Bunga-Bunga
Cinta
oleh :
Nuril Islam
“Apa? Bapak menerima lamaran Mas Dirga?”
Aku
terhenyak di kursi sebelah Ibu. Ibu mengangguk membenarkan.
“Besok
Nak Dirga dan keluarganya akan datang untuk membicarakan hari pernikahan
kalian.”
Aku
menghela nafas. Kenapa Bapak tidak menanyakan hal ini dulu padaku? Hatiku
bahkan masih berkabung. Tanah kuburan mas Aldi pun masih basah. Ibu mendekap
bahuku. Menguatkan. Mengatakan Bapak melakukan ini karena sayang padaku. Tidak
ingin aku terlalu lama bersedih dengan kepergian Mas Aldi. Mengatakan bahwa aku
berhak untuk melanjutkan hidup. Berhak untuk bahagia. Haruskah secepat ini?
Selepas
magrib keluarga Mas Dirga datang ke rumah. Membicarakan hari pernikahanku dan
Mas Dirga. Aku lebih banyak diam. Sesekali mengangguk atau menggeleng saat
ditanya. Aku tahu Mas Dirga tidak pernah mengalihkan pandangannya dariku.
Menatapku lekat. Aku pura-pura tidak
melihatnya. Aku pamit. Mencari udara segar di teras rumah. Senja telah didekap
sang malam. Bintang-gemintang menghiasi langit. Berkedip-kedip di balik pepohonan yang remang. Suara langkah kaki
mendekatiku. Mas Dirga. Aku tahu dia mengikutiku.
“Boleh
aku duduk?” Aku mengangguk. Diam. Kami memandangi bunga mawar yang sedang mekar
di teras rumah. Memandangi bunga mawar itu aku teringat Mas Aldi. Dulu Mas Aldi
sering memberiku bunga mawar. Terutama bunga mawar merah. Tak terasa sebutir
air mata menggelayut di pelupuk mataku. Segera aku menghapusnya. Takut mas
Dirga melihat. Semilir angin menggoyangkan kelopak mawar.
“Indah
ya.”
Aku
menoleh. Apa?
“Bunga
mawar itu indah…seperti kamu.”
Mas
Dirga menoleh menatapku.
Sedetik
mata kami bertemu. Aku gelagapan.
“Iy…iya.”
Aku pura-pura merapikan jilbab.
Mengalihkan pandangan.
“Malam
itu, sebelum Aldi benar-benar pergi dia mempunyai satu permintaan. Dia memintaku untuk menjagamu, Nay. Dan aku
berjanji padanya untuk menunaikan permintaannya itu. Menunaikan janji seorang
sahabat.”
Aku
menggigit bibir.
Aku
tahu Mas Aldi berkawan baik dengan Mas Dirga. Tapi permintaan itu…
“Karena
itu Mas Dirga melamarku?”
“Ya,
aku pikir ini yang terbaik. Tidak mungkin aku selalu bersamamu sedangkan kita
tidak memiliki hubungan dekat.”
Aku
masih mendengar perbincangan Bapak dan Ibu dengan orangtua Mas Dirga di ruang
tamu. Tertawa renyah membanggakan kami, anak-anaknya. Aku menghela nafas. Tertunduk.
******
Hari
pernikahanku akhirnya tiba. Lihatlah, wajah Bapak, Ibu, orang tua mas Dirga,
Mas Dirga, para tamu undangan. Wajah mereka bahagia. Tapi, kenapa aku tidak
sebahagia mereka? Kenapa wajahku justru tegang. Resah dan gundah. Permintaan Mas Aldi? Kenapa Mas Aldi
membuat permintaan itu? Permintaan yang justru mengekangku dalam
pernikahan ini. Aku mendongak. Menatap langit. Langit biru cerah. Awan putih
berbaris rapi. Semilir angin membelai lembut dedaunan. Tapi hatiku terasa
sempit. Menyesakkan.
Tamu
undangan terus mengalir hingga hari beranjak petang. Tubuhku pegal karena
seharian berdiri. Kakiku rasanya mati. Kram mungkin. Mas Dirga mendekatiku,
memapahku ke kamar. Aku melirik Bapak dan Ibu yang berbisik di kejauhan.
“Lihat
Bu, Nayla sama Dirga. Sudah kebelet kayaknya.” Bapak terkekeh.
“Sudah
to Pak. Jangan digoda begitu. Biarkan saja mereka.”
Entah
kenapa wajahku memerah. Malu. Mas Dirga tidak menggubris kalimat Bapak, terus
memapahku ke kamar. Mendudukanku di pinggir ranjang. Mengambil balsem dan
memijat kakiku yang kram. Tangan Mas Dirga cekatan memijit kakiku yang kram
sampai sakitnya hilang.
“Masih
sakit Nay?”
“Eh,
udah mendingan kok Mas.”
Mas
Dirga tersenyum kemudian pamit. Hendak mengambil wudhu. Salat isya’. Aku
mengikuti Mas Dirga mengambil wudhu. Kamipun salat isya’ bersama untuk pertama kalinya. Ruku’ dan sujud yang menentramkan.
Biasanya setelah salat isya’ pasangan suami isteri itu…tiba-tiba tubuhku gemetar.
Ya Rabb, aku belum siap
untuk itu.
“Sudah
malam Nay. Sebaiknya kamu tidur.”
Suara
mas Dirga membuyarkan lamunanku. Mas Dirga masih duduk takzim di atas
sajadahnya.
“Aku
akan tidur di bawah, kamu tidur saja di atas.”
“Tapi
Mas, kita kan…” Aku menggigit bibir.
“Tidak
apa-apa Nay. Aku tidak mau memaksamu jika kamu belum siap.”
Aku
mengangguk, terima kasih Mas atas
pengertianmu.
Malam
pertama kami berlalu begitu saja. Tidak selazimnya pasangan suami isteri yang
baru menikah. Aku tidur di atas kasur sedang Mas Dirga tidur di bawah
beralaskan sajadah.
*******
“Kita
mau ke mana Mas?” aku bertanya pada Mas Dirga yang sibuk mengemasi pakaian.
“Aku
sudah membeli rumah untuk kita tempati Nay. Jadi kita tidak perlu tinggal
bersama Bapak dan Ibu. Pakaianmu sudah semua Nay?”
Aku mengangguk. Mengikuti langkah Mas Dirga.
Berpamitan pada Bapak dan Ibu. Sampai pagi ini aku masih berusaha untuk
menghadirkan rasa itu pada Mas Dirga,
suamiku. Tapi itu tidak mudah. Bahkan teramat sulit. Sama sulitnya melupakan
bayang-bayang Mas Aldi. Selama
perjalanan kami tidak banyak bicara. Mas Dirga lebih sibuk menyetir dan
sesekali menelpon orang entah siapa. Mobil yang dikemudikan Mas Dirga berhenti
di depan sebuah rumah mungil dengan taman kecil di halaman rumahnya. Mawar.
Taman kecil itu banyak sekali bunga mawar. Aku mendekat. Mencium harum bunga
mawar yang sedang mekar.
“Aku
sengaja membuat taman kecil ini. Agar jika merasa jenuh, sedih, atau kesepian
kamu bisa memandangi mawar-mawar
yang indah itu.”
Aku
mengucap kata terima kasih lirih. Aku melangkah masuk ke rumah. Mengedarkan
pandang. Ruang tamu, ruang makan, kamar tidur, kamar mandi. Semuanya sempurna.
Sempurna mengingatkanku pada Mas Aldi. Rumah ini dan setiap detailnya.
Dulu
sebelum hari pernikahanku dan Mas Aldi, Mas Aldi berjanji akan membeli rumah
untuk kami tempati bersama. Dan membuatkan taman kecil untukku. Tapi kecelakaan
malam itu merenggut semua kebahagiaanku. Tanpa ada sisa sedikitpun. Pernikahan
kami batal. Padahal undangan sudah disebar. Catering, gaun pengantin, semuanya
sia-sia. Mas Aldi menghembuskan nafas terakhirnya tepat di hari pernikahan
kami. Di hari yang amat kami nantikan. Mas Aldi telah pergi untuk selamanya…
Sebulan
berlalu dengan cepat. Aku mulai terbiasa melihat Mas Dirga saat berlari-lari kecil keluar dari kamar mandi,
mendengar tawanya saat menonton komedi di TV, berteriak saat melihat kecoa,
perhatian-perhatian yang
mengesankan, tapi rasa itu belum juga
menyentuh hatiku. Belum juga hadir di hatiku. Apakah begitu sulit untuk jatuh cinta?
Mas
Dirga sosok suami yang baik, tak jarang mas Dirga menggantikan posisiku di
dapur saat aku sedang lemas karena datang bulan. Tapi aku belum bisa membalas
kebaikan itu dengan sepantasnya. Aku belum bisa membalas semua perhatiannya itu
dengan sepantasnya.
******
Malam
beranjak naik. Suara binatang malam meraung lirih di balik semak-semak. Jam di dinding menunjuk angka
sepuluh. Aku menguap. Saatnya tidur.
“Mas,
aku tidur duluan ya.” Aku berjalan gontai menuju kamar. Oh ya, aku tidur terpisah
kamar dengan Mas Dirga. Itu juga ide Mas Dirga. Alasannya sama seperti saat
malam pertama kami dulu, “Aku tidak mau
memaksamu jika kamu belum siap.” Aku mengangguk, aku memang belum siap. Aku menutup pintu kamar dan sekejap
terlelap.
Pukul
dua dini hari, aku terbangun. Aku mendengar suara langkah kaki mendekati
kamarku. Aku merapatkan selimut. Pintu kamarku terbuka. Ya Rabb,… langkah itu
semakin dekat. Satu tangan membelai rambutku. Aku gemetar. Mas Dirga? Kaukah
itu? Satu tangan yang lain menyibak selimutku. Aku terperanjat. Menahan tangis.
“Mas
Dirga? Sedang apa Mas di sini?” Lidahku kelu.
Mas
Dirga terkejut melihatku terbangun. Mengusap wajahnya. Panik.
“Sedang
apa Mas di sini? Jawab mas?” Tanyaku setengah berteriak. Aku menjauh.
Merapatkan selimut. Apakah aku harus berteriak? Tidak. Kami suami isteri jadi
wajar jika Mas Dirga menemuiku. Tapi aku…
“Eh,
a…aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja Nay. Itu saja.” Mas Dirga
beranjak dan melangkah keluar kamar.
“Jangan
lupa kunci pintunya Nay.” Suara Mas Dirga terdengar serak. Maafkan aku Mas…
Mataku
tidak mampu lagi untuk terpejam. Aku hanya membolak-balik badan di atas kasur. Tidak benar-benar tidur. Pukul tiga. Lebih baik aku Salat Istikharah,
pikirku. Aku keluar kamar, mengambil wudhu. Saat kembali ke kamar, aku
mendengar suara Mas Dirga. Suara tangis Mas Dirga.
“Ya
Rabb, ampuni hamba-Mu yang lemah
ini. Aku sangat mencintainya ya Allah. Aku hanya ingin membuatnya bahagia…”
Aku
mendekap mulutku. Air bening mengalir pelan dari pelupuk mataku. Mas Dirga… Aku
kembali ke kamarku. Menggelar sajadah. Sujud bersimpuh di tengah dinginnya
malam. Bermunajad pada Sang Maha Pencipta.
******
Hari
minggu yang cerah. Matahari baru saja terbit dari ufuk timur. Menebar hangat
pada dedaunan yang membeku. Aku bergabung dengan Mas Dirga di meja makan seusai
mandi. Harum nasi goreng menggelitik hidungku. Tidak ada pembicaraan. Hanya
denting sendok dan piring saling beradu yang terdengar. Canggung. Hfffhh, aku
harus mengatakannya. Sekarang. Aku sudah memantapkan diri untuk mengatakannya.
Aku berdehem. Mas Dirga menoleh, menghentikan gerakannya. Jantungku berdegup
kencang. Aku harus mengatakannya sekarang.
“Mas…aku
ingin…aku ingin kita cerai.”
Aku
menatap Mas Dirga. Mas Dirga balik menatapku, tajam.
“Kamu
bicara apa Nay?”
“Ya,
aku ingin cerai.”
“Tapi kenapa? Allah tidak menyukai perceraian,
kau tahu itu kan?”
“Aku tahu. Tapi aku sudah tidak tahan lagi
dengan semua ini. Aku sudah tidak tahan dengan semua sandiwara ini.”
Mas
Dirga tertunduk.
“Tidak
Nay. Aku tidak akan melakukan itu. Aku tidak akan menceraikanmu.”
“Kenapa
Mas? Mas Dirga berhak bahagia dengan orang yang Mas cintai bukan menyiksa diri
dengan pernikahan ini. Sudah terlalu banyak luka yang aku buat di hati Mas
Dirga. Aku tidak mau lagi. Sudah cukup Mas.”
Mas
Dirga menghela nafas. “Apa karena kejadian semalam sehingga kamu meminta cerai
dariku? Aku minta maaf jika itu membuatmu tidak nyaman.”
Aku
menggeleng, “Aku yang seharusnya minta maaf Mas. Aku tidak bisa menjalankan
tugasku sebagai seorang isteri yang melayani suaminya. Aku justru membuat
suamiku menderita dan tersiksa.”
Mataku
mulai berkaca-kaca.
Ya Rabb, jika memang
perpisahan adalah yang terbaik, bantulah kami, mudahkanlah kami melaluinya ya
Rabb.
Mas
Dirga melangkah pergi. Tanpa berkata apapun. Aku menangis. Entah menangis
karena bahagia atau justru sedih. Aku tidak tahu.
******
Waktu
melesat cepat. Hari mulai gelap. Matahari mulai tumbang di kaki langit. Siluet
senja terlihat cantik. Mas Dirga belum juga pulang. Berkali-kali aku menghubunginya tapi tidak ada jawaban. Kamu kemana mas?
Aku gusar. Mungkinkah Mas Dirga frustasi lalu pergi ke diskotik? lalu mabuk-mabukan? atau nekat bunuh diri? Tidak
mungkin Mas Dirga melakukan itu. Tidak mungkin. Kenapa sekarang aku malah
bimbang? Bukankah ini yang aku inginkan? Berpisah dengan Mas Dirga. Mengakhiri
semua sandiwara bodoh ini.
Langit
malam tergelar sempurna menggantikan senja. Satu persatu bintang-bintang bermunculan. Bulan sedang
purnama. Bulat yang sempurna. Pandanganku tertuju pada taman kecilku. Mawar
berayun pelan ditiup angin. Batang tubuhnya bergoyang-goyang seperti seorang penari. Aku teringat kalimat mas Dirga,“Aku sengaja membuat taman kecil ini. Agar
jika merasa jenuh, sedih, atau kesepian kamu bisa memandangi mawar-mawar yang
indah itu.” Aku masih berusaha menghubungi Mas Dirga. Tetap nihil. Operator
telpon yang menjawab panggilanku. Aku mencoba menghubungi Lila, adik Mas Dirga.
Mungkin saja dia tahu di mana Mas Dirga.
“Mas
Dirga nggak ke rumah kok mbak. Mbak ada masalah ya?” Tanya Lila dengan
polosnya.
“Tidak,
Mbak dan Mas Dirga baik-baik saja. Mbak minta jangan katakan hal ini ke Ibu dan
Bapak ya La. Nanti mereka khawatir. Ya?”
“Iya mbak. Lila janji. Tapi Mbak dan Mas Dirga
benar baik-baik saja kan?”
Aku
menghela nafas, “Kami baik-baik
saja. Sampaikan salam Mbak untuk Bapak dan Ibu ya La.” Aku menutup telpon
setelah mengucapkan salam.
Pukul
delapan malam. Aku masih menunggu Mas Dirga di ruang tamu. Mondar-mandir. Menyibak korden dengan resah.
Berharap melihat bayang tubuh Mas Dirga di bawah cahaya lampu jalan. Pukul
sembilan. Aku mulai mengantuk. Sesekali menguap. Tidak. Aku tidak boleh tidur.
Pukul sepuluh. Aku sudah tidak tahan. Aku pun tertidur.
Cahaya
terang menyilaukan. Aku terkerjap-kerjap.
Menyipitkan mata. Sesosok tubuh berdiri di depanku. Ia mengenakan pakaian serba
putih. Seperti…Mas Aldi? Benarkah itu Mas Aldi? Aku mendekat. Memanggil nama
Mas Aldi. Orang itu membalik badan. Tersenyum padaku. Senyum yang aku rindukan.
Mataku berkaca-kaca. Sekejap pipiku telah
basah oleh airmata.
“Aku
merindukanmu Mas.”
Mas
Aldi hanya mengangguk. Menghapus airmataku. Seseorang memanggilku. Semakin lama
suara itu semakin dekat. Itu suara Mas Dirga.
“Pergilah
Nay. Lanjutkan hidupmu. Kau berhak bahagia dengan orang yang kau cintai.
Pergilah Nay.”
Aku
menggeleng. Tidak. Kamulah orang yang aku cintai Mas. Hanya kamu.
“Tidak
Nay. Pergilah. Temui Dirga. Dia mencintaimu Nay. Tulus mencintaimu.”
Mas
Aldi melangkah meninggalkanku. Mengabaikan aku yang terus memanggilnya.
“Mas
Aldi, Mas Aldi, Mas…”
Aku
terbangun. Astaghfirullah. Mimpi. Aku
melirik jam. Pukul 04.30. Suara Adzan subuh menggema syahdu. Aku bangkit,
mengambil air wudhu. Menggelar sajadah. Melaksanakan salat subuh sendiri.
******
Ragu-ragu aku melangkah ke dalam kamar Mas
Dirga. Kamar itu kosong. Mataku tertuju pada deretan foto yang tertempel di
almari pakaian milik Mas Dirga. Foto-foto
Mas Dirga bersama Mas Aldi, foto pernikahan kami, dan selebihnya adalah foto-fotoku? Fotoku saat memandangi siluet
langit senja, fotoku saat memasak di dapur, fotoku saat sedang tidur. Sejak
kapan Mas Dirga mengumpulkan foto-foto
ini? Aku membuka lemari. Tidak ada yang istimewa. Hanya berisi pakaian Mas
Dirga. Tunggu. Aku melihat sebuah buku terselip di bawah tumpukan pakaian Mas
Dirga. Aku mengambil dan membukanya.
Aku tidak tahu harus
berbuat apa. Aldi memintaku menjaga Nayla. Orang yang sangat dia cintai. Aku
hanya bisa mengangguk dan berjanji untuk menjaganya. Demi Aldi, sahabatku.
Hari pernikahanku
dengan Nayla. Wajah itu murung. Apakah dia bahagia? Aku tidak tahu. Semula
alasanku menikahi Nayla karena janjiku kepada Aldi. Aku ingin menunaikan janji
itu. Tapi saat janji suci itu terucapkan, aku benar-benar jatuh cinta. Aku
benar-benar mencintainya. Aku mencintai Nayla. Bunga-bunga cinta itu bermekaran
memenuhi hatiku.
Aku
mendekap mulut. Dadaku terasa sesak.
Malam pertama
pernikahan kami. Lega rasanya. Nayla telah resmi menjadi isteriku yang sah.
Salat isya’ berjama’ah. Ini kebersamaan kami yang pertama. Aku bahagia sekali.
Tapi malam pertama itu terasa menyesakkan. Kami tidak tidur bersama. Aku tidak
mau memaksa Nayla. Aku tahu dia belum siap. Jika aku memaksa tidur bersamanya,
aku takut dia berteriak jika tanpa sengaja aku menyentuhnya. Lebih baik aku
tidur di bawah. Biarlah, tidak apa-apa. Selamat malam bidadariku…
Aku mengajak Nayla
pindah ke rumah baru kami. Aku senang Nayla menyukainya. Melihat wajahnya yang
damai saat mencium kuncup-kuncup mawar. Aku sengaja membuat taman itu. Aldi
dulu pernah bilang kalau Nayla ingin punya taman bunga kecil di depan rumah.
Dan aku ingin mewujudkan keinginannya itu. Semoga kamu menyukainya Naylaku
sayang.
Aku hampir membuat
Naylaku menangis. Entah apa yang merasukiku. Aku tidak bisa menahan diri. Aku
mengendap-endap masuk ke dalam kamar Nayla. Aku semakin kalap saat melihat
wajah Nayla yang tertidur pulas. Wajahnya terlihat sangat cantik saat tidur.
Aku benar-benar hilang kendali. Tiba-tiba Nayla terbangun. Wajahnya ketakutan.
Apa yang telah aku lakukan? Aku bisa saja memaksanya. Aku berhak untuk itu.
Kami suami isteri yang sah. Tapi melihat wajahnya yang ketakutan aku tidak
tega. Bagaimana mungkin aku akan melakukannya jika itu akan menyakiti hatinya?
Maafkan aku Nayla... Aku terlalu mencintaimu. Aku tidak mau kehilanganmu.
Airmataku
pecah. Membasahi seluruh hatiku. Bahuku bergetar. Aku menggenggam erat buku
harian Mas Dirga.
“Assalamu’alaikum.”
Seseorang
mengucapkan salam. Aku tertegun. Mas Dirga. Aku keluar kamar. Menghapus sisa
air mataku. Buku harian Mas Dirga masih lekat di tanganku.
“Wa’alaikum
salam.”
Mas
Dirga, wajahnya lesu, letih, muram, tidak ada lagi senyum hangat yang setiap
hari aku lihat. Aku menghambur memeluk Mas Dirga. Aku sesenggukan dalam
pelukannya.
Ya Rabb, maafkan aku.
Aku telah mengabaikan kasih yang Kau hadirkan dalam diri Mas Dirga.
Mas
Dirga memandangku. Aku menunjukkan buku harian miliknya.
“Kamu
membacanya Nay?”
Aku
mengangguk. Menghapus ingus yang keluar dari hidungku.
“Aku
memang mencintaimu Nayla. Sangat mencintaimu. Tapi aku juga tahu kalau kamu
masih dan akan selalu mencintai Aldi. Mungkin dulu aku terlalu cepat mengambil
keputusan untuk melamarmu sehingga kamu merasa terkekang dengan pernikahan
ini.”
Mas
Dirga menatapku. Tatapan itu kosong.
“Lalu?”
Aku menggigit bibir.
“Aku
tidak akan memaksamu untuk melanjutkan pernikahan ini.”
Mas
Dirga melangkah menuju kamar. Aku mencegah.
“Mas…maaf
karena Nayla pernah meminta cerai dari Mas. Apakah… apakah Mas Dirga memaafkan
Nayla? Memaafkan kalimat Nayla?”
Aku
tertunduk. Tidak berani menatap mata Mas Dirga.
“Maksudmu
apa Nay?”
Aku
menegakkan kepala. “Aku…aku tidak mau berpisah dengan Mas Dirga. Aku tidak mau lagi berpisah dengan orang yang aku
cintai.”
Mas
Dirga mendekat dan memelukku. Erat sekali.
“Aku
tidak akan meninggalkanmu Nayla. Tidak akan.”
“Mas,
Nayla punya satu permintaan. Apakah
Mas mau melakukannya?”
“Apapun
Nay, aku akan melakukannya. Kamu ingin aku menyeberangi samudera? Mendaki
gunung tertinggi? Atau menyelam ke lautan terdalam? Aku akan melakukannya.”
Mas
Dirga tersenyum jahil, menatapku mesra. Membuat pipiku bersemu merah.
“Nayla
ingin Mas Dirga tetap mencintai Nayla.”
Mas
Dirga memegang bahuku.
“Aku
akan mencintaimu Nayla. Selalu. Karena kamu adalah bidadariku Nayla.”
Tersipu.
Aku menghambur memeluk mas Dirga.
Ya Rabb, sesuatu tumbuh
di dalam hatiku. Tunas kecil yang tumbuh cepat dan berubah menjadi bunga-bunga
yang merekah indah. Bunga-bunga cinta. Berwarna-warni memenuhi taman hatiku.
Harum wanginya abadi.
Ingin
rasanya aku menghentikan waktu. Ingin tetap seperti ini. Menatap mata
kekasihku, Mas Dirga. Tatapan cinta yang sempat terabaikan. Tatapan cinta tulus
Mas Dirga. Dan merengkuh nikmatnya cinta dalam peluknya, selamanya…
~ 0 ~
Kudus, 18 Mei 2014