Janji
Oleh : Nuril Islam
Aku fikir cinta pada
pandangan pertama itu hanya ada di film dan sinetron. Tapi ternyata kisah
itupun ada di kehidupan nyata dan aku adalah salah satu orang yang menyimpan
kisah itu.
“Pagi Nay.” Sapaan
hangat dari seorang yang kucintai. Namanya Tristan. Pemuda berpostur tubuh
tinggi, berkulit sawo matang, wajah berkharismatik dan senyum yang selalu
menawan. Dialah cinta pertamaku dan semoga akan menjadi cinta terakhir dalam
hidupku.
Kami pertama kali bertemu
setahun yang lalu. Tanpa sengaja di sebuah pesta pernikahan seorang teman.
Tristan orangnya menyenangkan membuatku nyaman berada di dekatnya meski waktu
itu kami baru pertama kali berkenalan. Pertemuan itu berlanjut di hari-hari berikutnya.
Setiap sabtu malam, Tristan sering mampir ke rumah. Ngobrol berdua di teras
depan. Membicarakan banyak hal. Tristan tidak pernah kehabisan topik untuk
bahan pembicaraan. Masalah kucing adiknya yang baru melahirkan 4 anak bisa
menjadi topik pembicaraan yang seru.
Tepat seminggu
kedekatan kami, Tristan menyatakan perasaannya padaku. Di bawah langit malam
yang bertabur bintang dan disinari cahaya bulan purnama.
“Nay, mungkin…aku
terlalu cepat mengatakan ini. Tapi aku tidak sanggup lagi untuk memendamnya.
Aku...aku mencintaimu Nay.” Tristan meraih jemari tanganku. Menggenggamnya
erat.
Aku tersipu
mendengarkan kalimat cintanya padaku. Aku mengangguk pelan saat dia memintaku
untuk menjadi kekasihnya. Aku juga mencintaimu Tristan, bisikku pelan.
Semakin tinggi pohon
semakin kencang angin yang berhembus. Dua bulan kami menjalin hubungan, satu
masalah datang menghadang. Hubunganku dengan Tristan tidak mendapatkan restu
dari Mamanya.
Keluarga Tristan tidak
menerimaku lantaran latar belakang keluargaku. Ayahku yang hanya seorang buruh
pabrik dan Ibuku seorang pedagang kecil. Sedangkan orang tua Tristan adalah
pengusaha kaya raya. Mereka merasa Tristan tidak pantas mendapatkan jodoh
sepertiku. Tidak pantas. Oh Tuhan, kuatkan aku menerima semua hinaan ini.
“Aku akan terus
membujuk Mama agar Mama mau menerimamu, Nay. Aku janji.” Tangan Tristan erat
menggenggam jemariku. Aku mengangguk. Menyembunyikan sakit hatiku. Tidak. Aku
harus kuat. Demi cinta kami.
Satu masalah belum
selesai datang lagi masalah baru. Tristan akan pergi ke Singapura. Membantu
Papanya mengurus perusahaan mereka yang ada di sana. Aku menangis saat Tristan
berpamitan padaku. Entah bagaimana aku menjalani hari tanpa dia di sampingku.
Semua akan terasa hambar tanpa kehadiran Tristan.
“Nayla, aku janji aku
akan segera pulang. Setelah semuanya lancar aku akan kembali padamu. Percayalah
padaku, Nay.” Tristan memelukku. Aku semakin terisak dalam pelukannya. Aku
tidak mau berpisah dengannya. Tristan menatapku. Tatapan mata yang melenyapkan
kekhawatiran yang detik lalu menyergapku.
“Semua akan baik-baik
saja. Ok!” Aku mengangguk. Berusaha tersenyum. Menghapus sisa airmata di pipi.
Aku tidak boleh bersedih. Tristan akan kembali. Pasti akan kembali.
Selama kurang lebih
empat tahun Tristan akan berada di Singapura. Menyelesaikan permasalahan
perusahaan keluarga mereka. Itu berarti selama itu pula kami akan menjalani
hubungan Long Distance.
“Aku akan rajin
mengabarimu Nay. Kamu jangan khawatir. Aku tidak akan berpaling sekalipun ada
seratus gadis cantik di sini. Kamu tetap yang tercantik Nay.” Ucap Tristan
padaku. Komunikasi pertama kami sesampainya ia di Singapura.
“Gombal.” Timpalku.
Tristan tertawa di ujung telpon.
“Naylaku sayang. Aku
harus buktikan apa lagi agar kamu percaya kalau hanya kamu yang aku cinta? Hm?”
“Mmm, apa ya?” Pura-pura
berfikir.
“Apapun akan aku
lakukan untuk membuktikan kesetiaanku.”
“Iya aku percaya.”
Hening sejenak.
“Mmm, Tristan...” Aku
menggigit bibir. Bingung antara melanjutkan kalimatku atau tidak.
“Ya Nay?” Sunyi.
“Aku mencintaimu.” Kataku
lirih.
“Aku juga. Aku sangat
mencintaimu Nayla. Aku tidak akan mengkhianati cinta kita. Semua hanya masalah
waktu. Kita pasti akan bersama lagi.”
Aku melirik jam di
dinding kamar. Pukul sembilan malam. Malam semakin larut. Bintang-bintang tetap
bersinar indah di langit. Ditemani bulan yang bulat sempurna.
“Sudah malam Nay. Lebih
baik kamu tidur.” Kata Tristan memecah kesunyian.
Aku mengangguk.
“Selamat tidur Tristan.”
“Selamat tidur.”
***
Tristan memenuhi
janjinya. Setiap petang menghubungiku. Berbagi cerita tentang kegiatan
masing-masing. Tristan dengan kesibukannya di kantor dan aku dengan kesibukanku
sebagai pegawai toko bunga.
Hingga tahun kedua
hubungan kami berjalan lancar. Teknologi yang semakin canggih memudahkan kami
untuk selalu berkomunikasi. Menjadi penawar rasa rindu yang menggunung di dada.
Bulan Desember di tahun
ketiga aku memutuskan untuk keluar dari toko bunga. Memulai bisnis
kecil-kecilan bersama Ibu. Membuka toko sembako di depan rumah. Menggunakan
semua tabungan yang kumiliki sebagai modal awalnya. Aku sendiri yang membeli
stok barang sedang ibu yang menjaga warung. Memesan beras, telur, minyak
goreng, semua kebutuhan harian. Kesibukan itu membuatku jarang menghubungi
Tristan. Meski sekedar mengirim pesan singkat. Aku semakin tenggelam dalam
dunia baruku.
Bulan Februari tahun
keempat. Bisnis toko sembako yang aku rintis mulai membuahkan hasil. Semakin
hari semakin ramai pembeli. Ibu terlihat bahagia. Setia melayani pembeli. Sesekali
bergurau. Tertawa bersama. Aku tahu Ibu pasti lelah karena dari tadi pagi tidak
berhenti melayani pembeli. Ibu selalu menolak saat aku menawarkan diri untuk
menggantikan.
“Tidak apa-apa Nay. Ibu
senang melakukannya. Kamu kerjakan saja yang lain.” Menghela nafas. Mengalah.
Kalau sudah begitu aku bisa apa. Aku melangkah meninggalkan Ibu. Mengecek stok
barang dagangan.
“Mau tidak mau besok
aku harus ke Toko Koh Acong. Stok beras tinggal segini. Tidak akan cukup.” Aku mengusap
keringat dengan punggung tangan. Menulis barang-barang lain yang juga mulai
habis. Menghela nafas. Meraih handphone. Mencari nomor Koh Acong. Gerak
jemariku terhenti. Tristan. Aku tertegun di sana. Apa kabar Tristan? Sudah lama
aku tidak menghubunginya.
Matahari bersinar sangat
terik. Siang yang melelahkan. Meletakkan buku catatan di atas meja. Menjauh
dari keramaian. Mencoba menghubungi Tristan. Jantungku berdegup kencang. Entah
kapan terakhir kali kami bertegur sapa. Setahun yang lalu? atau mungkin dua
tahun yang lalu? Aku menggigit bibir. Grogi. Menarik nafas panjang. Tidak ada
yang mengangkat telponku. Aku mengeluh kecewa. Menghela nafas lagi. Mungkin
Tristan sedang sibuk, pikirku.
Keesokan harinya. Aku
telah bersiap ke toko Koh Acong. Buku catatan lekat di tangan. Aku menyalami
Bapak dan Ibu yang masih sarapan.
“Nayla berangkat
sekarang ya Bu.”
“Hati-hati Nay. Bawa
motornya nggak usah ngebut-ngebut.”
“Iya Bu.” Tersenyum.
“Oh ya Nay. Obat Bapak
sudah mau habis. Nanti mampir ke apotek ya Nduk.” Ibu menyerahkan selembar
kertas padaku. Resep obat Bapak.
“Iya. Nayla berangkat
sekarang.” Aku meraih kunci motor. Mengenakan helm.
Bapak sudah tidak
bekerja sejak dua bulan yang lalu. Asma Bapak semakin parah. Dokter meminta
Bapak untuk istirahat di rumah. Aku menggantikan posisi Bapak mencari nafkah. Bekerja
lebih keras untuk keluarga kecil kami.
Sebuah mobil hitam
mengkilap memasuki halaman rumah. Seorang Ibu keluar dari dalam mobil. Wajahnya
acuh. Melangkah mendekatiku. Dahiku terlipat. Berusaha mengingat wajah itu.
“Selamat pagi. Cari
siapa Bu?” Tanyaku ramah.
“Tidak ada yang
berubah. Masih sama seperti dulu.” Ibu itu berbicara pada dirinya sendiri.
Mengabaikan pertanyaanku. Memandang sekilas padaku. Siapa sebenarnya Ibu ini.
Oh Tuhan. Ibu ini…Bu
Rina. Mama Tristan. Spontan aku melirik ke arah mobil hitam yang terparkir di
halaman rumah. Mencari sosok Tristan. Tidak ada. Tristan tidak ada di dalam
mobil. Aku menghela nafas. Kecewa.
“Bu Rina? Benar Bu Rina
kan. Apa kabar Bu? Lama tidak bertemu. Ehh, mari masuk Bu.” Aku mengulurkan
tangan. Bu Rina mengibaskan tangannya.
“Saya tidak lama. Saya
hanya mau menyerahkan ini. Titipan dari Tristan.” Bu Rina menyerahkan amplop
coklat padaku. Titipan Tristan?
Bu Rina melangkah
meninggalkanku yang terpaku. Anggun melangkah masuk ke dalam mobil.
“Jalan Pak.” Kata Bu
Rina pada sopirnya. Aku tersenyum pada Bu Rina sebelum pintu mobil tertutup.
“Terima kasih Bu.”
Aku melangkah kembali
ke ruang tamu. Menunda jadwalku ke toko Koh Acong. Rasa penasaran di dadaku butuh
jawaban. Apa isi ampop ini? Perlahan aku membukanya. Kumpulan foto. Foto
pernikahan. Aku mengamati foto itu satu persatu. Ini…lidahku kelu. Benarkah apa
yang aku lihat ini? Ini foto pernikahan Tristan. Mataku terasa panas dan
sekejap air mata telah membuncah membasahi pipiku. Benarkah ini? Tristan?
Dadaku terasa sesak. Inikah jawaban atas telponku kemarin? Karena ini Tristan
tidak menjawab telponku? Air mataku semakin deras mengalir. Sakit. Hatiku
terasa ditusuk pisau berkarat. Perih.
Aku berlari ke kamar.
Mengabaikan Ibu yang bertanya ada apa. Aku tidak percaya ini. Begitu tega
Tristan melakukan ini? Kami bahkan belum putus. Kenapa Tristan tidak
mengatakannya langsung padaku? Kenapa justru Mamanya yang datang menyerahkan
foto-foto itu? Hatiku berontak. Menolak semua kenyataan ini. Aku membenamkan
wajah di dalam bantal. Tersedu. Mengunci diri di kamar hingga sore hari.
Ibu mengetok pintu
kamarku. Aku bangkit. Menghapus sisa air mataku. Melihat sekilas wajahku di
cermin. Mengenaskan.
“Nay, ada apa? Cerita
sama Ibu.” Ibu menggenggam tanganku. Aku menatap mata Ibu. Ibu, lihatlah anakmu
ini terluka hatinya karena cinta. Apa yang harus aku lakukan Ibu? Aku
menghambur memeluk Ibu. Menangis.
“Tristan sudah menjadi
milik orang lain. Tidak pantas untukmu memikirkannya. Ikhlaskan Nay.” Ibu
membelai rambutku lembut.
Aku menggeleng. “Tapi
hati kecil Nay mengatakan lain. Tristan sudah berjanji menjaga cinta kami Bu.
Berjanji untuk setia pada Nay.”
“Jika memang Tuhan
menakdirkan kalian berjodoh maka itulah yang akan terjadi anakku. Ya sudah lebih
baik kamu mandi dulu. Biar segar.” Ibu meninggalkanku sendiri.
Foto-foto itu tersebar
di atas kasur. Aku meraihnya dengan hati terluka. Memasukkan kembali ke dalam
amplop.
***
“Mau ke mana Nay?” Ibu
bertanya.
“Membeli obat Bapak Bu.
Kan tadi Ibu bilang sudah hampir habis. Untuk stok di toko, tadi Nayla sudah
telpon Koh Acong. Besok diantar ke rumah.”
“Kamu sudah tidak
apa-apa. Apa tidak besok saja beli obatnya? Ibu khawatir.”
Aku tersenyum, “Nayla
akan baik-baik saja Bu. Nayla akan langsung pulang kok. Nayla berangkat
sekarang ya.” Aku mencium punggung tangan Ibu. Meraih kunci motor. Mengenakan
helm.
Kotaku selalu ramai
meski malam hari. Pedagang kaki lima menggelar lapak di tepi jalan. Tersenyum
riang melayani pembeli. Suara deru kendaraan saling beradu. Menyemarakkan
malam. Bintang-bintang tetap setia menemani rembulan. Berbagi pelita di tengah gulita langit malam. Dari
alun-alun kota aku berbelok ke kiri. Melewati pedagang roti bakar. Kemudian
berbelok ke kanan. Berhenti di depan apotek 24 Jam.
“Cari apa Mbak?”
Seorang penjaga mendekatiku. Aku tersenyum. Menyerahkan kertas resep obat
kepadanya.
“Tunggu sebentar ya
Mbak.” Aku tersenyum lagi. Penjaga itu menghilang ke dalam ruangan lain. Lima
menit kemudian kembali dengan membawa obat pesananku. Aku menyerahkan uang
padanya.
“Terima kasih Mbak.”
Ucapku.
Aku
memasukkan obat Bapak ke dalam tas. Berjalan tergesa-gesa keluar hingga
menabrak orang di depanku. Aku terjatuh.
“Mbak tidak apa-apa.
Mari saya bantu.” Sepasang tangan terjulur ke arahku.
“Tidak apa-apa. Terima
kasih.” Aku melihat orang itu. Oh Tuhan. Tristan. Aku menoleh. Perempuan itu? Perempuan
yang berdiri di samping Tristan tersenyum tipis padaku. Tangannya mengelus
perutnya yang semakin besar. Perempuan itu hamil?
“Nayla? Kamu tidak
apa-apa Nay? Sedang apa kamu di sini?” Tristan menggengam lenganku. Mata itu
tetap sama. Aku tidak sanggup. Aku melepaskan genggaman Tristan. Berlari
menghindarinya. Aku tidak sanggup melihatnya. Tristan…dia sebentar lagi akan
menjadi ayah dari anak yang dikandung perempuan itu. Mataku telah berurai air
mata. Cepat aku mengenakan helm. Mengabaikan Tristan yang berteriak memanggil
namaku.
Maaf Tristan, semua ini
terlalu menyakitkan untukku. Melihatmu bersamanya akan menambah luka di hatiku.
Lebih baik aku pergi.
Bulir-bulir air mata
terus beranak sungai di mataku. Merembes hingga ke dalam hati. Inikah akhir
dari penantianku? Inikah jawaban atas semua kesetiaanku? Oh Tuhan, Tubuhku
terasa lemas. Tak sanggup lagi berdiri menapak tanah. Luka itu semakin dalam
dan begitu menyakitkan.
Aku menghapus air
mataku. Takut Ibu akan melihatnya.
“Sudah pulang Nay.” Ibu
menyambutku di depan pintu.
Aku mencium punggung tangan
Ibu. “Nayla ke kamar ya Bu.” Ibu mengangguk.
Handphoneku berdering.
Tristan menelponku. Untuk apa Tristan menelponku? Dia sudah punya istri dan
sebentar lagi akan menjadi seorang ayah tidak pantas ia menghubungiku lagi. Aku
mengabaikan handphoneku yang terus berdering.
Aku membenamkan wajah
di dalam bantal. Memaksa diri untuk tidur. Berharap semua yang terjadi hari ini
adalah mimpi dan ketika aku terbangun Tristan akan menyapaku dengan senyum
merekah di bibirnya.
Sia-sia. Aku tidak bisa
memejamkan mata walau hanya satu menit. Aku menghela nafas. Menatap
langit-langit kamar. Mengenang kembali masa-masa itu. Pertemuan pertama kami,
obrolan di teras rumah, kata cinta itu, keberangkatan Tristan ke Singapura, dan
foto-foto itu.
Apakah aku harus
melupakan Tristan? Mengubur dalam-dalam semua rasa ini? Aku masih mencintainya.
Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan.
Matahari kembali
menyapa kotaku pagi ini. Mengintip dari balik pepohonan. Menebar hangat dari
celahnya. Suara ayam berkokok terdengar merdu. Bersahutan dengan suara cicit
burung.
Satu minggu yang
melelahkan. Lelah menata kembali puing-puing mimpi yang sempat hancur.
Merangkainya dengan bersimpah air mata. Satu minggu aku menenangkan diri.
Mencoba berdamai dengan kenyataan pahit itu.
Aku tengah menemani Ibu
memasak ketika suara itu datang. Tersenyum hangat menyapaku. Menatapku dengan
tatapan sama seperti dulu. Untuk apa Tristan kemari. Aku melirik ke
punggungnya. Mungkin saja ia membawa serta perempuan itu. Isterinya. Tidak.
Tristan datang sendiri. Aku menghela nafas. Menguatkan diri. Hatiku jauh lebih
baik sekarang meski luka itu tetap saja terasa.
“Selamat ya Tristan
atas pernikahanmu. Maaf aku tidak hadir di hari bahagiamu.” Kataku memecah
kesunyian. Tersenyum canggung.
“Aku datang ke sini
ingin menjelaskan semuanya padamu Nay. Tentang foto-foto itu dan perempuan yang
kamu lihat bersamaku tempo hari di apotek.” Tristan menatapku. Mata itu tetap
sama meski sekarang terlihat redup.
“Foto-foto itu hanyalah
rekayasa Mamaku Nay.” Lanjut Tristan.
Rekayasa? Untuk apa? Aku
mengernyitkan dahi, tidak mengerti.
“Mama tahu kalau aku
masih menjalin hubungan denganmu. Mama sengaja memberikan foto itu dan berharap
kau akan membenciku dan melupakanku. Foto itu adalah foto pernikahan Tio,
kakakku. Dan perempuan yang kau lihat bersamaku adalah Tia, isteri kakakku. Ini
semua hanya salah paham Nay. Malam itu aku menemani Tia membeli obat dan tanpa
sengaja bertemu denganmu di sana. Aku ingin menjelaskannya padamu tapi kamu
buru-buru pergi.”
“Aku ke sini mewakili
Mama untuk meminta maaf padamu. Mama merasa sangat berdosa padamu. Apakah kamu
masih membuka pintu maafmu untuk Mama Nay?” Kalimat Tristan berhenti. Mata itu
berkaca-kaca.
Aku mengangguk. Aku
sudah melupakan hal itu. Aku tahu Bu Rina sangat menyayangi Tristan. Beliau
hanya ingin anaknya bahagia meski caranya keliru.
“Nay, boleh aku
memegang tanganmu?” Pinta Tristan. Aku mengangguk pelan. Sepasang tangannya
menggapai jemariku. Menggenggamnya erat.
“Maafkan aku karena dua
tahun ini mengabaikanmu. Tidak menelponmu. Tidak menanyakan kabarmu. Maafkan
aku Nay.”
Aku menggeleng, tidak
apa-apa.
“Aku mencintaimu Nay.
Sama seperti empat tahun yang lalu. Perasaan di hatiku tidak berubah
sedikitpun.” Tristan mencium punggung tanganku. Aku tersipu. Menyunggingkan
senyum padanya.
“Aku juga mencintaimu.”
Jawabku lirih.
“Nay, Mama mengundangmu
untuk makan malam bersama. Kamu bisa datang kan?”
Aku mengangguk.
“Nanti aku akan
menjemputmu. Kalau begitu aku pamit pulang dulu.” Tristan beranjak dari tempat
duduknya. Berpamitan pada kedua orang tuaku.
Pukul 19.00 tepat
Tristan tiba di rumah. Ia mengenakan kemeja lengan panjang warna putih yang
dilipat hingga siku. Tersenyum hangat saat melihatku. Sebelah lengannya
terjulur ke arahku.
“Mari tuan putri.”
Berdiri gagah seperti seorang pangeran. Aku menepuk bahunya pelan. Tersenyum
kecil melihat kelakuan konyolnya itu.
Mobil Tristan melaju pelan
di tengah kepadatan lalu lintas kota di malam hari. Aku diam. Memperhatikan
lalu lalang kendaraan. Tidak menyadari bahwa sejak tadi Tristan
memperhatikanku.
“Kamu cantik sekali
malam ini Nay.” Suara Tristan membuyarkan lamunanku.
Tersenyum. “Terima kasih.
Kamu juga terlihat tampan.” Aku balik memujinya. Tertawa.
Malam ini aku kembali
memandang wajahmu. Melihat senyummu. Mendengarkan suara lembutmu. Kamu telah menunaikan
janjimu. Janji untuk kembali kepadaku.
***
Kudus,
01 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar