Hati yang Telah
Pergi
Oleh : Nuril Islam
Liyana masih terisak di sampingku.
Aku terdiam. Menghela napas pelan. Sebenarnya
mudah saja untukku menghiburnya seperti yang selama ini biasa aku lakukan.
Melucu atau bertingkah aneh yang membuatnya tertawa. Tapi aku tidak bisa,
seolah tubuhku membeku tak mampu bergerak.
“Liyana tidak mau menikah dengan Mas Doni.
Aku tidak mencintai Mas Doni. Laki-laki yang aku cinta hanya Mas seorang.” ucap
Liyana, menoleh menatapku. Mata bening itu telah penuh dengan air mata
kepedihan.
“Aku juga mencintaimu, Liyana. Tapi apa yang
bisa aku lakukan? Ayahmu sudah menolak lamaranku.” jawabku sama paniknya.
Ya, esok adalah hari pernikahan Liyana.
Semestinya dia bahagia. Mempersiapkan diri di rumah. Tapi gadis itu justru
terlihat terluka dan duka mendalam melanda hatinya. Gadisku itu akan menikah
dengan laki-laki yang telah dipilihkan oleh Ayahnya. Doni, seorang pemuda kaya
anak dari kawan lama Ayahnya.
Tangisan liyana semakin keras. Tubuh itu
gemetar di sampingku. Aku mendekap bahunya mencoba menenangkan hatinya meski
hatiku sendiri pun sama terlukanya.
Aku menengok sekeliling.
Taman kota sangat ramai sore ini. Yah wajar
saja karena hari ini hari minggu. Waktu yang tepat untuk berkumpul bersama
keluarga. Suara tawa anak-anak terdengar jelas. Saling berkejaran satu sama
lain. Aku kembali menatap Liyana.
“Sudahlah Liyana. Mungkin ini yang terbaik
untuk kita berdua. Aku ikhlas dan aku mendoakan semoga kau bahagia bersama
Doni.” ucapku lagi.
Kalimatku itu berubah menjadi pisau yang
menancap ke dalam hatiku. Perih dan sakit. Mataku terasa panas. Aku
mendongakkan kepala. Berusaha menahan tangis setidaknya selama aku bersama
Liyana. Aku harus menunjukkan pada Liyana kalau aku benar-benar telah
mengikhlaskan dirinya bahagia bersama orang lain. Bukankah cinta tidak harus
memiliki, bukankah dengan melihat orang yang kita cintai bahagia maka kita pun
akan ikut merasa bahagia.
Pertemuan di taman kota ini menjadi
pertemuanku yang terakhir dengannya. Karena setelah hari ini Liyana akan
menjadi milik orang lain, menjadi isteri orang dan tidak sepatutnya aku
menggangu kehidupan barunya itu.
Matahari di atas sana perlahan tenggelam di
kaki langit. Menyisakan warna jingganya yang indah. Dan kami pun memutuskan
untuk pulang.
***
Dua tahun yang lalu.
Di tempat ini dan di bangku ini juga, untuk
pertama kalinya aku berbicara dengan Liyana. Pertemuan indah yang tidak
disengaja.
Waktu itu aku sedang olah raga pagi sebelum
berangkat kerja. Yah, mencari sedikit penyegaran sebelum berkutat dengan
pekerjaan kantor yang akan menguras tenaga dan pikiranku. Entah kebetulan atau
bagaimana Liyana juga sedang olahraga di taman kota. Aku melihatnya selintas.
Sebenarnya sudah jauh-jauh hari aku berniat
untuk menyapanya, mengajaknya berkenalan namun niatan itu belum pernah berubah
menjadi tindakan nyata, hanya ada dalam angan-angan. Aku hanya bisa
memandanginya dari kejauhan namun pagi itu entah kekuatan apa yang membuatku
berani untuk mendekatinya.
Liyana menerima kehadiranku dengan sangat
baik. Sebulan berkenalan aku memutuskan untuk mengatakan perasaanku padanya.
Yah aku paham mungkin terlalu cepat untukku mengatakan perasaan yang baru saja
muncul tapi aku tidak bisa memungkiri bahwa aku benar-benar jatuh cinta
padanya.
Liyana gadis yang sederhana. Wajah cantiknya
selalu terlihat memesona meski tanpa polesan make up. Cantik yang natural dan
aku menyukainya.
Sebulan yang lalu aku berniat untuk melamar
Liyana. Menjadikan Liyana sebagai pendamping hidupku. Bersama kedua orangtuaku
aku pergi ke rumah Liyana. Jarak rumahku dengan Liyana sebenarnya tidak terlalu
jauh namun entah kenapa malam itu jalan terasa sangat panjang. Membuatku
semakin tegang. Aku menghela napas. Mencoba menenangkan hati. Sepuluh menit
kemudian aku telah sampai di rumah Liyana. Ibu Liyana menyambut kedatangan kami
dengan baik. Ayah Liyana sedang keluar rumah saat aku datang.
“Maksud kedatangan kami sekeluarga kemari
selain untuk bersilaturahmi juga untuk melamar putri Ibu yang bernama Liyana
untuk putra kami Prasetyo.” ucap Bapakku kepada Ibu Liyana. Liyana duduk
tertunduk di samping Ibunya. Menyembunyikan senyum simpulnya yang manis. Aku
tersenyum menatapnya.
“Kalau Ibu menyerahkan semua keputusan kepada
Liyana. Karena Liyana yang akan menjalani. Apapun keputusan Liyana semoga itu
yang terbaik.” jawab Ibu Liyana, melirik putrinya yang masih tertunduk.
Liyana mendongakkan kepala. Menatap
bergantian Ibunya, orangtuaku dan aku. Sedetik mata kami bertemu. Aku
tersenyum.
“Liy…Liyana…Liyana men…”
Belum selesai Liyana dengan kalimatnya,
seseorang mengetuk pintu rumah.
“Assalamu’alaikum.” Suara langkah kaki
mendekati kami.
Itu Ayah Liyana. Beliau menatapku tajam.
Menatap heran kedatanganku dan orangtuaku.
“Ada apa ini Bu?” tanya Ayah Liyana kepada
isterinya.
“Ini Pak, Nak Pras datang bersama keluarganya
hendak melamar Liyana Pak.” jawab Ibu Liyana.
“Maaf sekali Nak Pras kami tidak bisa menerima
lamaran Nak Pras karena Bapak sudah menjodohkan Liyana dengan laki-laki lain.
Lusa keluarga mereka akan datang untuk melamar Liyana.” jawab Ayah Liyana.
Jawaban Ayah Liyana sempurna menghancurkan
semua mimpi indahku untuk hidup bersama Liyana. Datang seperti petir yang
menyambar langit hatiku. Mengubah semua mimpiku menjadi abu.
Liyana yang duduk di sebelah Ibunya
terbelalak. Menatap Ayahnya, menuntut penjelasan. Namun bibir mungil itu hanya
menggumam, tidak ada kalimat yang terucap. Mata Liyana sekejap telah basah oleh
air mata.
Tuhan,
apakah ini termasuk dari rencana-Mu?
Ruang tamu sekejap berubah sepi. Aku masih
terdiam di tempatku. Menatap Liyana yang berlalu menahan tangisnya.
Aku dan kedua orangtuaku memutuskan untuk
pamit pulang. Tidak ada yang perlu kami dibicarakan lagi. Semua rencana
pernikahan yang telah aku rancang hanya akan jadi angan-angan. Aku tidak akan
pernah bisa memiliki Liyana.
***
Sebelas November 2011.
Dua jam lagi ijab kabul itu akan terjadi dan
Liyana akan menjadi isteri sah Doni. Aku menghela napas. Mengusap wajah
kebasku. Aku harus mengikhlaskannya. Bukankah itu yang aku katakan pada Liyana
di pertemuan terakhir kami? Tidak pantas aku mengharapkannya lagi. Tapi...
benarkah aku telah sepenuhnya ikhlas? Setelah kebersamaan yang kami rajut
selama dua tahun, apakah aku bisa mengikhlaskan hatiku pergi?
Handphoneku tiba-tiba berdering. Malas aku
meraihnya. Nama Liyana tertulis di layar. Dahiku terlipat. Liyana? Untuk apa
Liyana menelponku? Dengan hati penuh rasa penasaran aku mengangkat telpon
Liyana.
“Hallo, Mas Pras. Tolong bawa Liyana pergi
Mas. Liyana tidak mau menikah dengan Mas Doni. Tolong Mas.” Suara Liyana
terdengar serak.
Lama aku terdiam. Menyelami rasa sakit Liyana
yang juga melanda hatiku. Apakah ini akhir dari perasaanku?
“Jika memang Mas Pras mencintai Liyana,
Liyana akan menunggu Mas di dekat jendela kamar Liyana. Liyana lebih baik pergi
daripada harus menikah dengan laki-laki yang tidak Liyana cintai. Katakan Mas
kalau Mas Pras akan menjemput Liyana.” ucap Liyana. Kemudian menangis lagi.
Tuhan,
apa yang harus aku lakukan?
Apakah
aku harus menuruti keinginan Liyana?
Membawa
pergi Liyana di hari pernikahannya?
Apakah
ini jalan yang Kau buka untukku agar kami bisa bersama kembali?
Aku mengusap wajah kebasku. Lagi.
Aku teringat kalimat seorang sahabat, cintamu
pada sesuatu membuatmu buta dan tuli.
Apakah aku telah buta?
Apakah aku telah terbutakan dengan cinta yang
terlalu besar untuk Liyana?
Aaaarrrggghh…
Lama aku terdiam.
“Tidak Liyana. Aku tidak bisa menuruti keinginanmu.
Maafkan aku Liyana.” jawabku. Segera aku menutup telpon. Memutus kepedihan yang
sempat singgah di hatiku.
Benar aku mencintaimu Liyana, tapi membawamu
pergi… ah tidak. Hanya laki-laki pengecut yang mau melakukan itu dan aku bukan
seorang pengecut Liyana. Maafkan aku.
Pukul 09.00
Aku masih mematung di kamar. Tepekur diam
dengan pikiranku sendiri. Saat ini acara akad nikah itu pasti telah selesai dan
Liyana, gadisku telah menjadi milik orang lain. Telah terbayang senyum bahagia
yang menghiasi wajah-wajah di sana dan ucapan selamat yang terus mengalir bagai
mata air. Apakah kau bahagia seperti mereka, Liyana?
Aaaarrrggghh…
Seharusnya aku menuruti saja keinginan
Liyana. Menuruti keinginannya untuk membawanya pergi. Persetan dengan anggapan
orang bahwa aku seorang pengecut. Liyana tidak menghendaki pernikahan itu.
Pernikahan itu jelas salah. Seharusnya aku membawanya pergi.
Tidak!
Pernikahan itu mungkin memang seharusnya
terjadi dan pada kenyataannya telah terjadi. Pernikahan itu mungkin yang
terbaik untuk kami. Pernikahan itu adalah yang terbaik…
***
Juni 2014.
Matahari bersinar terang di langit sore.
Semilir angin menggoyangkan kelopak bunga yang bermekaran. Membelai wajah dan
hatiku.
Setelah tiga tahun lamanya, kini aku kembali
ke sini. Aku rindu dengan tempat ini
dan segala yang tertinggal di sini.
Taman kota masih sama ramainya seperti tiga
tahun yang lalu. Suara tawa anak-anak dan raut bahagia yang menghiasi wajah
mereka.
Aku memilih duduk di bangku di tepi kolam.
Menilik ikan koi yang berenang riang di dalamnya sambil mendengarkan lagu
“Ruang Rindu” milik Letto.
Di daun yang ikut mengalir lembut
Terbawa sungai ke ujung mata
Dan aku mulai takut terbawa cinta
Menghirup rindu yang sesakkan dada
Jalanku hampa dan kusentuh dia
Terasa hangat oh didalam hati
Kupegang erat dan kuhalangi waktu
Tak urung jua kulihatnya pergi
Kau datang dan pergi oh begitu saja
Semua kutrima apa adanya
Mata terpejam dan hati menggumam
Di ruang rindu kita bertemu
Liyana, aku merindumu. Bisikku pada hatiku
sendiri.
Sejak hari pernikahan Liyana tiga tahun lalu
aku memutuskan untuk pergi. Menjauh dari semua hal yang bisa membuatku ingat
padanya. Membuat jarak yang panjang dengannya. Meski tetap saja aku masih bisa
mengukir wajah cantiknya di langit-langit kamarku, memandangi senyum simpulnya
ketika pelangi datang dan mendengar rintihan tangisnya saat hujan turun.
Liyana, kau adalah hadiah terindah yang telah
diberikan Tuhan dalam kehidupanku. Aku tetap bersyukur sempat mengenal
pribadimu meski Tuhan tidak menghendaki kita untuk bersama. Terima kasih untuk
semua kenangan indah yang kau ukir bersamaku. Terima kasih Liyana.
Liyana, kau adalah hatiku yang telah pergi namun percayalah bahwa cinta ini akan tetap
utuh untukmu.
[*]
Kudus,
18 Juni 2014