Bola dan Kaca Jendela Pak Tarno
Oleh : Nuril Islam
Bel pulang sekolah
telah berbunyi. Siswa dan siswi SD Nusa Bangsa bergegas meninggalkan sekolah
mereka begitu pun dengan Roni dan Dwi. Sepanjang jalan mereka asyik bercerita
dan merencanakan akan bermain apa nanti sesampainya tiba di rumah.
“Kita main bola saja
Ron. Kemarin aku baru dibelikan bola sama Ayahku. Gimana?” kata Dwi memberi
usul.
“Baiklah. Kita ketemu
di lapangan ya,” jawab Roni.
“Ok!”
Roni dan Dwi pun menuju
rumah mereka masing-masing. Setelah berganti pakaian dan makan siang, Roni dan
Dwi pergi ke lapangan, tempat mereka janjian bertemu untuk bermain bola.
“Wi, kita cuma main
berdua saja nih?” tanya Roni.
“Tenang Ron, aku sudah
mengajak teman-teman yang lain kok. Tuh mereka,” Dwi menunjuk segerombolan anak
yang mendekati mereka.
Permainan di mulai.
Dwi, Roni dan temannya yang lain bermain dengan serunya. Karena saking
semangatnya Dwi menendang bola dengan keras dan bola bundar itu pun melesat
jauh ke rumah penduduk dan…
Pyaaar…
Terdengar suara benda
pecah dari salah satu rumah penduduk. Teman-teman Dwi berlarian menyelamatkan
diri. Tinggallah Dwi dan Roni di lapangan.
“Bagaimana ini Ron? Aku
takut.” Keringat dingin membasahi tubuh Dwi.
“Kamu sih tendang
bolanya terlalu keras.” jawab Roni.
“Ya maaf. Aku tadi
terlalu bersemangat. Lalu bagaimana nasib bolaku Ron?”
“Ya mau bagaimana lagi.
Kita harus ambil bolamu itu.”
Roni berjalan di ikuti
Dwi di belakangnya. Clingak clinguk mencari di mana bola milik Dwi.
“Ron, itu bolaku,” ucap
Dwi setengah berbisik. Menunjuk bola miliknya yang di pegang Pak Tarno.
“Siapa yang berani
memecahkan kaca jendela rumahku? Awas saja kalau ketemu,” ucap Pak tarno geram.
Dwi dan Roni mengintip
di balik pohon besar di sebelah rumah Pak Tarno.
“Bagaimana ini Ron? Pak
Tarno pasti marah sama kita.”
“Kita tetap harus menemui
Pak Tarno Wi. Semua terjadi karena kesalahan kita dan kita harus bertanggung
jawab atas perbuatan yang telah kita lakukan.”
“Iya aku paham, tapi apa
kamu tidak lihat? Pak Tarno terlihat marah sekali Ron.”
“Begini saja, kita tunggu
sampai amarah Pak Tarno mereda setelah itu kita bicara baik-baik dengan Pak
Tarno. Ok?!”
Dwi hanya mengangguk. Kedua
matanya menatap lurus bola bundar di tangan Pak Tarno.
Setelah amarah Pak
Tarno mereda, Dwi dan Roni menemui Pak Tarno. Mengatakan dengan
sejujur-jujurnya.
“Jadi kalian yang
memecahkan kaca jendela. Kalian ini selalu saja membuat masalah,” ucap Pak
Tarno dengan menahan marah.
“Ma…ma…maafkan kami
Pak. Kami benar-benar tidak sengaja. Kami siap menjalankan hukuman dari Bapak,”
kata Roni.
Pak Tarno manggut-manggut.
Memikirkan hukuman apa yang pantas untuk Roni dan Dwi.
“Baiklah, kalau begitu
Bapak minta kalian berdua mencabuti rumput yang di sebelah sana. Setelah
selesai temui Bapak,” ucap Pak Tarno. Menunjuk halaman rumahnya yang banyak
ditumbuhi rumput liar. Roni dan Dwi mengangguk dan melangkah menuju tempat yang
ditunjuk Pak Tarno itu.
Satu jam, dua jam, Roni
dan Dwi terus mencabuti rumput yang tumbuh subuh di halaman rumah Pak Tarno.
Keringat berucuran dari tubuh mereka. Siang itu sangat terik sekali. Mereka juga
merasa sangat haus.
“Ron, aku sudah tidak
kuat nih. Panas banget.”
“Sabar Wi, sebentar
lagi selesai. Kamu harus kuat.”
Akhirnya, pekerjaan
mencabut rumput itu pun selesai. Dengan tubuh lemas dan penuh keringat mereka
menemui Pak Tarno.
“Sudah selesai? Bagus bagus,”
kata Pak Tarno sambil mengamati halaman rumahnya yang rapi.
“Kalau begitu kami
pamit pulang dulu Pak. Permisi.” kata Roni. Beranjak meninggalkan rumah Pak
Tarno.
“Eh, tunggu dulu.
Kalian melupakan sesuatu.” ucap Pak Tarno lagi.
Langkah Roni dan Dwi
terhenti. Menoleh kepada Pak Tarno.
“Kalian melupakan ini,”
Pak Tarno mengangkat tinggi-tinggi bola milik Dwi. “Nah, ini Bapak kembalikan.
“Dan ini untuk kalian
berdua,” lanjut Pak Tarno, menyerahkan dua gelas berisi es campur yang sangat
nikmat.
“Wah, terima kasih
Pak.” Roni dan Dwi berkata berbarengan. Wajah mereka berubah ceria. Dengan
lahap Roni dan Dwi menghabiskan es campur pemberian Pak Tarno itu.
“Pak Tarno, kenapa
Bapak memberi kami ini, sedangkan tadi Bapak sangat marah pada kami,” ucap
Roni, gelas miliknya sudah kosong.
“Awalnya Bapak memang
marah pada kalian, tapi kemudian Bapak senang karena kalian berani mengakui
kesalahan kalian dan mau menerima hukuman dari Bapak. Anggap saja itu sebagai
ucapan terima kasih dari Bapak karena kalian sudah merapikan halaman rumah
Bapak.”
“Sekali lagi kami
berterima kasih pada Bapak dan meminta maaf atas kejadian tadi.”
“Iya Bapak sudah
memaafkan kalian. Tapi ingat, hati-hati mainnya jangan sampai kena kaca jendela
lagi, kalau tidak nanti Bapak hukum lagi. Mengerti?”
“Ya Pak, kami
mengerti.” Roni dan Dwi mengangguk bersamaan.
[*]
Kudus,
09 Juli 2014
Hikmah
: Dari cerita di atas, kita mendapatkan pelajaran bahwa
kita harus mengatakan sesuatu dengan jujur tanpa ditutup-tutupi. Selain itu kita
belajar menjadi orang yang bertanggung jawab. Seperti Roni dan Dwi yang mau
bertanggung jawab atas perbuatan mereka yang telah memecahkan kaca jendela Pak
Tarno dan mau menjalankan hukuman yang diberikan oleh Pak Tarno.