalamu’alaikum,” kuucapkan salam saat memasuki rumah.
Hening. Tak ada jawaban.
“Ah mungkin ibu sedang di dapur,” pikirku.
Kulangkahkan kaki menuju kamarku yang sempit. Terdapat banyak almari di sana. Di ujung terdapat sebuah tempat tidur yang alakadarnya. Bagaimana tidak, tempat tidur itu hanya berlapis kain lusuh yang sudah sobek di sana-sini. Tidak ada kasur karena memang tidak diberi kasur. Di situlah aku biasa berbaring melepas lelah dan merangkai mimpi masa depan. Meski sederhana, aku tetap bersyukur masih memilikinya karena mungkin di luar sana banyak orang yang tidur beralaskan koran atau bahkan tidur tanpa alas. Kuletakkan tas sekolahku di atas kasur. Kuambil pakaian ganti dan segera aku ganti seragam sekolahku. Belum selesai berganti baju, ibu memanggilku.
“Fira, ke sini nduk,” panggilnya.
Dengan langkah gontai, aku menuju dapur.
“Ada apa bu?”
“Ini antar ke rumah bulikmu,” Ibu menyerahkan kantong plastik hitam padaku.
“Rizal sajalah bu. Aku baru pulang sekolah, aku capek bu. Aku juga belum makan.”
Aku melirik ikan di atas meja yang baru selesai digoreng. Baunya sangat menggoda. Menggelitik hidungku. Hmmm…
“Oalah Nduk. Kamu pikir ibumu ini tidak capek, tiap hari harus bangun pagi, masak, bersih-bersih dan ngurus adikmu, Ima. Kamu itu anak perempuan dan anak pertama ibu. Seharusnya kamu bisa jadi contoh untuk adik-adikmu.” Ibu berkata panjang lebar.
“Iya, Afira tahu bu. Tapi kan ada Rizal. Dia juga sudah tahu jalan ke rumah bulik Tuti.”
Aku tetap ngeyel.
“Adikmu itu pergi main, Fir. Kamu itu dimintai tolong kok ya ndak mau. Apa kamu saja yang masak, biar ibu yang pergi?” ucap ibu mulai marah.
Waduh, aku kan nggak bisa masak. kalau aku yang masak nanti aku sendiri yang pusing. Nggak ngerti bumbu-bumbu dapur. Ungkapku dalam hati.
“Gimana? Kamu yang masak?” Ibu mengulang pertanyaannya.
Dengan berat hati, aku menuruti ucapan ibu. Kuraih kantong plastik itu dan segera pergi. Tak kupedulikan cacing-cacing dalam perutku yang sejak tadi minta diisi.
“O iya Fir. Setelah dari rumah bulik Tuti kamu temani Ima dulu. Dia lagi tidur di kamar. Takutnya kalau dia bangun, ya nduk?” pinta ibu saat aku mengambil sepeda.
Aku menghela nafas, “Ya bu.”
***
Kubuka pintu kamar dengan perlahan. Aku tidak ingin adikku bangun karena kedatanganku dan mengganggu mimpinya. Tubuh mungil itu tidur dengan sangat pulas. Kedua tangan dan kakinya memeluk guling yang entah sudah berapa kali terkena ompol. Bibirnya bergerak-bergerak seperti mengucapkan sesuatu, bukan berbicara tapi seperti sedang minum. Ya, mungkin botol minumnya lepas dari mulutnya. Dan kutemukan botol minum Ima berada di atas bantal tidurnya. Kuraih dan kuisi botol itu sampai penuh. Kuletakkan kembali di samping Ima, siapa tahu ia terbangun dan merasa haus. Kurebahkan badanku di samping Ima. Mataku menatap langit-langit kamar namun pikiranku mengembara menembus atap rumah. Masih terngiang ucapan Ibu padaku.
“Kamu itu anak perempuan dan anak pertama ibu. . .”
Hufffh. Kuhembuskan nafas berat.
Anak pertama. Kenapa ibu selalu berkata seperti itu jika aku tidak menurut? pikirku.
Aku memang anak pertama dan aku punya dua orang adik. Adikku yang pertama, Rizal. Dia duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 3. Anaknya bandel, nakal dan selalu membuatku marah. Pernah suatu hari ibu marah padaku karena kamar yang berantakan. Saat itu aku sedang tidur di kamar dan aku mendengar Rizal tertawa keras. Aku memarahinya dan memintanya berhenti tertawa. Tapi ia justru melempariku dengan bantal dan guling. Aku yang saat itu kesal membalas dan melempar bantal dan guling ke arahnya. Dan tiba-tiba ibu datang.
“Masyaallah, Fira. Apa-apaan ini. Kamar berantakan seperti ini. Kamu sudah besar jangan seperti anak kecil. Sudah dibersihkan dan jangan main di kamar.”
Itu yang Ibu katakan padaku. Aku kesal sekali saat itu. Rizal yang menjadi penyebabnya malah pergi sambil tertawa.
“Ibu tidak adil.” pekikku pelan.
Adikku yang kedua namanya Ima. Usianya baru dua tahun. Hubunganku dengannya jauh lebih baik dibanding dengan Rizal. Mungkin karena kami sama-sama perempuan.
Mataku terasa berat. Semakin lama semakin berat. Akhirnya aku tertidur di samping Ima.
Aku mencium sesuatu yang aneh. Seperti. . . bunga melati. Benar, aku mencium bunga melati. Baunya sangat tajam dihidung. Perlahan, aku membuka mata. Betapa terkejutnya aku. Aku sudah tidak berada di dalam kamar. Ima yang tadi tidur di sampingku menghilang. Tempat tidur, almari pakaian, semuanya hilang. Kuedarkan pandang. Sebuah ruangan besar yang berwarna putih. Ragu-ragu aku melangkahkan kaki. Semakin jauh kau melangkah, aku semakin bingung. Aku seperti sedang berputar. Sekelilingku tetap tembok putih. Tiba-tiba seorang laki-laki tua berjenggot dan mengenakan baju putih panjang datang mendekatiku. Entah dari arah mana pak tua itu datang.
“Assalamu’alaikum.”
Pak tua itu menyapaku ramah.
“Wa’alaikum salam.”
Aku membalas tersenyum.
“Kamu Afira?”
“Iya, saya Afira. Bapak siapa?” tanyaku dengan gugup.
“Ikuti aku Nak.”
Tanpa menunggu jawabanku, Pak tua itu berjalan melewatiku. Aku diam di tempatku berdiri. Aku bingung, tak tahu apa yang harus aku lakukan. Mengikuti Pak tua itu atau tetap tinggal di sini. Aku tidak mengenal Pak tua itu dan aku juga tidak tahu di mana aku sekarang. Bagaimana kalau Pak tua itu mencelakaiku? ah, tidak mungkin. Aku memandangi Pak tua yang berjalan menjauh dariku. Sepertinya Pak tua itu baik. Sebelah hatiku membela.
“Ikuti aku Nak.”
Pak tua itu seakan memahami keraguanku dan mengulang sekali lagi perkataannya yang membuatku tersadar. Bismillah. Aku melangkah mengikuti Pak tua itu. Ku buang jauh-jauh pikiran buruk yang terus menerus muncul di benakku.
“Pak, maaf. Saya mau bertanya. Ini di mana? dan Bapak mau mengajak saya kemana?”
Aku bertanya dengan hati-hati. Pak tua itu hanya diam dan terus melangkah. Jangankan menjawab pertanyaanku, menoleh padaku saja tidak.
Pak tua itu berjalan ke arah yang tidak ada bedanya. Sekelilingku tetap tembok yang berwarna putih. Namun tiba-tiba di depan sana ada tiga buah pintu. Tiga pintu yang berbeda-beda.
Aku mengedar pandang, tidak ada pintu seperti itu. Pintu yang pertama bentuknya aneh. Terdapat goresan dan bekas terbakar. Dari dalam pintu terdengar suara orang menjerit, merintih dan mengerang kesakitan. Sangat menakutkan.
“Seperti di Neraka saja.” ucapku lirih.
Hah, neraka? aku ngeri sendiri dengan ucapanku. Pak tua itu masih terus berjalan, melewati pintu pertama. Seolah Pak tua itu tidak mendengar suara-suara menakutkan itu. Satu pintu lagi di depan. Pintu itu biasa saja bentuknya. Tidak ada goresan ataupun bekas terbakar. Pintu ini seperti pintu yang ada di rumah. Rumah? aku tertegur. Menyadari bahwa aku tidak berada di rumah. Wajah ibu, Ima dan Rizal berkelebatan di depan mataku. Tiba-tiba aku merindukan mereka. Apakah ibu khawatir padaku?
“Masuklah.”
Pak tua itu berkata tiba-tiba. Aku terkejut. Aku memandang pintu yang di tunjuk Pak tua. Pintu itu berbeda dengan pintu pertama dan kedua. Pintu itu penuh dengan ukiran-ukiran yang sangat indah, seperti ukiran ayat dalam Al-Qur’an. Subhanallah. Aku terpesona. Pak tua menyuruhku membuka pintu itu. Sekali lagi aku memuji kebesaran Allah SWT. Perlahan aku memasuki ruangan itu. Pak tua telah berlalu meninggalkanku.
Sekarang, aku berada di sebuah taman yang sangat luas dan indah. Bunga-bunga yang terlihat cantik, sungai yang jernih, air mancur dan burung-burung yang terbang di langit biru. Pemandangan yang menyejukkan hati.
“Assalamu’alaikum.”
Terdengar suara seseorang dari samping kananku.
“Wa’alaikum salam.”
Aku menoleh. Wajah itu tersenyum padaku. Sebuah senyum yang telah lama tidak aku lihat.
“Nenek.”
Aku mendekati nenek. Kucium punggung tangannya dan memeluknya erat.
“Bagaimana kabarmu, Fir?”
Nenek mengelus lembut rambutku yang tergerai di tiup semilir angin.
“Alhamdulillah, Afira baik nek. Nenek juga sepertinya sehat.”
Nenek memandangku lembut.
“Oh ya Nek. Ini tempat apa? indah sekali.”
Nenek hanya tersenyum.
Krucuk krucuk krucuk.
Aduh, cacing dalam perutku protes. Aku lapar. Aku baru ingat kalau aku belum makan sejak tadi.
“Afira kamu lapar?”
“ Iya nek. Tadi belum makan ” nyengir.
“Ayo ikut Nenek.”
Kami berjalan menyusuri hamparan taman bunga yang indah. Nenek berhenti di sebuah bangku panjang yang berada di pinggir danau. Di atas bangku itu ada rantang makanan.
“Nah, makanlah.” Nenek menyodorkan rantang makanan itu padaku. Ragu aku menerima dan membukanya. Di dalam rantang makanan itu ada nasi yang masih hangat, sayur, dan ikan lele goreng yang terlihat sangat menggoda dan tak lupa sambal bawang. Menu yang mantap.
“Wah, sepertinya enak.” ungkapku gembira.
“Makanlah, Fir.”
Segera kulahap semua makanan itu tanpa ada yang tersisa. Tak lupa sebelum makanan aku membaca do’a.
“Alhamdulillah, makanannya enak, Nek. Nenek sendiri yang membuatnya?”
Aku mengusap peluh dengan punggung tangan.
“Tentu saja. Nenek tahu kalau kamu suka sekali masakan nenek. Apalagi sambal bawang.”
Aku hanya bisa tersenyum, membenarkan pernyataan nenek.
“Kalau begitu nenek pergi. Jaga dirimu baik-baik. Jadilah anak yang rajin dan jangan lupa salat ya, Fir.”
“Nenek mau kemana? Fira ikut Nek. Aku ingin bersama nenek. Aku tidak mau pulang. Setiap hari ibu selalu marah padaku. Dimata ibu aku selalu saja salah, tidak pernah benar. Ya nek?”
Aku memohon.
“Nenek tidak bisa mengajakmu, Fir. Belum saatnya. Aku kenal betul siapa ibumu itu. Dia tidak akan marah kalau kamu tidak berbuat salah. Ibumu marah karena ia sayang padamu, Fir. Tidak ada seorang ibu yang tidak menyayangi anaknya begitupun ibumu, Fir. Apakah kamu lebih suka jika ibumu tidak memperhatikanmu? tidak peduli padamu?”
Aku hanya diam tertunduk.
“Kamu sudah besar Fir. Kamu juga punya dua orang adik. Kamu harus bisa memberi contoh yang baik pada mereka. Ibumu sangat menyayangimu Fir, percaya pada Nenek.” Nenek melanjutkan.
“Nenek pergi dulu. Assalamu’alaikum.”
Nenek melangkah menjauhiku. Semakin lama semakin jauh hingga tidak terlihat lagi. Tiba-tiba semuanya menjadi gelap.
“Fira, bangun Nak. Makan dulu. Tadi kamu belum makan kan?”
Suara ibu membangunkanku.
Kupandangi sekelilingku. Tak ada danau, bangku panjang, taman bunga, dan  Nenek. Semuanya hilang. Aku berada di rumah sekarang. Ima masih tertidur di sampingku. Dan ibu duduk di depanku.
“Afira, makan dulu. Kamu belum makan kan? Kamu sudah salat zuhur? ” Ibu bertanya dengan lembut.
Kuintip jam di dinding kamar. Pukul 13.30.
Syukurlah. Masih ada waktu. Yang tadi itu. . . mimpi.
“Fira, kamu kenapa? kok malah bengong.”
Aku menatap ibu. Ada sebutir airmata di sudut mataku. Segera aku memeluk ibu dengan erat seakan aku takut kehilangannya. Ibu yang awalnya terkejut, kemudian tersenyum dan mengelus rambutku.
“Maafkan aku ibu. Afira sudah sering membantah dan tidak menurut. Maafkan aku.” ucapku lirih. Perlahan butiran airmata membasahi pipiku. Di dalam hati kulantunkan sebuah doa untuk ibu.
Ya, Tuhanku. Ampunilah dosaku dan dosa ibu ayahku serta sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi dan mendidikku sewaktu aku masih kecil. Aamiin.
                                                         ~ 0 ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar