Rabu, 29 Oktober 2014

Fiksi : Lelaki Masa Lalu

Lelaki Masa Lalu

Kuakui, dulu aku mengagumimu. Dan tanpa aku sadari rasa kagum itu tersimpan apik di sudut hatiku hingga detik ini.
Sikapmu, perilakumu, wajahmu, semua tentangmu, aku suka. Rasa kagum itu bahkan sudah ada ketika aku masih mengenakan seragam putih merah. Anak kecil ingusan yang belum tahu arti rasa kagum.
Aku hanya suka melihatmu. Bertemu denganmu. Itu saja.
Kau tahu, dulu ketika aku akan berangkat sekolah. Aku selalu mencari kesempatan agar aku bisa berangkat bersamamu. Walau hanya menjadi bayangan ataupun ekor bagimu. Entah kau sadari atau tidak kehadiranku saat itu. Tidak apa. Aku tetap merasa senang. Terkadang aku tersenyum sendiri jika mengingat kejadian itu.
Mereka bilang, perasaan itu adalah cinta monyet. Iya monyet. Kau tahu kan. Binatang penyuka pisang itu. Yang suka berpindah-pindah tempat sesuka hatinya. Kurang lebih seperti itulah pengertian cinta monyet. Penjelasan itu dituturkan salah seorang guru ketika aku duduk di bangku SMP dulu.
Jika benar rasa ini cinta monyet, kenapa aku tidak berpindah seperti itu? Seperti monyet yang berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain. Perasaanku tidak berpindah kepada orang lain. Aku bahkan semakin mengagumimu saat di SMP tingkat dua dulu.
Berarti memang rasa ini bukan cinta monyet kan?! Aku tidak pernah mengganti nama dan wajahmu di hatiku. Kau tetap yang nomor satu. The Only One.
Setelah lulus SMP, aku disibukkan dengan tugas-tugas dan pekerjaan sekolah lainnya. Itu sangat membuatku letih. Hingga perlahan aku lupa padamu. Bukan aku tidak lagi kagum, tapi kesibukan ini menyita seluruh waktu dan pikiranku. Aku tidak bisa lagi berkhayal tentangmu. Sampai tanpa kusadari nama dan wajahmu perlahan terhapus di hatiku.
Dan sekarang, waktu berbaik hati mempertemukan kita lagi. Setelah bertahun lamanya kita terpisah dan tidak pernah bertatap muka.
Kau yang dulu kukagumi sekarang telah tumbuh menjadi lelaki dewasa yang tetap
mengagumkan di mataku. Tapi aku sempat kecewa karena aku jarang atau mungkin tidak
pernah lagi melihat senyummu. Kenapa? Padahal dulu, kau begitu lepas tersenyum bahkan tertawa.
Wajah itu seakan mengukung senyummu. Apakah kau bahagia dengan itu? Jika iya, aku akan ikut bahagia. Tapi aku … Ah, sudahlah. Aku bahkan tidak bisa mengartikan tatapan matamu yang beberapa kali kudapati mengekor langkahku.
Kenapa kau berubah? Aku lebih senang dengan dirimu yang dulu. Yang lugu, baik, sopan, pintar dan rupawan.
Secara fisik, kau masih sama. Tapi secara feeling, aku merasa kau berubah. Aku tidak tahu dan mungkin tidak punya hak untuk tahu. Siapalah aku bagimu.
Mungkin bagi kebanyakan orang aku munafik, mengatakan aku tidak mengharapkanmu. Tapi, memang itu yang selalu aku katakan. Kau adalah lelaki di masa laluku dan tidak pernah kuberharap kau akan jadi masa depanku. Kupasrahkan semua pada Tuhan. Karena Dia yang lebih tahu. Mana yang baik untukku. Untuk kehidupanku dan untuk kita berdua.
Mungkin bersamamu itu membuatku bahagia. Tapi jika Tuhan berkata itu tidak baik, ya akan berakhir dengan sendirinya. Pun sebaliknya.
Jodoh itu urusan Tuhan. Aku hanya bisa berusaha dengan cara yang dibenarkan oleh Tuhan dengan memperindah diriku agar Tuhan menjodohkan aku dengan seseorang yang indah pula. Entah orang itu kau atau yang lain.
Biarlah kini kita jalani kehidupan kita masing-masing. Aku dengan duniaku dan kau dengan kehidupanmu. Terima kasih karena kau bersedia mampir di lamunanku malam ini.
Selamat malam.

Kudus, 29 Oktober 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar